Di Balik Tirai Pekerja Kreatif: Menyibak Lingkar Eksploitasi dalam Dunia Pekerja Kreatif

LPM OPINI –  Eksploitasi tenaga kerja buruh kreatif masih menjadi persoalan yang belum menemukan titik terang. Masih banyak ditemukan penyalahgunaan kontrak, jam kerja, dan beban pekerjaan yang berat dalam lingkaran dunia kreatif. Sandy Allifiansyah, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, menceritakan peliknya tantangan bagi pekerja kreatif seperti ide yang memerlukan waktu dan usaha yang besar untuk dikembangkan, tekanan dari atasan, serta upah tidak selalu sesuai dengan investasi waktu dan energi yang diberikan.

 

Pekerja Kreatif Bergantung Pada Waktu dan Ide? 

Menurut Sandy, model pekerja  kreatif dapat dipahami dengan cara membandingkannya dengan para pekerja manufaktur, misalnya buruh konstruksi bangunan. Para buruh konstruksi menjual sekaligus memberikan tenaga dan energinya untuk menyelesaikan pekerjaan.

“Pekerja kreatif berarti di luar dari apa yang dilakukan oleh pekerja manufaktur yaitu dengan mengeksploitasi idenya. Ini yang membedakan pekerja kreatif dan pekerja manufaktur,” ujar Sandy, ketika diwawancarai oleh LPM OPINI pada Rabu (30/8). 

“Memang kelihatan lebih ringan, namun sebenarnya pekerja kreatif lebih berat.” 

Hal ini ia katakan karena melihat perbedaan jam kerja pekerja manufaktur yang lebih teratur daripada pekerja kreatif. Sandy mengatakan bahwa dalam konteks pekerja kreatif, ia akan menghabiskan sepanjang hidupnya sebagai waktu untuk bekerja.

Sandy mencontohkan kondisi di balik layar produksi serial video oleh pekerja kreatif, “Katakanlah 10 episode, apakah ketika sudah selesai, akhirnya sudah selesai? Engga. Kira-kira mau bikin apa lagi nextnya?” 

“Dia (pekerja kreatif) pulang ke rumah jam 5, apakah yakin gak mikirin pekerjaan setelahnya? Apa yang bisa dijual (lagi)? Dia (pekerja kreatif) pulang masih mikirin itu. Bahkan sampai sebelum tidur,” lanjut Sandy lebih jelas. 

 

Upah Minim, Tuntutan Kerja Ekstrem

Ketidaksesuaian upah yang diterima dengan waktu kerja yang panjang menjadi salah satu alasan utama dari ironi pekerja kreatif di Indonesia. 

“Di Indonesia, aturan gaji masih mengikuti logika manufaktur, mengikuti logika masyarakat industri. Di mana gajimu itu berdasarkan performa mu nine to five (jam kerja dari jam 9 pagi sampai dengan jam 5 sore),” ucap Sandy. 

Menurut Sandy, Indonesia masih menggunakan aturan gaji yang dibayar per proyek atau perminggu. Hingga saat ini, belum ada undang-undang yang mengatur gaji dengan menyesuaikan pemberian upah per jam  untuk pekerja kreatif yang terikat kontrak.

Dalam Undang-Undang Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (PP Pengupahan), telah ada peraturan terkait upah yang dapat diberikan per jam, tetapi aturan ini hanya menyebutkan bagi pekerja paruh waktu. 

Ketika membahas tentang fleksibilitas dari pekerja kreatif yang dinilai sebagai keunggulan dari sektor ini, Sandy menyebutkan bahwa ini boomerang bagi pekerja kreatif karena rentan dieksploitasi, 

“Justru pekerja kreatif itu karena fleksibilitasnya, dia (pekerja kreatif menjadi) tidak terjangkau, menjadi kelompok-kelompok yang rentan. Dia (pekerja kreatif) juga kehilangan waktu dengan keluarganya.”

Sandy juga mengungkapkan bahwa pekerja kreatif memiliki beban pekerjaan yang berat dengan tuntutan kerja yang tak ringan, terlebih jika ide-ide yang diberikan telah banyak digunakan orang lain. Pekerja akan dituntut untuk terus memikirkan ide kreatif lainnya bahkan ketika ia sedang tidak dalam waktu bekerja.

 

Kontrak Kerja & Jaminan 

Menyoroti keluhan kontrak kerja yang tidak sesuai dengan realita aktivitas para pekerja kreatif di lapangan, Sandy mendukung adanya pembentukan serikat-serikat buruh. Sandy juga memberikan gagasan akan pentingnya berserikat untuk mempertahankan posisi para pekerja. Hal ini ia contohkan dengan perusahaan yang akan kehilangan keuntungan karena aksi buruh yang mogok bekerja sehingga perusahaan akan menaruh perhatian serius untuk menyelesaikan konflik permasalahan. 

“Tidak mungkin seorang buruh punya bargaining position untuk komplain ke perusahaan. Yang membuat mereka berpower apa? Berserikat, bergeruduk,” imbuh Sandy. 

Mengusik sedikit tentang jaminan pekerja kreatif dalam bekerja, Sandy turut menaruh simpati pada pekerja kreatif yang masih terikat sebagai pekerja kontrak lantaran mereka tidak memiliki hak istimewa seperti jaminan kesehatan, jatah lembur, uang koperasi, uang pensiunan seperti halnya pekerja tetap. 

“Pada undang-undang terbaru Omnibus Law, perusahaan punya wewenang lebih besar untuk menentukan kapan probationnya selesai, bahkan bisa jadi akan (menjadi pekerja) kontrak terus. Tandanya kalau sudah tetap berarti perusahaan wajib bayar BPJS kesehatan, jaminan pensiun dan lain-lain,” ujar Sandy. 

Perusahaan yang semakin mempunyai wewenang ini Sandy katakan karena melihat pada Undang-Undang Omnibus Law terbaru yang menyerahkan kuasa seluruhnya pada perusahaan sehingga memungkinkan perusahaan bertindak sewenang-wenang. 

“Tapi kalau kamu tidak tetap atau masih kontrak, perusahaan nggak wajib menanggung itu semua. Kamu (pekerja kreatif) tanggung sendiri,” tambah Sandy. 

 

Saran dan Upaya yang Dapat Diberikan

Mengingat kembali dari pengalaman kerjanya dulu yang juga melibatkan pekerja kreatif, Sandy menyadari bahwa perusahaan berusaha sebisa mungkin untuk mendapatkan keuntungan dari para pekerjanya. Maka dari itu, Sandy menegaskan kembali pentingnya berserikat untuk membatasi pergerakan penyelewengan perusahaan yang menyalahi aturan dalam kontrak kerja dan jaminan.  

“Memang harus berserikat, kalo nggak kalian (pekerja kreatif) tidak bisa mendapatkan hak sebagai pekerja,” tutur Sandy. 

 

Narasumber : Sandy Allifiansyah S.I.Kom., M.A

Penulis : Gusti Nur Alisa Rizki Andini 

Editor : Almira Khairunnisa, Vanessa Ayu Nirbita

 

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.