Dibalik Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak: Janjikan Kesejahteraan Sekaligus Tuai Keresahan Bagi Perempuan

Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) telah diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada (30/6) dan  resmi menjadi RUU Inisiatif DPR. RUU yang berisikan pasal-pasal terkait hak dan kewajiban seorang ibu sekaligus hak anak tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa seorang anak dapat bertumbuh kembang secara baik. Akan tetapi, RUU ini kerap mengundang sejumlah kontroversi di kalangan masyarakat.

Demi mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak, terdapat satu ayat dalam pasal 4 yang mengatakan bahwa setiap ibu berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit enam bulan. Pasal tersebut menjadi perdebatan di kalangan publik. Banyak orang yang mendukung pasal itu karena dinilai dapat memaksimalkan peran ibu dalam menyusui anaknya. Namun, tak sedikit pula yang menentang karena pasal tersebut dianggap berbenturan dengan aturan cuti tiga bulan dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan. 

Meskipun demikian, Sunarto selaku dosen komunikasi gender menilai bahwa RUU ini adalah sebuah kemajuan khususnya bagi kesejahteraan ibu dan anak. Penambahan masa cuti menurutnya dapat membuat ibu menjadi lebih maksimal dalam memberikan pelayanan untuk anak.  

“Kemajuan yang sangat substansial, dari tiga bulan menjadi enam bulan. Jadi saya kira sangat luar biasa untuk perkembangan dari si anak sendiri. Kalau memang si ibu bisa memberikan pelayanan ke anak dalam bentuk ASI dalam waktu enam bulan, saya kira ini adalah kemajuan yang luar biasa untuk penambahan waktu cuti melahirkan selama enam bulan.” ungkapnya ketika diwawancarai pada Selasa (12/07)  via telepon.

Selain mendukung pasal terkait penambahan cuti melahirkan bagi ibu, Sunarto juga mengapresiasi pasal yang mengatur cuti bagi suami selama 40 hari untuk mendampingi istri pascamelahirkan. 

“Saya kira ini gagasan yang bagus. Ada kasus di luar negeri, hak cuti bagi seorang suami yang istrinya melahirkan, bukan hanya hak cuti, tapi  juga ikut mengasuh anak. Kalau ini hak cuti 40 hari karena istri melahirkan, ini saya kira sangat bagus.”

Kewajiban yang Dinilai Memberatkan Sang Ibu

Kendati demikian, tak dapat dimungkiri bahwa masih terdapat beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam RUU KIA. Catatan pertama datang dari Pasal 9 RUU KIA yang membahas tentang kewajiban seorang ibu. 

Sunarto pun berpendapat bahwa pasal ini cukup bermasalah lantaran membebankan penanaman nilai religi dan budi pekerti anak pada sang ibu. 

“Ini yang menurut saya agak bermasalah, memberikan pemahaman nilai religi dan budi pekerti pada anak. Yang lain-lain berhubungan pada aspek fisik, tapi yang ini berhubungan dengan nonfisik,” jelas Sunarto.

Beliau juga mempertanyakan mengapa kewajiban tersebut dititikberatkan pada seorang ibu. Padahal penanaman nilai religi dan budi pekerti adalah tanggung jawab yang besar dan seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga, bukan ibu seorang.

“Pertanyaan saya, kenapa ibu kewajibannya itu? Bukannya itu kewajiban dari suami dan istri? Kenapa ibu diberikan tanggung jawab besar terkait penanaman nilai-nilai religius dan budi pekerti, sementara suami hanya mendukung. Mestinya itu kewajiban suami-istri. Pasal ini menurut saya tidak seimbang. Ini tugas ayah-ibu, bahkan juga lingkungan, bukan hanya tugas ibu.” 

Pasal 9 yang mewajibkan ibu dengan seorang diri memberikan kasih sayang kepada anak tentu saja menambah beban sang ibu. Pasal tersebut dinilai memiliki masalah karena sang ayah dinilai tidak perlu memberikan hal serupa kepada anaknya.

“Jadi, poin D Pasal 9, ibu wajib mengasuh, memelihara, mendidik anak dengan kasih sayang. Ini bukan hanya fungsi ibu. Kalau RUU KIA ini memberikan tekanan bahwa ibu wajib lalu suami hanya mendukung, maka ide RUU KIA ini adalah tentang mothering,” kata Sunarto.

Lebih lanjut, Sunarto menjelaskan bahwa kewajiban untuk merawat anak adalah kewajiban bersama sehingga seharusnya menekankan pada prinsip parenting, bukan mothering.

Mothering ini sebagai konsekuensi karena kodratnya seorang ibu yang punya rahim, hamil, melahirkan. Maka yang memelihara, mendidik itu tugas ibu, ayah gak terlibat. Makanya, ini malah menitikberatkan fungsi mothering, bukan parenting. Kalau ibu yang ngerjain semua, tapi ayah hanya mendukung, itu akan berat. Ini harus dicermati.”

Dampak Cuti Melahirkan Tuai Keresahan pada Perempuan

Catatan lain juga datang dari pasal yang mengatur cuti enam bulan bagi ibu. Meskipun bertujuan baik, pasal ini tak luput dari dampak merugikan yang hadir menyertai perempuan.

Tak sedikit perempuan yang merasa khawatir akan kesulitan mendapat pekerjaan akibat aturan ini. Mereka melihat bahwa perusahaan tentu tak ingin rugi apabila harus mempekerjakan perempuan dan tetap memberikan gaji penuh selama tiga bulan serta gaji sebesar 75% selama tiga bulan sisanya apabila ia melahirkan nanti. 

Dikutip dari netray.id, hal ini selaras dengan cuitan seorang pemilik akun Twitter bernama @gadisresidu_. Dalam cuitannya, ia menuliskan “Kalau RUU KIA ini jebol, bukan gak mungkin perusahaan-perusahaan akan berpikir dua kali mempekerjakan para perempuan menikah, lalu hamil. Usai lahiran, cuti 6 bulan, tetapi perusahaan harus membayar gaji karyawannya. Itu ‘costly’. Belum kalau ada pekerja ngalamin kecelakaan kerja,” 

Sunarto berpendapat bahwa memang tak menutup kemungkinan, perusahaan akan menambahkan kriteria tertentu terhadap pekerja perempuan sebagai adanya implikasi dari kebijakan cuti enam bulan bagi ibu melahirkan untuk meminimalisir kerugian.

“Dari segi perusahaan, itu akan merugikan. Perusahaan kalau mau hire perempuan akan menambahkan kriteria tertentu. Misalnya, selama sekian waktu gak (boleh) punya anak dulu. Ada kekhawatiran, implikasi, dari ketentuan cuti selama berapa bulan. Itu akan dianggap negatif oleh perusahaan dan akan  menimbulkan situasi yang problematic di lapangan,” terang Sunarto.

Tumpang Tindih Kebijakan 

Permasalahan aturan cuti bagi suami juga ikut menjadi pasal yang dianggap masih perlu diperbaiki. Hal itu disebabkan karena adanya tumpang tindih dengan peraturan lain seperti peraturan bagi pegawai negeri sipil (PNS) yang jumlah cutinya telah diatur. 

“Apakah ini tidak berbenturan dengan UU (atau peraturan) yang lain? Kalau di PNS misal, sebagai pegawai negeri, cuti maksimal setahun itu 12 hari. Kalau suaminya PNS gimana? Ini akan menimbulkan problem,” pungkas Sunarto.

RUU KIA yang memiliki tujuan mulia untuk memberikan kesejahteraan bagi ibu dan anak sudah selayaknya didukung. Namun, beberapa pasal dinilai masih perlu dicermati lagi untuk benar-benar mengusung kesejahteraan, baik ibu maupun anaknya.

“Saya mendukung karena ini punya niatan yang bagus untuk melindungi ibu dan anaknya. Akan tetapi, janganlah ada beban yang luar biasa beratnya diberikan pada ibu. Yang kaitannya dengan membesarkan, mendidik anak, menanamkan nilai-nilai hanya ibu lalu ayahnya jadi mendukung. Ini menurut saya gak betul. Pasal 9 harus dicermati lagi,” pungkas Sunarto.

Penulis: Salwa Umiatik

Editor: Almira Khairunnisa

 

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.