Diskusi FITUR: Konflik Agraria Rawa Pening yang Belum Temui Titik Terang
Pada Selasa (26/03) sore lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) bidang Sosial dan Politik (Sospol) kembali melangsungkan kegiatan rutin mereka, yakni FISIP Melantur (FITUR). Kali ini, isu yang diangkat adalah konflik agraria yang terjadi di Rawa Pening. Diskusi ini mengupas tuntas mengenai problematika Revitalisasi Rawa Pening yang tengah diperjuangkan oleh warga setempat.
Rawa Pening, Hadiah Alam untuk Warga
Rawa Pening adalah danau alami dengan luas 2.670 hektare yang berlokasi di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Danau yang secara spesifik bertempat di wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru ini, terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Selain itu, danau ini juga menjadi hulu bagi Sungai Tuntang.
Salah seorang aktivis Rawa Pening, Bobby, ketika menjadi pembicara dalam diskusi FITUR menjelaskan bahwa Rawa Pening adalah danau yang menjadi reservoir aliran air dari gunung-gunung di sekitarnya.
“Rawa Pening itu terletak di 4 kecamatan, ada Ambarawa, Tuntang, Bawen, dan Banyubiru. Rawa pening ini cekungan, cekungan tinggi yang menjadi muara, menjadi hilirnya daerah aliran sungai, dari Gunung Telomoyo, Gunung Gajah, Lereng Kelir, Gunung Merbabu, dan Ungaran. Nah artinya ini menjadi reservoir, reservoir itu kayak semacam untuk daya tampung, untuk menyimpan sesuatu sementara,” jelas Bobby.
Melihat ekosistemnya yang berlimpah, serta daya tarik wisatawan yang tinggi karena keindahan dan keasriannya, tak heran Rawa Pening memiliki banyak potensi besar bagi keberlangsungan hidup masyarakat.
Joko Susanto, salah satu warga Rawa Pening yang hadir dalam acara sore itu turut menambahkan bahwa Rawa Pening memiliki banyak potensi besar bagi masyarakat sekitar dalam berbagai aspek. Mulai dari pertanian, perikanan, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), hingga kegiatan adat.
“Jadi, dari 14 desa di sekitar (danau), Rawa Pening menjadi potensi yang sangat besar. Mulai dari potensi sumber daya alam, perikanan, maupun potensi seperti kegiatan adat, UMKM, pariwisata, dan masih banyak lagi potensi yang lain,” terang Joko.
Rawa Pening, Terikat dalam Sejarah
Danau Rawa Pening hadir dengan disertai sejarah panjang yang mengikat. Bobby menerangkan bahwa sejak zaman Kerajaan Brawijaya, sudah ada candi yang dibangun di pinggir Rawa Pening.
“Oke, Rawa Pening, aku mengambil dari era Brawijaya, di pinggir Rawa Pening itu sudah ada candi. Artinya apa? Aku pengen menunjukkan bahwa di situ sudah ada kehidupan. Jadi, ada candi untuk disembah di Rawa Pening,” seru Bobby.
Tidak sampai situ saja, ia menambahkan bahwa jejak kehidupan di Rawa Pening terus berlanjut hingga ke era Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, dan Kerajaan Mataram.
“Terus era Demak, Banyubiru itu sebagai tanah perdikan, tanah perdikan itu tanah yang bebas upeti dari Kerajaan Demak. Terus era Pajang, era Pajang itu, kenal Joko Tingkir? Sultan Hadiwijoyo, sebelum dikenal sebagai Joko Tingkir, itu pernah berguru ke Banyubiru. Tempat pakdenya. Nah, terus ke era Mataram, Solo, ada sebagian bekas Kasunanan Solo (di Rawa Pening),” kisah Bobby saat menghadiri FITUR pada Selasa (26/03).
Era kolonial, pemerintah Belanda akhirnya membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jelok di Rawa Pening untuk memenuhi kebutuhan energi. Malangnya, pembangunan ini mengakibatkan tenggelamnya sekitar 30 desa di sekitar danau sehingga warga desa terpaksa mengungsi.
Mengenai hal ini, Bobby ikut menambahkan, “Itu dari tahun 1835 sampai 1940, itu kurang lebih 40-50 desa yang tenggelam di Rawa Pening. Desa itu struktur terkecil, kalau sekarang RT lah. Desa, itu di sekitar Rawa Pening, yang tenggelam karena salah satunya, itu ada proyek PLTA, PLTA Jelok, dibangun itu tahun 1911 oleh ANIEM (Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteits-Maatschappij), terus difungsikan.”
Kata Bobby, kala itu warga dari desa yang tenggelam terpaksa pindah dan membangun desa baru. Pihak Belanda sendiri memberikan ganti rugi berupa gulden (emas).
“Nah di situ, kita itu udah pada bikin desa baru. Oke, waktu itu kita memang ada yang diganti (karena desanya tenggelam) sekitar 15 sampai 20 gulden. Disuruh pindah rumah,” sebut Bobby lagi.
Kemudian, setelah pemerintahan kolonial menghilang dari Indonesia, seluruh aset yang sebelumnya dimiliki Belanda, dibagi-bagikan kembali ke masyarakat sekitar. Hal ini berlaku pula bagi warga desa di sekitar Rawa Pening yang akhirnya memiliki sertifikat resmi atas tanahnya.
“Pasca Indonesia merdeka, artinya semua aset yang dimiliki Belanda bisa ditarik kembali. Nah, dulu kepemilikan sertifikat, kayak tanah-tanah itu, mulai dikasih-kasihkan,” jelas Bobby.
Rawa Pening dalam Badai Konflik
Sebagai sebuah danau alam, Rawa Pening tidak selalu bebas dari masalah. Sebelumnya, beberapa kajian telah menyebutkan mengenai persoalan sedimentasi yang mengancam kehidupan ekosistem di Rawa Pening.
“Sebenarnya ada kajian, bahwa Rawa Pening ini nanti akan ada sedimentasi atau penumpukan, yang itu akan berdampak bagi ekosistem dan ekologi di sekitar dan sebagainya. Nah, kemudian ada usulan ‘Bagaimana mengatasi hal ini?’ Dari kajian berbagai kampus, muncullah Program Strategis Nasional (PSN) dengan tema besarnya adalah Revitalisasi Rawa Pening,” jelas Bobby.
Program revitalisasi yang dibawahi oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana dengan kerjasama Kodam IV Diponegoro ini awalnya dikira sebatas menyedot tumpukan tanah yang berada di dasar Rawa Pening. Akan tetapi, semuanya terungkap ketika Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) No. 365 tahun 2020 mengenai Revitalisasi Rawa Pening keluar.
“Awalnya yang kita tau itu adalah soal pendangkalan, sedimentasi ini akan disedot biar daya tampung Rawa Pening akan menjadi meningkat. Mulai muncul menjadi kacau itu ‘kan ketika muncul Kepmen 365 Tahun 2020 di mana Rawa Pening akan diperluas. Nah, setelah ada Kepmen muncul koordinat, dilanjutkan dengan Diktum, itu mengatakan bahwa ditentukan garis sempadan itu, ditentukan titik tertinggi air adalah 463,3 yang ditarik 50 m ke luar, ke luar dari titik tadi. Dan ada 194 patok, di Kepmen ada koordinatnya,” pungkas Bobby.
Joko juga bercerita, bahwa TNI merupakan pihak yang turun langsung untuk memasang patok-patok sempadan tersebut. Awalnya patok yang dipasang hanya patok kayu. Namun, tak beberapa lama kemudian, patok kayu tersebut diganti dengan patok yang asli.
“Dan ini pengalaman pribadi seperti yang saya katakan kemarin, di depan saya, patok dipasang di belakang rumah. Dan waktu pemasangan kayu, istri saya yang pertama kali ada laporan. Dan katanya, ‘Apakah ini patok kayu atau nanti diganti?’ Ada mereka (TNI) bilang patok kayu, ya tidak ada masalah kalau hanya patok kayu. Setelah itu, setelah 10 hari, baru patok yang asli datang. TNI bilang, mereka sudah izin kades,” terang Joko.
Sekitar lima hari setelah itu, Joko menambahkan bahwa ia bersama ketua RT-nya pergi untuk menemui kepala desa terkait masalah pemasangan patok ini. Mengikut keterangannya, hal mengejutkan pun terungkap sesampainya mereka di sana.
“Dalam hal inilah jawabannya pun mengejutkan, yang saya maksud mengejutkan, kades ternyata tau. Dan setelah kita selidiki, 14 kades yang ada di sekitar Rawa Pening, tau proyek ini akan seperti ini. Proyek revitalisasi itu nantinya jadi seperti ini, cuman sayang tidak ada sosialisasi kepada masyarakat,” kisahnya.
Berangkat dari pertemuan dengan kepala desa, Joko pun protes dan meminta diadakannya sosialisasi kepada warga. Sosialisasi akhirnya dilakukan, namun bukannya BBWS, justru TNI lah yang mendominasi sosialisasi pada saat itu.
“TNI sangat ambil peran di sini. Jadi, dari sosialisasi waktu itu, dua jam, TNI hampir satu setengah jam menyampaikan. Sosialisasi waktu itu memang tujuannya tidak memberikan informasi yang detail, tapi sosialisasi hanya mengaburkan penjelasan, mengaburkan fakta yang riil,” tambah Joko.
Ia melanjutkan, “Kami mencoba mengejar status patok, akhirnya, dari pihak TNI membuat kesepakatan pada kami, bahwa nanti akan dibuatkan surat izin penitipan patok sempadan. Perdebatan awal, antar pihak (akhirnya) terjadi. Karena waktu sudah sore, akhirnya (disepakati) bahwa patok bisa dipasang asal ada surat izin dan ada tenggat waktu,”
“Setelah itu, satu bulan setelah itu, soal surat penitipan kita tanya ke Kodim, dan tidak mendapat jawaban. Di sini mulai perjuangan, bagi saya, kalau forum memang (sudah lama) kita perjuangkan bareng-bareng. Sehabis forum, sampai ke DPR, sampai mohon maaf, kita ketemu Ganjar. Kita ditelantarkan, dari jam 6 sampai setengah 9 kita dimarahi, lalu disuruh pulang, diusir,” tangkasnya.
Selain patok sempadan yang dipasang tanpa adanya perizinan yang jelas, masalah lain muncul ketika eceng gondok yang memenuhi permukaan Rawa Pening dihilangkan. Liarnya pertumbuhan eceng gondok memang sudah cukup lama menjadi salah satu permasalahan yang menimpa Rawa Pening.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bobby pun menerangkan, “Terus kemudian di tahun 2021, itu secara besar-besaran pembersihan eceng gondok-eceng gondok. Nah ini, dibersihkan, didorong ke lahan-lahan pertanian. (Jadi) airnya harus dinaikkan karena di Tuntang itu, ada dam itu mengatur ketinggian air, airnya harus dinaikkan agar supaya alat-alat untuk mendorong eceng gondok (bisa bekerja). Otomatis apa kalau airnya dinaikkan? Sawah-sawah tenggelam.”
Selain itu, hal lain yang menjadi sumber keresahan warga adalah adanya permintaan agar wilayah yang dipasangi patok sempadan dikategorikan sebagai tanah musnah atau tanah tenggelam. Tanah musnah merupakan suatu kondisi perubahan tanah dari bentuk asalnya akibat dari peristiwa alam sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Dengan kata lain, apabila tanah di sekitar Rawa Pening dikategorikan sebagai tanah musnah, maka warga tidak memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi atas hilangnya tanah mereka.
“Ibarat ada program, rumah dan tanah (yang terdampak) itu diganti. Nah, kemarin itu terbebas karena mengusulkan tanah musnah ke bupati, Bapak Presiden juga usul ke BPN. Artinya apa? Ketika tanah atau sawah distatuskan tanah musnah, pemerintah dalam hal ini tidak perlu untuk mengganti rugi, kita kehilangan tanah,” Bobby menjelaskan.
Sampai detik ini, masyarakat Rawa Pening masih terus berjuang untuk menuntut hak-hak atas tanah dan ruang hidup mereka. Warga desa sekitar Rawa Pening yang terdampak program revitalisasi ini terus mengadakan pertemuan agar suara mereka dapat didengar.
Ruang Hidup yang Terancam
Adanya perluasan kawasan Rawa Pening tentu berimbas besar kepada warga setempat. Diketahui bahwasannya lahan kawasan Rawa Pening merupakan lahan produktif yang subur di mana lahan itu merupakan pusat ruang hidup bagi warga setempat. Berbagai kegiatan mata pencaharian seperti bertani, budidaya ikan, dan kegiatan UMKM bertempat di kawasan Rawa Pening.
Seperti apa yang diserukan oleh salah satu tokoh masyarakat yang aktif menyuarakan problematika Rawa Pening, Suroso mengatakan bahwa warga setempat menjadi pihak yang paling dirugikan atas proyek perluasan Rawa Pening.
“Kami merupakan masyarakat yang terdampak oleh program revitalisasi, itu berdampak besar sekali bagi kami, petani dan nelayan. Karena lahan sekitar Rawa Pening itu lahan produktif, lahan yang subur, itu jelas di situ lah mata pencaharian kami,” jelas Suroso.
Terkait dengan tenggelamnya sejumlah luas sawah seiring dengan proyek revitalisasi Rawa Pening, Bobby mengatakan bahwa ruang hidup warga sekitar Rawa Pening terancam hilang.
“Selama hampir kurang lebih 3 tahun, tanah tenggelam, ya gak punya lahan, gak bisa panen. Artinya secara pendapatan, itu dianggap gagal. Itu ruang hidup bagi nelayan dan petani,” terang Bobby.
“Bisa dihitung berapa hektare sawah yang tenggelam, kemudian coba dikalikan dengan berapa kali ton beras hasil panen. Dengan ini, teman-teman baru bisa merasakan penderitaan petani dan nelayan. Pemerintah tuh pengennya apa? Revitalisasi ini gak ada semacam kepastian, keadilan hukum juga gak ada, dan juga manfaat untuk kita itu juga gak ada,” tambahnya.
Tolak Keras Perluasan Kawasan Rawa Pening
Segala problematika terkait dengan program Revitalisasi Rawa Pening, warga setempat hanya berharap bahwa patok sempadan itu dicabut. Mereka menyatakan bahwa tanah tersebut bukan tanah Rawa Pening, melainkan tanah milik mereka. Jadi, sudah sepatutnya bagi mereka untuk memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak milik mereka.
“Itu tanah milik kami, bukan hasil menyerobot tanah Rawa Pening. Jadi, untuk revitalisasi kami tidak menolak, tapi untuk perluasan (kawasan Rawa Pening) kami jelas menolak keras karena berdampak ke petani dan nelayan,” seru Suroso.
“Jadi pada dasarnya, sampai saat ini tuntutan kami hanya satu, cabut patok kuning. Kami dan teman-teman hanya ingin memperjuangkan, tidak ada tendensi apa-apa. Bagaimanapun caranya patok itu harus dicabut,” tambah Yulianto.
Joko menambahkan keinginan terkait dengan peningkatan kesejahteraan demi keberlangsungan hidup warga kawasan Rawa Pening.
“Dan yang terutama, kami ingin kesejahteraan kami ditingkatkan, perbaiki pertanian, berdayakan nelayan, dan lebih ditingkatkan hasil UMKM bagi ekonomi kerakyatan.” harap Joko.
Reporter: Aulia Retno, Kayla Fauziah, Shoffatul Jannah
Penulis: Aulia Retno, Kayla Fauziah
Editor: Cheryl Lizka
Pemimpin Redaksi: Natalia Ginting
Desain: Aprilia Shintia