Ketika Satgas PPKS Undip Perlu Pembenahan: Menyorot Penanganan Kasus yang Dinilai Lamban Sampai Transparansi Kasus yang Terabaikan
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menyatakan bahwa setiap perguruan tinggi harus menyediakan layanan Satuan Tugas yang menangani pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Universitas Diponegoro (Undip) memiliki unit layanan yang mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual yang disebut dengan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Namun, Satgas PPKS dinilai sarat akan evaluasi dan perlu segera melakukan pembenahan, dilihat dengan penyuaraan eksistensi yang belum optimal, tertutupnya transparansi kasus bagi para pelapor, hingga alur pelaporan yang panjang hingga menjadikan kasus tidak terselesaikan dengan semestinya.
Minimnya Sosialisasi Satgas PPKS Undip
Kehadiran Satgas PPKS Undip diharapkan mampu menjadi wadah yang aman untuk mengadukan isu-isu kekerasan seksual di wilayah kampus. Namun, nyatanya, tidak banyak warga Undip yang mengetahui soal esensi dari satgas PPKS Undip. Hal tersebut terlihat dari survei yang dilakukan oleh BEM Undip Per 2021 yang menunjukkan hanya 84 dari 771 mahasiswa yang mengetahui layanan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Angka ini menunjukkan bahwa Satgas PPKS Undip belum maksimal dalam menunjukkan eksistensinya. Melihat hal tersebut, sosialisasi yang dicanangkan kemudian dinilai belum maksimal. Hal itu dibenarkan oleh Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan BEM Fakultas Hukum, Geneva Kristiono.
“Tapi, sampai sekarang sosialisasi yang dilakukan satgas secara berkala itu belum juga. Satgas itu udah pernah sosialisasi waktu penerimaan mahasiswa baru dan sebagainya, tapi itu pun disampein sama dosen-dosen. Menurutku kurang aja karena yang ngomong tuh bukan orang yang berkompeten, bukan orang yang mendalami isu kekerasan seksual dan sebagainya,” tutur Geneva saat ditemui oleh Tim OPINI pada Sabtu (30/12).
Kepala Pemberdayaan Perempuan (PP) BEM Fakultas Hukum, Geneva Kristiono merasa sosialisasi yang perlu diberikan tidak hanya untuk mahasiswa baru. Mahasiswa tahun-tahun terdahulu juga berhak mendapatkannya.
“Bayangin lagi deh sosialisasi yang dikasih itu cuman buat mahasiswa baru doang, gimana buat mahasiswa-mahasiswa yang di tahun 2021, di tahun 2022 juga nggak ada.”
Diharapkan Menjadi Penegak Keadilan, Namun Nyatanya Tidak Transparan
Satgas PPKS menjalin kerja sama dengan PP BEM FH terkait penanganan lebih lanjut korban kekerasan seksual dalam program Bersua Bersuara. Kerja sama hadir sebagai bentuk adanya wewenang istimewa dari Satgas PPKS terkait sanksi bagi pelaku.
“Tapi, dalam keberjalanannya ya betul ketika memang ada korban kekerasan seksual dan butuh sanksi, misalkan dia pengen pelakunya di-drop out, dicabut statusnya sebagai mahasiswa aktif. Nah, bagaimana cara kita melakukan itu kan satu-satunya jalan adalah dengan kita menempuh ke satgas,” jelas Ketua PP.
Bantuan dari Satgas PPKS dirasa kurang maksimal karena tidak bersifat transparan. Ketidaktransparanan bahkan juga terjadi pada korban. Ketika korban menanyakan terkait kemajuan kasus sudah diproses, pihak Satgas PPKS tidak memberikan jawaban pasti. Hal itu dibuktikan dari pernyataan Ketua PP.
“Ya membantu sih, cuman nggak ada transparansi. Aku bahkan seringnya nge-follow up-nya ke korban. Nah, kalau misalkan Satgas PPKS Undip ini, even itu korban pun kadang dia dihalang-halangi untuk tahu perkembangannya gitu. Tapi, alasan yang dikasih nggak mau ngasih transparansi sih katanya mau jaga nama baik undip, gitu.” ungkap Geneva.
Hal tersebut bertentangan dengan Permendikbud Pasal 53 Ayat 1C yang menyatakan bahwa “Korban kekerasan seksual di perguruan tinggi berhak meminta informasi perkembangan penanganan laporan kekerasan seksual dari satuan tugas.” Hal ini tentu harus menjadi sorotan bagi Satgas PPKS untuk mengevaluasi tindakannya.
Pembahasan mengenai transparansi seringkali disinggung dalam beberapa diskusi dengan warga Undip. Namun, Satgas PPKS bersikeras untuk tetap tidak memberikan kejelasan proses penanganan kasus.
“Kalo ditanya sama mahasiswa lain, kita sejauh mana bisa percaya sama satgas? Transparansinya kapan mau dikasih dan lain sebagainya, tapi pihak Satgas berkomitmen untuk tidak memberikan transparansi, jadi kita nggak akan pernah tahu sebenarnya kerja yang dilakukan satgas sampai sekarang gimana karena mereka bener-bener nggak mau ngasih transparansi gitu,” lanjut Geneva.
Apakah Alur Pengaduan Telah Efisien?
Dalam Peraturan Rektor Undip Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Undip telah tercantum mekanisme pelaporan kekerasan seksual ke Satgas PPKS dijabarkan dengan terstruktur. Namun, Geneva melihat bahwa mekanisme tersebut menghambat penyelesaian kasus.
“Mekanisme yang ada di satgas itu panjang banget dan memerlukan waktu yang lama banget dan itu bahkan ada rapat sama tim satgasnya, rapat sama tim dosen, dan sebagainya,” tuturnya.
Mekanisme pelaporan kekerasan seksual yang sangat panjang, meliputi proses verifikasi data oleh Unit Layanan Terpadu (ULT), rekomendasi tindak lanjut rektor oleh sekretaris rektor, hingga pembentukan komite etik oleh fakultas/sekolah terduga pelaku. Meski demikian, alur panjang ini seharusnya tidak menjadi alasan atas keterlambatan penanganan. Keluhan efisiensi waktu perlu menjadi perhatian karena korban kekerasan seksual berhak mendapat penanganan yang cepat dan tepat.
“Menurutku, kalau dibilang efektif atau nggak, sebenarnya itu tergantung. Kalau misalkan menurut satgas efektif karena mungkin dilihatnya dari segi kayak validasi kasus dan sebagainya. Tapi, kalau misalkan dilihat dari efisiensi waktu menurut aku agak kurang,” ucap Geneva menyampaikan pandangannya.
Kasus kekerasan seksual seperti pemerkosaan juga mengalami keterlambatan penanganan. Hal ini membuktikan bahwa kasus kekerasan seksual tipe berat juga tidak menjadi prioritas Satgas PPKS.
“Menurut aku, kasus yang aku bilang tadi aku butuh satgas untuk kerja sama itu adalah kasus kekerasan seksual berat justru, itu kasus pemerkosaan dan itu udah tervalidasi juga dan sebagainya itu pun satgas nanganin kasus kekerasan seksual yang bukan main-main pun itu lama banget gitu penanganannya,” jelas Ketua PP BEM FH.
Tidak hanya lambat pada penanganan, Satgas PPKS bahkan tidak menyelesaikan kasus dengan baik. Hal ini terlihat dari beberapa korban yang berakhir memilih untuk menyudahi laporan.
“Bahkan, kalau misalkan aku bisa bilang kasusnya itu bahkan nggak terselesaikan sampai sekarang dan korban milih untuk nggak dilanjutin karena udah lama banget, udah hampir tujuh bulan,” jelas Geneva.
Menilik keberjalanan Satgas PPKS Undip dari awal pembentukannya, terlihat masih banyak sekali unsur-unsur yang perlu dibenahi. Sebenarnya, proses pembentukan anggota Satgas PPKS saja sudah tidak sesuai dengan prosedur dari Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Pasal 23 ayat 2 yang menyatakan Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pertama kali melalui panitia seleksi. Hal ini berbanding terbalik dengan kenyataannya.
“Itu terkesannya seperti tiba-tiba gitu, lho. Tiba-tiba terbentuk, tiba-tiba ada anggotanya. Padahal, juga itu kalau kita mengacu pada Permendikbudristek, cara untuk bergabung menjadi Satgas PPKS melewati banyak banget tahap. Bahkan, cara mereka direkrut itu mereka ditelfon sama pihak rektorat untuk tergabung menjadi anggota dan sebagainya,” ujar Geneva.
Bandingkan dengan Layanan Isu Kekerasan Seksual Lingkup Fakultas
Kondisi yang ada di Satgas PPKS saat ini sedikit berbeda dengan layanan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di tingkat fakultas, seperti Bersua Bersuara milik Fakultas Hukum dan Fisip Wellness Unit (FWU) milik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Kedua layanan kasus kekerasan seksual terlihat sudah menjalankan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual dengan baik.
FWU membebaskan korban untuk memilih sejauh mana kasusnya ingin dibantu. Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Kesma Bem Fisip, Fadilla Ayu terkait treatment dari FWU.
“Kalo misalnya consent korbannya pengen ditindaklanjuti ya akan diterima, cuma kalo misalnya korbannya pengen didengerin aja, itu juga gapapa. Jadi, treatmentnya tergantung korbannya. Sejauh ini menurutku, karena nggak banyak juga dan jangan sampai banyak ya, sepertinya sih udah maksimal,” ujar Ayu pada Selasa (19/12).
Selain itu, anggota FWU mendapatkan perbekalan dari Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) dan Pusat Informasi dan Layanan Remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PILAR PKBI). Anggota FWU juga dibimbing untuk menjadi konselor teman sebaya yang baik dan kompeten.
“Kita dilatih dan dikasih sosialisasi pelatihan untuk menjadi peer conselour yang sesuai dengan standar-standar yang dibutuhkan, kayak misal harus mendengarkan dengan baik, nggak boleh judging, nggak boleh menghakimi, terus juga kalo misalnya ada cerita kita bisa memilah, ini mana yang harus dirahasiakan untuk kepentingan konselor, mana yang lebih baik diceritakan ke pihak terkait untuk mendapat penindaklanjutan,” jelas Ayu.
Apabila diamati, kehadiran layanan kekerasan seksual lingkup fakultas sangat membantu sebagai alternatif pengaduan layanan kekerasan seksual lingkup kampus. Mengingat alur panjang pelaporan Satgas PPKS yang dirasa terlalu kompleks bagi mahasiswa.
“Jadi, menurutku iya sih itu (Satgas PPKS) terlalu luas dan terlalu kompleks kalau misalnya prosedurnya harus ke birokratnya Undip pasti ribet dan njelimet. Jadi, akan lebih gampang kalau misalnya dibikinlah si FWU ini, dibikinlah portal yang lebih sempit dari Satgas PPKS Undip,” tuturnya.
Selain itu, ada pula program-program dari Bersua Bersuara yang berupaya untuk membangun iklim agar Undip aman dari kekerasan seksual. Pencegahan kekerasan seksual dalam bentuk sosialisasi roadshow ke fakultas lain, pengadaan diskusi interaktif, penanganan lewat kecerdasan internal, advokasi ke pelaku dan organisasi yang diikuti pelaku, dan lain sebagainya. Hal tersebut dijabarkan oleh Geneva.
“Jadi, seluruh advokasi yang diinginkan oleh korban itu berusaha kita akomodir pun juga kita ada bantuan psikologis, kita ada kerja sama dengan UPT DPPPA Semarang, terus bantuan hukum juga kita nyediain lewat UPT DPPPA juga, kayak gitu, sih,” jelasnya.
Fakultas sudah memiliki layanan pengaduan kekerasan seksual yang memadai dan terpercaya. Meskipun demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa dalam beberapa kasus, kehadiran Satgas PPKS sangat dibutuhkan. Maka dari itu, apa yang sudah berjalan dalam Satgas PPKS perlu dievaluasi demi kepentingan lingkungan kampus Undip yang aman dari kasus kekerasan seksual.
“Lebih disesuaikan aja apa yang sudah diamanatkan di rektor (Peraturan Rektor), di Permendikbudristek. Terus juga dalam menangani kasus sebisa mungkin memberikan transparansi gitu supaya kita juga percaya,” harap Geneva.
Sebelumnya, tim OPINI telah menghubungi Hastaning Sakti selaku Kepala Satgas PPKS Undip, akan tetapi beliau mengatakan bahwa belum bersedia untuk memberikan keterangan apa pun terkait Satgas PPKS.
Penulis: Zalfa Ibtisamah N.
Editor: Almira Khairunnisa
Redaktur Pelaksana: Gisella Previan Laoh