Potret Disabilitas dalam Bingkai Dunia dan Media

LPM OPINI – Atensi.co berinisiatif menyelenggarakan webinar bertajuk International Women’s Day : Disability and Media pada Selasa (9/3). Seperti tercantum dalam judul, webinar ini bertujuan untuk memperingati hari perempuan sedunia yang jatuh tempo sehari sebelumnya. Acara yang menarik atensi sebanyak kurang lebih 200 peserta ini mengadakan pertemuan virtualnya melalui platform Zoom dan disiarkan secara langsung via YouTube dengan mengundang tiga pembicara, yakni Dr. Lynn Rose, Dr. Nurul Hasfi, dan Niyan Aziz S. Mohammed.
Ableism pada Penyandang Disabilitas
Berbicara mengenai disabilitas, Dr. Lynn Rose selaku Wakil Direktur Dari Center For Gender and Development Studies di American University of Iraq Sulaymaniyah, memberikan pandangannya mengenai disabilitas.
Ia berpendapat bahwa perempuan penyandang disabilitas sering kali menjadi sasaran penindasan ganda. Hal ini diakibatkan karena gender dan disabilitas bersinggungan dengan perspektif keadilan sosial. Ia pun memperkenalkan istilah ableism sebagai salah satu bentuk penindasan yang sering didapatkan oleh para penyandang disabilitas.
“Ableism adalah keyakinan bahwa penyandang disabilitas memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada yang bukan penyandang disabilitas. Hal ini dialami oleh para penyandang disabilitas setiap saat dalam cara yang besar atau kecil,” jelasnya.
Dr. Lynn lebih lanjut mengatakan bahwa ableism mencakup diskriminasi pekerjaan, komentar kasar, pembungkaman, dan masih banyak lagi. Ia mengatakan bahwa penindasan ini bisa diatasi apabila kita memahami model pendekatan hal tersebut, yakni model medis dan model sosial.
“Ableism dikaitkan dengan model medis dan model sosial. Model medis adalah pandangan yang melihat penyandang disabilitas sebagai orang yang rusak atau lebih rendah dari orang biasa. Kita harus menolak model medis karena itu adalah cara yang tidak sehat dalam memandang kecacatan,” ujarnya.
Sebaliknya, model sosial berarti memandang hambatan eksternal yang dialami oleh penyandang disabilitas lah yang menjadi masalah.
“Hambatan tersebut dapat berupa gedung dan fasilitas umum yang kurang bisa diakses untuk penyandang disabilitas. Bisa juga berupa sikap, stereotip, prasangka, dan diskriminasi,” tambahnya.
Media Indonesia yang Belum Ramah Disabilitas
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Dr. Nurul Hasfi, juga turut memberikan gagasannya mengenai keterkaitan antara media dengan disabilitas. Ia menganggap bahwa cara pandang masyarakat terhadap penyandang disabilitas akan tergambar oleh media. Meski demikian, Dr. Nurul menyatakan kekecewaannya terhadap media Indonesia yang belum ramah disabilitas.
“Jurnalis di Indonesia sering kali memberitakan para penyandang disabilitas dengan menghadirkan stereotip yang menyedihkan,” ungkapnya.
Tak hanya artikel, media-media lain seperti sinetron, program komedi, dan reality show juga acap kali menyiarkan hal-hal yang tidak sepantasnya dipertontonkan mengenai disabilitas.
Mengenal HDO : Organisasi Ramah Disabilitas di Iraq
Halabja Disabled Organization (HDO) turut diperkenalkan oleh Niyan Aziz S. Mohammed selaku salah seorang pekerja sosial di Iraq. Sebagai salah satu kota yang memiliki masa lalu kelam akibat peristiwa serangan gas beracun pada 1988 silam, Halabja menjadi kota yang aksesibilitas dan layanannya kurang memadai. Banyak pula masyarakat yang hidup dalam keadaan disabilitas, sehingga didirikanlah HDO.
HDO bertujuan untuk mengenalkan hak disabilitas serta mengubah pandangan terhadap penyandang disabilitas. Tak hanya itu, HDO juga bertugas untuk memberikan layanan serta pendidikan kepada anak, perempuan, serta penyandang disabilitas.
Niyan sangat menyayangkan masih banyak orang yang berpandangan bahwa pendidikan bukanlah suatu hal yang penting bagi penyandang disabilitas.
Ia menuturkan penyandang disabilitas yang mengenyam pendidikan formal di sekolah umum acap kali mendapatkan perlakuan buruk dari teman atau bahkan gurunya. Kurangnya fasilitas yang ramah disabilitas pun turut menjadi faktor keengganan mereka untuk pergi ke sekolah.
“Banyak anak-anak yang pergi dari sekolah karena tidak memiliki aksesibilitas. Pada saat yang sama, mereka juga menganggap bahwa sekolah tidak akan mengubah keadaan mereka,” ujarnya.
Hal itu mendorong HDO untuk melakukan kampanye yang bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat mengenai hak pendidikan bagi penyandang disabilitas.
“Kami mendapati tantangan bahwa aksesibilitas penyandang disabilitas kurang baik. Terdapat stigma kepada mereka, seperti anggapan orang cacat yang dianggap tak lazim jika keluar rumah. Kami ingin mengubah sikap ini. Kami percaya bahwa mereka dapat memiliki awal kehidupan yang baik apabila memiliki pendidikan,” pungkasnya.
Penulis: Almira Khairunnisa