Undang- Undang Ekspor Pasir Pantai: Demi Kebaikan Ekosistem Laut atau Semata Menjual Negeri?

Pada Senin (15/5) lalu, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo secara resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dalam UU tersebut, tertuang salah satu pasal, yakni Pasal 9 ayat (2) yang berbunyi “Pemanfaatan hasil sedimentasi berupa pasir laut dapat digunakan tidak hanya untuk reklamasi, pembangunan infrastruktur pemerintah dan pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, tetapi juga bertujuan ekspor.”  PP No.26 tersebut rupanya memunculkan kritik dari aktivis lingkungan dan ahli kelautan seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Greenpeace. Mereka menilai bahwa pasal ini dapat menimbulkan berbagai dampak buruk, terutama dalam bidang lingkungan laut dan sosial.

Permasalahan ini membuat Bidang Sosial dan Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro mengkaji tentang polemik ekspor pasir pantai melalui Diskusi Panel dengan judul “PP No.26 Tahun 2023: Menjual Negeri ke Negeri Seberang” pada Sabtu (16/9)

Bidang Sosial dan Politik BEM Universitas Diponegoro menghadirkan Prof. Dr. Denny Nugroho Sugianto selaku guru besar FPIK Undip ( Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro) dan Afdillah Chudiel selaku ketua kampanye kelautan Greenpeace sebagai narasumber Diskusi Panel.

Dalam pemaparannya, Prof. Denny mengakui bahwa tujuan awal pengelolaan hasil sedimentasi di laut merupakan hal yang bagus. “Hasil sedimentasi laut (terumbu karang) akan dibersihkan karena mengganggu organisme perairan. Ini tujuan bagus secara tekstual. Namun, polemiknya terdapat di implikasinya, pembersihan sedimentasi berpotensi dihilangkan total karena peluang bisnis.”

Prof. Denny juga menaruh perhatian pada Pasal 9 ayat 2 dalam PP yang nantinya akan berhubungan dengan implikasi pengerukan pasir pantai atau laut untuk kepentingan ekspor. “Pengaruh penambangan material pantai atau pasir laut, kalau gundukannya diambil, ombak bisa leluasa sampai ke daratan karena tidak ada yang menghalangi (ombak).”

“Menambang pasir yang optimal itu 40 meter di bawah permukaan laut tapi, pasir di laut Jawa itu kebanyakan (rata-rata berada) 21 meter (di bawah permukaan laut,” jelas Prof. Denny.

 Jika pengerukan dipaksakan, bencana lingkungan akan semakin memburuk. Beliau menceritakan dampak lingkungan seperti land subsidence atau fenomena penurunan tanah yang pernah terjadi di Kendal, Kabupaten Semarang. 

“Setelah penambangan, masa recovery penambangan itu adalah dampak sosial untuk para nelayan dan semua orang yang memiliki mata pencahariannya di situ.”

Afdillah Chudiel juga ikut menyampaikan ketidaksetujuannya pada PP No. 26 Tahun 2023. Menurutnya, pemerintah mencoba memberikan citra perkembangan berkelanjutan untuk laut. “POV (point of view atau pandangan) dari masyarakat sipil, ini greenwashing dari pemerintah. Ini (PP tersebut) kenapa bisa muncul? PP ini untuk siapa? Perspektif ekologi, apakah benar untuk pemulihan ekosistem?” ucapnya.

Pemerintah beranggapan Indonesia membutuhkan reklamasi untuk kesejahteraan masyarakat karena pembangunan usaha-usaha di pesisir pantai akan menaikkan pendapatan perkapita negara dan membuat masyarakat makmur. Namun, Afdillah menyanggah konsep ini. “Keuntungan paling besar masuk ke korporasi atau perusahaan. (Mereka) investasi segini, dapat untung segini.”

Afdillah mengungkapkan bahwa tidak ada demokrasi dalam penyusunan PP No. 26 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Afdillah menilai bahwa PP dibuat hanya untuk menguntungkan kaum elit ekonomi dan menyulitkan nelayan.

“Masyarakat sipil tidak pernah diajak partisipasi tentang masalah ini.” 

Ketika sesi pertanyaan dibuka, seorang mahasiswa Fakultas Hukum menilai jika PP No. 26 Tahun 2023 sering bertabrakan dengan undang-undang lain tentang wilayah pesisir pantai dan menanyakan tentang hal-hal apa saja yang harus direvisi dalam PP tersebut.

Prof, Denny menjawab pertanyaan tersebut dengan rincian bagian mana yang harus diperbaiki. “Pasal 1 (yang berisi) pengertian harus lebih eksplisit (seperti) kenapa pembersihan malah mengambil sesuatu? Jangan sampai ini menjadi celah batas-batas negara kita diambil. Saat ini PP ini tidak akan implementatif tanpa persetujuan dari menteri. Dalam kajian, tidak ada unsur masyarakat. Di dalam pengelolaan, terdapat unsur pasir pantai untuk infrastruktur dan hal ini harus diluruskan supaya tidak kontradiktif dengan unsur pembersihan pantai.”

 

Narasumber: Prof. Dr. Denny Nugroho Sugianto (guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro dan Afdillah Chudiel (ketua kampanye kelautan Greenpeace)

 

Penulis: Agatha Nuansa

Reporter: Agatha Nuansa, Alivia Nuriyani Syiva, Vanessa Ayu Nirbita

Editor: Vanessa Ayu Nirbita, Almira Khairunnisa

 

Referensi

https://drive.google.com/file/d/1yvWH_a3wQFRsafxNQorVYP4QAHvssAIf/view?usp=drive_link

https://lampung.rilis.id/Peristiwa/Berita/Nelayan-Lampung-Tuntut-Pemerintah-Cabut-PP-26-Tahun-2023-Tentang-Pengelolaan-Sedimentasi-Laut-yWfQiyI

https://www.cnbcindonesia.com/news/20230531173715-4-442285/trenggono-blak-blakan-soal-aturan-ekspor-pasir-laut

https://kupastuntas.co/2023/05/29/jokowi-izinkan-ekspor-pasir-laut-dinilai-dapat-kacaukan-pengelolaan-wilayah-pesisir-yang-berkelanjutan

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.