Diskusi Harkam Hantam yang membahas mengenai liberalisasi kampus dengan Anas Al-Masyhudi dan Togar Billy Armando sebagai pembicara di depan Gedung Teater FISIP Undip pada Kamis (28/03). (Sumber foto: Taufirurrahman Alfarisi).

 

Harmonisasi Kampus (Harkam) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) menggelar diskusi terbuka bertajuk Harkam Hantam dalam rangka pengenalan kebijakan kampus. Tema perdana yang didiskusikan berkaitan dengan pandangan mahasiswa terhadap Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) yang memiliki unsur liberalisasi dan komersialisasi. 

Diskusi yang diselenggarakan pada Kamis (28/03) di depan Ruang Teater FISIP Undip ini mengundang dua pembicara sebagai pemantik diskusi, yakni Togar Billy Armando sebagai perwakilan dari Amnesty Undip, dan Muhammad Abdullah Anas Al-Masyhudi sebagai perwakilan suara mahasiswa Undip yang terdampak dari praktik liberalisasi kampus. 

 

Reproduksi Sosial di Balik Lindungan Nama Badan Hukum

Polemik komersialisasi lembaga pendidikan di tingkat PTN-BH menjadi  pokok persoalan yang dibahas dalam diskusi Harkam Hantam. Komersialisasi pendidikan mengarah pada kebijakan perguruan tinggi yang berfokus pada keuntungan finansial institusi semata.

Perguruan tinggi sebagai organisasi di sektor publik yang menyediakan sarana untuk menimba ilmu dan pengembangan diri kini menjadi alat yang dimanfaatkan oleh kelompok atau kelas sosial tertentu.

“Realitanya sering kali pendidikan itu ya dimanfaatkan oleh kelas sosial tertentu untuk mempertahankan statusnya. Contoh, anak orang kaya pasti akan disekolahkan ke sekolah swasta daripada sekolah umum. Hal ini merupakan bentuk reproduksi sosial yang terjadi untuk mempertahankan status sosialnya tersebut,” menurut Anas.

Keberadaan jalur masuk dalam sistem PTN-BH seperti jalur mandiri yang memiliki biaya tambahan, yakni uang pangkal dan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) menjadi contoh reproduksi sosial yang hanya dapat diperoleh kelompok kelas menengah ke atas.

“Lalu kaitannya apa sih PTN-BH dengan reproduksi sosial? Yang bisa mendapatkan akses pendidikan di PTN-BH merupakan kelompok orang-orang menengah ke atas, dan hubungannya dengan reproduksi sosial adalah akibat dari banyaknya perusahaan atau lowongan kerja yang lebih melirik 10 kampus top dibanding kampus lainnya, dan akhirnya hanya pemilik modal yang dapat menikmati akses pendidikan dari PTN-BH,” tambah Anas. 

Guna mencapai keuntungan finansial, Undip sendiri telah berupaya melakukan penggalangan dana. Ambisi Undip sebagai PTN-BH untuk menggalang dana—khususnya dari luar pemerintah—melalui usaha bisnis atau kemitraan dengan entitas lain seperti perusahaan makanan dan minuman.

“Undip sebagai PTN-BH punya pendanaan dari dua, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan non-APBN. Untuk pendanaan APBN dibagi lagi menjadi dua, satu buat tenaga pendidik terus Aparatur Sipil Negara (ASN), jadi Uang Kuliah Tunggal (UKT) kita ke mana?”

“Jadi ada peraturan lagi, Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2015, di situ dijelasin dana non-APBN datang dari 8 unsur, baik masyarakat, kerja sama industri, kerja sama perguruan tinggi, kenapa harus banyak? Karena pendanaan perguruan tinggi hanya dapat 50 persen dari pemerintah,” jelas Togar.

Pembahasan berikutnya beralih ke permasalahan pendanaan dari sumber mahasiswa yang dapat berujung pada penjualan kursi pembelajaran dan normalisasi peningkatan harga pendidikan. Hal ini terutama ditemukan dalam jalur kemitraan.

“Di jalur kemitraan itu sendiri kan gak ada batas-batas bayarnya berapa, yang ada cuma surat edaran batas minimal bayarnya itu berapa, jadi apa bedanya dengan jual beli kursi gitu? Jadi scamming-nya tuh di situ kita udah bayar berjuta-juta bersusah payah tapi gak ada jaminannya. Nah, itu yang kemudian dapat menjadikan PTN-BH ini ke depannya kalau dia terus menerus begini menjadi semacam scam gitu,” tambah Anas.

 

Kesadaran Mahasiswa yang Harus Dibangkitkan Kembali 

Togar memimpin diskusi diiringi dengan audiens yang fokus memperhatikan. (Sumber foto: Taufirurrahman Alfarisi).

 

Antusiasme yang diperlihatkan mahasiswa FISIP Undip dari aktivitas tanya-jawab dan bertukar pikiran menunjukkan ketertarikan mahasiswa pada pokok pembahasan Harkam Hantam. Raffi Perdana, selaku mahasiswa Ilmu Pemerintahan sekaligus partisipan forum Harkam Hantam, mengutarakan bagaimana diskusi ini membuka pengetahuan baru, terutama mengenai pendidikan tinggi dan PTN-BH.

“Adanya diskusi dengan berjudul ‘Liberalisasi Kampus untuk Komersialisasi Pendidikan’ sangat memantik semangatku terkait PTN-BH ini,” sebut Raffi.

Raffi kemudian menambahkan dengan adanya diskusi ini, dirinya lebih tersadarkan mengenai sisi lain dari PTN-BH terutama mengenai penggunaan dana serta kewenangan otonom yang dapat disalahgunakan lembaga PTN-BH.

“Ternyata PTN-BH tuh gak sebagus yang kita kira, banyaknya sisi negatifnya seperti ketidaktransparansi penggunaan dana yang telah kita bayar, atas dasar apa kita perlu bayar dana sebanyak itu, atas dasar apa?” tambahnya.

Dengan adanya diskusi terbuka Harkam Hantam, harapannya mahasiswa mampu meningkatkan kesadaran seputar kebijakan kampus dan semakin tergerak untuk mencari tahu isu-isu terkait PTN-BH.

“Kita itu mahasiswa terus isu ini paling yang terdampak kepada kita gitu, tapi kita tidak menyadari itu loh. Jadi harapannya banyak mahasiswa yang tergerak dan mau lebih mengulik lagi terkait PTN-BH ini dan jangan terlalu acuh dalam isu ini.”

 

Ruang Diskusi yang Dibuat untuk Mencari Harmonisasi

Ketua bidang Harkam BEM FISIP Undip, Praz (nama panggilan), menyebut diskusi pertama ini bertujuan untuk membahas isu pendidikan tinggi yang mungkin belum diketahui beberapa mahasiswa FISIP Undip seperti PTN-BH.

“Isu yang ingin dibahas itu pendidikan tinggi. Di mana isu pendidikan ini kita spesifikan mau bahas terkait PTN-BH. Di mana puncak permasalahannya adalah bagaimana kampus itu membebankan mahasiswa dalam menjalankan hidup universitasnya, makanya kita ambil isu liberalisasi kampus, karena pendidikan yang harusnya menjadi hak dasar tapi diperdagangkan gitu,” ujar Praz. 

Sebagai ruang diskusi pertama, Harkam Hantam yang digelar oleh bidang Harkam dengan bertujuan menunjukkan eksistensi dialog bersama dan menghidupkan iklim diskusi di FISIP.

“Melalui rabid (rapat bidang), lalu diskusi intens, kita inisiasi bareng-bareng dengan anak-anak Harkam, sekiranya apa yang harus kita lakuin dalam rangka menunjukkan eksistensinya dan menghidupkan iklim diskusi di FISIP, tercetus lah nama Harkam Hantam yang semoga ke depannya bisa lebih konsisten,” lanjutnya.

Sehubungan dengan Harkam Hantam sebagai program kerja rutin, Praz mengatakan bahwa isu lain yang akan dibahas untuk diskusi terbuka ke depannya adalah permasalahan mengenai kebijakan-kebijakan kampus yang sekiranya meresahkan, seperti Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU), fasilitas, maupun peraturan yang bersifat mengekang.

“Misalnya permasalahan, mungkin barangkali teman-teman banyak yang nggak tahu soal PSDKU, fasilitas-fasilitas, maupun segala peraturan yang sifatnya mengekang mahasiswa di mana mahasiswa tidak mendapat haknya secara maksimal. jadi konteksnya Harkam berusaha mengarahkan diskusi-diskusi mengenai kebijakan kampus,” jelas Praz.

Kehadiran Harkam Hantam ke depannya diharapkan mampu menjadi ruang diskusi aman bagi mahasiswa, terutama bagi yang merasa dirugikan dengan adanya kebijakan perguruan tinggi yang tidak seimbang.

“Seperti yang pemantik kita bilang bahwa adanya sesuatu terjadi tapi kita nggak tahu. Aku terdampak, UKT aku tinggi, aku sebenarnya terbebani, cuma aku ngerasa hal itu normal karena hal itu nggak pernah dibicarakan. Dengan adanya diskusi-diskusi seperti ini kita semakin tahu bahwa ini tuh salah dan ini tuh sebaiknya diperbaiki. Jadi, orang-orang yang menganggap itu normal bisa sadar bahwa mereka itu dirugikan,” tutupnya.

 

Reporter: Taufiqurrahman Alfarisi 

Penulis: Taufiqurrahman Alfarisi 

Editor: Cheryl Lizka 

Pemimpin Redaksi: Natalia Ginting

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.