03/05/2024

Krisis Iklim: Kerusakan Alam Sebagai Wujud Warisan Generasi Tua Kepada Generasi Muda?

0

Aksi Semarang Climate Strike, Jumat (15/9/2023) Sumber: Dokumentasi Pribadi

Manusia tak boleh menampik fakta bahwa perubahan iklim sudah menjadi isu serius, terlebih pada beberapa waktu belakangan ini. Penelitian Pakar Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) melihat bahwa peningkatan tinggi air laut di perairan Indonesia semakin masif, terlebih di Kota Semarang yang mengalami kenaikan muka air laut mencapai 10 centimeter setiap tahunnya. Melihat kondisi alam yang dewasa ini sudah sarat akan masalah, Organisasi Jari Lima (Jaringan Peduli Iklim dan Alam) Semarang berinisiatif untuk mengadakan Semarang Climate Strike pada Jumat (15/9) lalu. 

Agenda rutin yang sudah memasuki tahun keempatnya ini bertempatkan di Tugu Muda Kota Semarang sebagai titik kumpul dan Balaikota Semarang sebagai tempat diadakannya panggung aspirasi. Adapun aksi ini melibatkan berbagai komunitas belajar, agama, budaya, hingga siswa taman kanak-kanak dalam melangsungkan kegiatannya.

Krisis Sosial Politik: Buntut dari Krisis Iklim?

Ellen Nugroho sebagai Koordinator Jari Lima mengungkapkan bahwa suhu bumi terus mendekati ambang batas suhu aman. Bahkan, terdapat beberapa masalah lingkungan yang menunjukkan bahwa isu perubahan iklim menjadi isu yang semakin krusial.

“Kita sudah di 1,2 derajat celcius dan ini aja sudah muncul berbagai macam dampak mulai dari siklon tropis yang tadinya enggak sampai ke khatulistiwa, tapi sekarang sudah sampai dan sudah memakan korban ratusan jiwa orang, kenaikan permukaan air laut, cuaca ekstrem, perubahan musim, dan gagal panen, dan krisis air,” ungkap Ellen saat diwawancarai oleh LPM OPINI pada Jumat (15/9).

Ia pun menilai bahwa manusia perlu kesadaran untuk mengubah gaya hidup mereka dari yang mulanya menerapkan gaya hidup tinggi emisi karbon menjadi gaya hidup rendah emisi karbon. Menurutnya, jika manusia tidak segera melakukan perubahan tersebut, krisis besar yang dapat mengganggu kestabilan sosial menjadi tak terelakkan.

“Kalau tidak ada perubahan gaya hidup dari tinggi rendah emisi karbon, diperkirakan 10 tahun lagi kita sudah melihat krisis yang bisa mengganggu kestabilan sosial,” katanya.

Terlebih, perilaku manusia yang tak dapat ditebak membuat krisis iklim ini dapat berbuntut pada krisis sosial politik yang dapat mengganggu kelangsungan hidup manusia.

“Sekarang cuaca sudah enggak karuan, musim sudah gak karuan, gagal panen makin sering, krisis air juga makin membahayakan. Bayangkan kalau terjadi situasi seperti itu. Yang  kita takutin adalah krisis sosial politik karena kita enggak pernah tahu reaksi manusia seperti apa. Saling membantu atau saling mencaplok satu sama lain? Yang kuat akan mengambil keuntungan sementara yang lemah dikorbankan. Kan kita enggak tahu,” jelas Ellen.

Generasi Muda: Korban Keegoisan Generasi Tua dalam Memperlakukan Alam?

Aksi Semarang Climate Strike yang juga diramaikan oleh banyak siswa taman kanak-kanak rupanya cukup mengundang pertanyaan. Ellen pun menerangkan bahwa anak-anak dilibatkan dalam aksi ini sebab yang seharusnya menyuarakan isu perubahan iklim ialah anak-anak sebagai generasi yang akan mewarisi bumi.

“Yang menyuarakan seharusnya anak-anak muda karena yang akan mewarisi bumi di masa depan adalah anak-anak yang sekarang sedang melakukan aksi. Usia mereka masih panjang. 10, 20, hingga 30 tahun ke depan, bumi macam apa yang akan mereka warisi?” ungkapnya.

Ellen pun menilai bahwa anak muda perlu untuk menyuarakan isu ini, terlebih kepada generasi tua yang telah banyak melakukan eksploitasi alam dan membuat kebijakan yang dapat mengancam masa depan. Perilaku generasi tua yang tidak ramah pada alam tersebut akan ditanggung oleh generasi muda sebagai makhluk yang akan merasakan dampaknya dalam berpuluh-puluh tahun ke depan.

“Anak muda itu harus menyuarakan kepada generasi tua agar jangan habiskan SDA, jangan buat kebijakan yang tidak ramah kepada masa depan, karena yang menanggung nasibnya itu mereka (anak-anak). Generasi tua istilahnya sudah menikmati hidup. Mereka sudah merasakan enaknya eksploitasi alam. Tapi yang akan menerima dampaknya adalah generasi berikutnya yang belum tau apa-apa, mereka yang akan mengalami (suhu) panas mematikan,” jelas Ellen.

Perubahan Gaya Hidup Sebagai Upaya Praktis dalam Mencegah Krisis Iklim

Ellen menjelaskan bahwa persoalan krisis iklim datang dari gaya hidup manusia yang kecanduan akan bahan bakar fosil. Krisis iklim sendiri disebabkan oleh karbon yang memerangkap panas matahari di mana karbon tersebut dihasilkan dari pembakaran hasil bumi, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas yang dikeruk dari dasar bumi.

“Nah, habis dibakar, karbonnya memerangkap panas matahari sehingga kemudian energi matahari enggak bisa dipantulkan. Yang harus kita kerjakan adalah mengubah energi kotor ke energi bersih,”

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa hal tersebut dapat dilakukan dengan cara sederhana, seperti dengan mengganti lauk makanan yang mulanya mengandung emisi karbon tinggi menjadi emisi karbon rendah atau bahkan beralih dari konsumsi hewani menjadi nabati.

“Paling mudah adalah mengganti makanan yang tadinya tinggi emisi karbon ke rendah emisi karbon. Misalnya makan sapi diganti telur karena sapi tinggi emisi karbonnya. Atau pindah dari hewani ke nabati. Kemudian, mengganti transportasi dari pribadi ke publik, mengganti bahan bakar fosil ke listrik, atau berjalan kaki dan naik sepeda,” jelasnya.

Namun, hal tersebut tentunya perlu didukung dengan kebijakan yang dapat memudahkan manusia untuk bertransisi dari tinggi emisi karbon ke rendah emisi  karbon.

“Tapi tentu saja itu butuh kebijakan yang memudahkan orang untuk bertransisi dari tinggi emisi karbon ke rendah emisi karbon,” pungkas Ellen.

Penulis: Almira Khairunnisa

Reporter: Almira Khairunnisa, Dinda Khansa

Editor: I Gusti Ayu Nyoman Septiari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *