Toleransi vs Dominasi: Pro Kontra Penutupan Tempat Makan Selama Bulan Suci

Setelah ditetapkan jatuh pada  tanggal 3 April 2022, bulan Ramadan saat ini resmi memasuki hari-hari terakhirnya. Dari tahun ke tahun, terdapat satu isu yang selalu mewarnai perdebatan tiap kali memasuki bulan suci Ramadan. Hal itu tak lain dan tak bukan adalah perbedaan pendapat mengenai penutupan warung makan pada siang hari selama bulan puasa. Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bekasi sempat membuat pernyataan pada Jumat (25/03) agar tempat makan ditutup selama bulan Ramadan.

“Saya menghimbau kepada pemilik usaha kuliner agar menghormati bulan suci ramadhan dengan menutup tempat usaha pada siang hari saat Ramadhan,” ucap Sekretaris Umum MUI Kabupaten Bekasi, KH Muhidin Kamal dikutip dari Antara.

Pernyataan dari MUI Bekasi menuai banyak komentar dari masyarakat. Tak sedikit komentar yang kontra terhadap pernyataan tersebut. Salah satu komentar kontra datang dari figur publik, Pandji Pragiwaksono pada Sabtu (26/03) melalui akun Twitter @pandji, 

“Jangan mau guys. Temen2 kita yg ga berpuasa & lagi pengen makan kerang + usus ayam bumbu kuning musti gmn?”

Dari cuitan tersebut, jelas bahwa Pandji memikirkan nasib orang-orang yang tidak berpuasa. Hal yang disuarakan oleh sosok komika ternama ini tentu ada benarnya karena Indonesia tidak hanya ditinggali oleh muslim yang menjalankan ibadah puasa.

Tak berselang lama, MUI Pusat memberikan tanggapan yang menyebutkan bahwa selama bulan puasa, warung makan masih diperbolehkan buka dengan syarat tidak memamerkan makanan yang dijual. Pihak MUI sendiri memberikan solusi dengan menutup tempat makan menggunakan tirai. Hal itu disampaikan oleh KH Cholil Nafis selaku Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI Pusat. 

“Warung tak usah ditutup jualannya, tapi makannya jangan dipamerkan kepada orang yg sedang berpuasa,” cuit Cholil pada akun Twitter @cholilnafis pada (27/03).

Cholil juga menambahkan, baik muslim maupun non muslim harus saling menghormati dan memupuk tenggang rasa antar umat. “Ayo saling tenggang rasa dan saling menghormati.”

Cuitan Cholil yang menyebutkan “tenggang rasa” sangat mencerminkan realitas di Indonesia yang merupakan negara majemuk. Ajakan untuk saling menghormati dan toleransi sangatlah penting diterapkan di Indonesia yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika. 

MUI Pusat secara resmi menyatakan bahwa tak akan ada aturan penutupan tempat makan selama bulan Ramadan 2022 ini. Kendati demikian, MUI Pusat memberikan syarat kepada para pelaku usaha tempat makan. Mereka diimbau untuk tidak memamerkan makanan dengan menutup tempat makan menggunakan tirai ataupun penutup lainnya. Alih-alih membuat aturan untuk menutup warung makan selama bulan puasa, kebijakan yang akhirnya diambil oleh MUI Pusat tidak memberikan dampak kerugian yang besar pada pihak pemilik tempat makan. Meraka tidak dirugikan karena masih diizinkan untuk beroperasi, orang yang tidak berpuasa pun  masih berkesempatan untuk membeli makanan.

Adanya pernyataan yang berbeda dari MUI Bekasi dan MUI Pusat memang mencerminkan realitas di masyarakat yang saling bertolak belakang. Pernyataan dari MUI Bekasi yang melarang usaha tempat makan buka pada siang hari selama Ramadan tentu menunjukkan intoleransi. Indonesia memiliki enam agama resmi dan hanya agama Islam yang menjalankan ibadah puasa Ramadan. Apabila warung makan dilarang buka, lalu bagaimana nasib penganut agama lain yang barangkali ingin membeli makanan?

Tak hanya itu, dalam agama Islam sendiri pun terdapat orang-orang yang tidak berpuasa, seperti perempuan yang tengah haid, lansia yang sudah tidak kuat untuk berpuasa, musafir, dan orang yang sakit. Meskipun Islam adalah agama yang dominan, bukan berarti toleransi hanya dilakukan oleh yang minoritas kepada mayoritas. 

Hal lain yang perlu dipertimbangkan juga terkait perekonomian para pelaku usaha. Apabila mereka dipaksa untuk menutup usahanya, bukan tidak mungkin pendapatannya akan merosot. Apalagi jika peristiwa tersebut disandingkan dengan kondisi hari ini di mana semua harga kebutuhan pokok naik. Hal tersebut tentu akan sangat membebani pelaku usaha tempat makan. 

Dalam pertimbangan dari segi ekonomi, Pemerintah Kota DKI Jakarta mengambil kebijakan untuk memperpanjang izin jam operasional tempat makan yakni hingga pukul 22.30 WIB. Selanjutnya, tempat makan dapat dibuka kembali pada pukul 02.00 hingga 04.30 WIB guna melayani sahur. 

“Karena untuk melayani sahur,” kata Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta dikutip dari Kompas.com

Kebijakan perpanjangan jam operasional tempat makan merupakan solusi yang menguntungkan bagi semua pihak di tengah aturan PPKM lantaran hal tersebut akan memberi kemudahan bagi masyarakat untuk membeli makanan, terlebih untuk sahur. Selain itu, pihak pemilik usaha juga bisa memperoleh lebih banyak keuntungan dari adanya perpanjangan jam operasional di tengah bulan Ramadan ini.

Meskipun kebijakan dari MUI Pusat yang mengizinkan warung makan tetap buka dengan syarat ditutup tirai masih memberikan keuntungan, tetapi bukan berarti keputusan tersebut adalah keputusan paling tepat. Penggunaan tirai sebagai penutup warung masih perlu dipertanyakan. MUI Pusat beranggapan bahwa perizinan warung makan buka dengan syarat sebagai perwujudan tenggang rasa dan toleransi. Akan tetapi, bukankah dengan masih adanya syarat “tutup tirai” artinya toleransi juga belum 100 persen terlaksana?

Apabila MUI memang ingin mewujudkan toleransi selama bulan Ramadan ini, tak seharusnya perizinan operasional warung makan masih bersyarat. Tirai bukanlah simbol toleransi. Ditambah lagi, penggunaan tirai yang dibenarkan atas dasar “kebiasaan” ini sebenarnya tak begitu berpengaruh. Puasa selama Ramadan adalah kewajiban bagi orang Islam yang mana selain menahan lapar dan haus, orang yang berpuasa juga harus menahan nafsu. Maka dari itu, baik ditutup tirai maupun tidak, orang yang berpuasa sudah wajib menahan nafsunya dan tak bisa menjadikan warung makan yang buka sebagai kambing hitam. Toleransi yang masih bersyarat ini jelas memperlihatkan kekuatan dominasi umat yang berpuasa. Pernyataan dari MUI bahwa kebijakan tersebut bertujuan memupuk tenggang rasa dan saling menghormati rasanya kurang tepat apabila toleransinya sendiri masih bersyarat.

Penutupan warung makan serta penggunaan tirai tak seharusnya diatur oleh pemerintah. Biarlah hal tersebut menjadi keputusan yang sepenuhnya diatur oleh pemilik warung makan tanpa adanya campur tangan pihak lain. Bukanlah tenggang rasa kala aturan ini membuahkan nelangsa bagi pemilik warung makan. Bukanlah toleransi kala aturan ini hanya menyiratkan adanya  dominasi dari kaum mayoritas. Hendaklah warung makan dapat beroperasi sebagaimana mestinya tanpa dibebani oleh peraturan yang memberatkan, tak terkecuali pada bulan Ramadan.

Penulis: Salwa Umiatik

Editor: Luthfi Maulana

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.