Mengingat dan Menyadari yang Hilang, Dulu dan Sekarang

LPM OPINI – Tepat di hari ini, pada tahun 2011 silam, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 30 Agustus sebagai Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional. Lahirnya peringatan ini bertujuan mengingatkan masyarakat dunia mengenai banyaknya kasus penghilangan paksa terhadap mereka yang bersuara guna memperjuangkan keadilan. Mereka dibungkam paksa dengan cara dilenyapkan dalam kesunyian.
Terdapat banyak kasus yang terjadi di dunia tentang hilangnya orang-orang yang menjadi oposisi pemerintah. Mereka dianggap sebagai pengganggu dan pengacau rencana yang sedang dijalankan oleh dalang di balik layar. Ada dari mereka yang akhirnya kembali, tetapi hanya berupa jasad tanpa nyawa. Sebagian lainnya, sampai saat ini, tidak diketahui batang hidungnya.
Di Indonesia, kasus-kasus penghilangan paksa sudah terjadi sejak jaman dahulu kala. Hanya saja, mungkin banyak di antara mereka yang lenyap dan tidak terangkat kisahnya karena kurangnya publikasi media. Meski begitu, kisah para korban penghilangan paksa patut untuk dikenang dan diserap inti sari perjuangan mereka dalam menggaungkan keadilan.
Kita mulai dengan Marsinah, buruh pabrik PT Catur Putra Surya (PT CPS) yang ditemukan tewas secara mengenaskan tanggal 8 Mei 1993. Wanita tangguh ini merupakan sosok pejuang garda depan dalam penegakan keadilan atas hak buruh pada masa itu. Marsinah dinyatakan hilang tertanggal 5 Mei 1993 dan ditemukan tiga hari kemudian di hutan di wilayah Dusun Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, dalam keadaan sudah tidak bernyawa dan dengan kondisi yang memprihatinkan. Kisahnya diangkat dalam banyak karya, dua di antaranya puisi berjudul “Dongeng Marsinah” karya Sapardi Djoko Damono dan pentas monolog “Marsinah Menggugat” karya Ratna Sarumpaet.
Selanjutnya adalah Munir, tokoh pejuang HAM dan Direktur Eksekutif Imparsial, yang meninggal secara mendadak pada 7 September 2004. Ia dibunuh dengan racun berjenis arsenik, nyawanya terbang meninggalkan tubuhnya bersamaan dengan penerbangannya dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda. Kematiannya janggal, seolah sengaja dibuat-buat sebab Munir lantang menyuarakan keadilan atas kasus pelanggaran HAM di Aceh, Papua, Timor Timur, dan kasus orang hilang yang sedang diperjuangkannya.
Jikalau masih kurang teringat, mari kita tambah dengan kisah Widji Thukul. Bernama asli Widji Widodo, ia merupakan seorang aktivis hak asasi manusia, yang hilang dari peradaban sejak tahun 1998 dan hingga saat ini tidak dapat ditemukan. Sosok pejuang yang rajin menuliskan karya melalui puisi. Puisi yang ia tulis tidak menggambarkan protes yang disuarakan, tetapi berisikan sosoknya yang menjadi simbol akan protes itu sendiri. Karena kelantanganya, ia dianggap sebagai ancaman, hingga berujung hilangnya sang pejuang yang sampai kini tak diketahui di mana persemayamannya.
Ketiga sosok tadi hanya sejumlah kecil dari banyak aktivis dan pejuang keadilan yang “moksa” dari muka kehidupan. Sejatinya, ada banyak kisah penghilangan secara paksa yang terjadi di negeri ini. Hanya saja, banyak di antara kisah tersebut ditutup rapat karena tidak ingin dieksploitasi.
Bercermin dengan kondisi masa kini, memang tidak lagi terdengar gaung berita tentang hilangnya pejuang keadilan. Penghilangan paksa di masa kini memang tidak lagi terpusat pada sang tokoh perjuangan. Namun, penghilangan paksa masih terjadi hingga masa kini. Sadarkah kita?
Menelisik lebih dalam, banyak hal yang perlahan-lahan dihilangkan secara paksa. Sebut saja keadilan di negeri ini, sudah menjadi rahasia umum, hukum yang ada tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Penegakan keadilan dipaksa samar hingga berujung hilangnya keadilan itu sendiri.
Salah satu contoh nyata, kasus korupsi bantuan sosial yang sempat ramai beberapa waktu lalu. Sang koruptor hanya divonis 12 tahun penjara, padahal sudah jelas bahwa mereka yang korupsi dana di tengah masa sulit dan musibah akan terancam hukuman mati. Ironi? Memang lucu negeri ini.
Penghilangan paksa juga terasa di bidang karya seni. Disadari atau tidak, banyak sekali karya seni yang “hilang” secara tiba-tiba kala menyentil kekurangan pemimpin negeri ini. Seolah mereka yang disindir, tidak terima atas opini yang masyarakat sampaikan pada sang penguasa.
Kebebasan bersuara dilenyapkan, dihilangkan begitu saja dengan dalih, “Kalau buat karya jangan lupa perizinan,” yang lantas memicu pertanyaan baru, kebebasan itu ada di mana?
Mengingat perjuangan mereka yang dihilangkan paksa oleh para penguasa, memberikan kesadaran kepada kita mengenai bagaimana penguasa menutup rapat suara ketidaksetujuan di masa itu. Menyadari penghilangan paksa yang terjadi di masa kini, membuat kita wawas diri, jangan sampai masa lalu terulang kembali.
Saat ini penghilangan paksa memang tidak berwujud dengan dilenyapkannya para penyuara dan aktivis pergerakan. Namun, penghilangan paksa berwujud terbatasnya kebebasan yang dihilangkan secara paksa oleh pihak pihak berkuasa.
Penulis : Dikka Prasetyo
Editor: Annisa Qonita
Redaktur Pelaksana: Luthfi Maulana
Pemimpin Redaksi: Langgeng Irma