Dinamika Solidaritas dan Tantangan Negara-Negara Arab Di Tengah Eskalasi Konflik Palestina & Israel

Serangan pada 7 Oktober 2023 mengakibatkan konflik antara Palestina dan Israel kian memanas. Juru Bicara Militer Yaman, Brigadir Jenderal Yahya Saree, menyatakan bahwa perang terhadap Israel, disusul dukungan kuat dari Iran dan Arab Saudi yang menegaskan prioritas politik luar negeri mereka pada Palestina. Solidaritas ini mencerminkan dukungan bersama terhadap perjuangan rakyat Palestina.

Melihat dukungan yang diberikan negara-negara di Timur Tengah pada Palestina, Muhammad Faizal Alfian, S.IP., M.A., dosen Hubungan Internasional di Universitas Diponegoro menyatakan pentingnya keberadaan Palestina bagi negara-negara Arab. 

“Pembentukan Pan-Arabisme adalah satu semangat untuk menyatukan wilayah-wilayah Arab pasca kolonialisme dan bertarung melawan Israel. Jika melihat dari latar belakang saja, seperti Mesir dan Yordania yang ingin masuk menguasai Palestina, sebenarnya negara-negara Arab memberikan perhatian besar pada Palestina.” ucap Faizal saat diwawancarai langsung oleh LPM Opini pada Senin (20/11). 

Faizal juga menambahkan bentuk peranan negara-negara Arab dalam mendukung Palestina akibat keberpihakan Amerika Serikat pada Israel adalah saat krisis minyak pada tahun 1970an saat negara-negara Arab yang dipimpin Mesir dan Suriah berperang melawan Israel.  

“Mereka (negara-negara Arab) melakukan embargo karena keberpihakan Amerika Serikat kepada Israel yang mempengaruhi global finansial secara keseluruhan sehingga terjadi krisis energi,” ungkap Faizal. 

 

Normalisasi Hubungan Israel dan negara-negara Arab

Faizal menyebutkan upaya Amerika Serikat untuk menormalisasikan hubungan Israel dengan bangsa-bangsa Arab telah lama sudah dilakukan, seperti perjanjian beberapa tahun terakhir yaitu Amerika Serikat berusaha membangun diplomasi melalui Abraham Accords. 

“Kemudian terjadi perang ini, terjadi pergeseran yang awalnya mereka ingin normalisasi menjadi ditangguhkan. Ini kemudian menjadi persoalan sulit untuk kita prediksi. Walaupun mereka (negara-negara Arab) mengutuk Israel tetapi tidak ada aksi secara langsung untuk kemudian mereka (negara-negara Arab) ingin perang (melawan Israel). Jadi, meskipun mereka mengutuk, tapi kita belum tentu tahu apakah mereka berpihak pada Hamas atau tidak,” jelas Faizal.

Faizal juga memberikan pemahaman bahwa kebijakan luar negeri suatu negara bisa dengan cepat berubah dalam hitungan waktu. Hal ini dikarenakan proses pengambilan kebijakan luar negeri harus adaptif dan menyesuaikan terhadap konteksnya 

“Tetapi kalau kita melihat sejarah, sebenarnya semua negara di Timur Tengah pasti akan menentang keberadaan Israel,” tegas Faizal. 

 

Faktor Penghambat Bantuan Penyelesaian Konflik oleh Negara-Negara Arab

Menurut Faizal, ketika Mesir mulai melakukan normalisasi hubungan kemudian terjadi penutupan pembentukan jalur yang menjadi akses Palestina terhubung dengan dunia luar menjadi satu hambatan bagi beberapa negara Arab.

“(selain itu) sulitnya mereka (negara-negara Arab) merespon adalah karena konflik internal yang ada di Semenanjung Arab. Persaingan regional power antara Iran dan Arab Saudi menyulitkan mereka (negara-negara Arab) bersatu,” tambah Faizal.

Konflik Arab Saudi dan Iran yang enggan bersatu menyebabkan Arab Saudi enggan menentukan sikap karena konflik regional. Faizal menyebutkan bahwa Arab Saudi lebih memilih mengutuk karena itu adalah salah satu jalan untuk menunjukan sikap. 

“Mengutuk ini pun bukan sesuatu yang mudah karena mempengaruhi persepsi dan mempengaruhi hubungan,” ujar Faizal. 

 

Netralitas bagi Negara-Negara Arab

Melanjutkan penentuan sikap yang terkesan sulit diambil oleh beberapa negara. Ketika ditanya terkait netralitas yang dapat dilakukan oleh negara-negara Arab, Faizal menjawab, “Sebenarnya tidak akan ada negara yang bersikap netralitas, dia (negara) harus mengambil posisi.” 

Namun, Faizal menjelaskan bahwa proses untuk pendekatan apa yang akan digunakan adalah hal yang sangat penting. 

“Apakah (negara) memaksa (melawan Israel) dalam jalur militer atau jalur perdamaian. Melakukan sanksi ekonomi itu salah satu jalur yang bisa dilakukan untuk memaksa israel untuk menghentikan perang. Gerakan boikot sebagai sanksi ekonomi tidak main-main karena ini masalah kemakmuran rakyat ditentukan dari produk yang dijual harus dipenuhi,“ tuturnya. 

Dilansir dari berita harian Kompas, saat ini kampanye boikot produk Israel meluas ke berbagai negara-negara Arab seperti Mesir, Kuwait, Yordania, Maroko. Menurut masyarakat di negara-negara tersebut, boikot produk Israel merupakan salah satu cara agar suara mereka didengar dan terlihat. 

 

Upaya Potensial yang dapat Dilakukan Negara di Timur Tengah 

Faizal menyatakan bahwa resolusi paling baik untuk menghentikan konflik adalah dengan tidak berkonflik atau melalui jalur damai.

“Kalau ingin melakukan embargo, yang bisa kita lakukan adalah embargo Amerika Serikat yaitu embargo minyak yang akan menyebabkan Oil Crisis tetapi (hal ini akan) mempengaruhi kesejahteraan masyarakat (dan) menyebabkan presisi global yang cukup besar,” ungkap Faizal.

Lebih jelas, Faizal juga menyebutkan bahwa keberadaan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) bisa berperan sentral melakukan jalur damai melalui media dan embargo minyak karena melihat pada masa Oil Crisis tahun 1970 an, OKI adalah pemeran utama dalam krisis minyak tersebut. 

 

Hukum Internasional yang Dilanggar Israel 

Mengaitkan pada hukum internasional terkait pada aneksasi wilayah yang mana mengambil paksa wilayah negara lain yang dilakukan Israel. Faizal berpendapat bahwa ini tergantung pada perspektif masing-masing orang.

“Kalau dari perspektif orang-orang Arab ini (pendudukan Israel di Palestina) adalah suatu yang ilegal tetapi kalau dari perspektif politik internasional ini adalah suatu yang legal-legal saja,” ucapnya. 

Meskipun secara perspektif politik internasional aneksasi wilayah yang dilakukan Israel legal, Faizal mengingatkan kembali pada publik tentang sisi kemanusiaan.

“(akan tetapi) mendirikan pemukiman itu adalah bagian kejahatan Internasional pada kemanusiaan  yang mana menghancurkan pemukiman warga disana. Ini bagian dari pengusiran terhadap warga Palestina,” imbuh Faizal. 

Faizal mencontohkan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel termasuk pada pelanggaran kejahatan Internasional. Hal ini seperti pemboman masjid sebagai tempat ibadah dan pemboman rumah sakit sehingga kemudian banyak bayi-bayi yang terlantar, ini termasuk pada kejahatan genoside. Selain itu, membunuh perempuan, laki-laki, dan anak-anak dengan maksud ethnic cleansing itu adalah kejahatan kemanusiaan yaitu ingin menghilangkan eksistensi warga negara disitu.

 

Pesan yang Disampaikan

Melalui rasa kemanusian yang mendalam untuk konflik Palestina dan Israel, Faizal menyampaikan bahwa akan lebih baik jika International Criminal Court (ICC) yang terdiri dari lembaga-lembaga berbagai negara mempunyai hati nurani untuk menuntut kejahatan-kejahatan yang dilakukan Israel. 

Hal ini Faizal sampaikan karena menurutnya, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum cukup signifikan untuk menekan kekuatan Israel dan menyelesaikan konflik.

“Ini bukan soal beragama apa tetapi melihat bagaimana terjadi pelanggaran atau penyiksaan manusia dan penghilangan nyawa menjadi perhatian kita (publik). Serta melihat konflik dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sehingga kita (publik) berposisi bukan pada perang tetapi pada kemanusiaan,” pungkas Faizal. 

 

 

Narasumber : Muhammad Faizal Alfian, S.IP., M.A.

Riset : Gusti Nur Alisa Rizki Andini

Editor : Vanessa Ayu Nirbita

Desain : Nurlita Wahyu Aziza

 

Referensi

https://www.kompas.com/global/read/2023/11/23/190000970/boikot-produk-pro-israel-berpotensi-meluas-di-negara-negara-arab

 

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.