03/05/2024

Serba-Serbi Fenomena Hubungan Inses dari Kacamata Psikologi

0

Ilustrasi Fenomena Inses. (Desain: Citra/LPM OPINI)

LPM OPINI – Pada tahun 2021, Komnas Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan sebanyak 2.363 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam ranah personal, dimana posisi ketiga adalah kasus inses dengan jumlah 433 kasus (Dihni, 2022). 

Kasus inses terbaru di Indonesia terjadi di Kabupaten Banyumas, Jawa tengah. Pada 15 Juni 2023 terungkap hubungan inses antara seorang ayah dengan putri kandungnya yang telah terjalin selama 10 tahun. Mengutip dari Tempo.co, sang pelaku tega menyetubuhi korban dan memberikan ancaman pembunuhan. Lalu, bagaimana hubungan inses ini akan berdampak pada sisi psikologis korban? 

 

Mengenal Arti Inses 

Muhammad Adi Ganjar Priadi, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya bagian Psikologi, memberikan definisi dari inses sebagai hubungan sedarah yang sebetulnya sangat dihindari.

“Definisinya kan hubungan sedarah yang sebetulnya sangat dihindari dari tatanan norma sosial dan agama,” ungkap Adi ketika diwawancarai pada Rabu (6/9). 

Adi juga menambahkan bahwa inses juga dapat dilakukan di bawah paksaan dan intimidasi yang dilakukan oleh pelaku kepada korban. 

Meskipun demikian, Menurut Thomas E. David, ruang lingkup inses masih belum pasti karena batasan inses sangat bervariasi baik dari pandangan agama, sosial-budaya, hukum, adat, bahkan kelas sosial (Eddyono, S. W., 2016). 

Menanggapi fenomena inses yang masih marak ditemukan di Indonesia, Adi menyinggung bahwa pelaku cenderung memiliki kuasa yang pada akhirnya membuat korban sulit menolak permintaan untuk berhubungan inses dengan sang pelaku. Korban rata-rata adalah orang yang submisif atau penurut, tidak memiliki kekuasaan, dan memiliki pengetahuan yang minim mengenai bahaya kriminal dimana dalam hal ini adalah inses itu sendiri. 

“Pada dasarnya setiap orang itu punya kemungkinan untuk melakukan perbuatan kriminal, yang membedakan adalah kesiapan, kematangan orang tersebut untuk bisa berperilaku sesuai dengan norma yang ada tanpa harus menekan dorongan alamiah yang dia punya,” ujar Adi. 

 

Apa saja faktor pendorong pelaku inses?

Ketika ditanya mengenai faktor pendorong, Adi menjawab bahwa terdapat multifaktor yang dapat menyebabkan pelaku melakukan hubungan inses. Faktor utama adalah kesiapan mental dari orang tua. 

“Faktor pendorong secara garis besar menurut saya berhubungan dengan tingkat kematangan pelaku secara spesifiknya, artinya banyak di luar sana misalnya orangtua yang sebetulnya belum siap untuk memiliki anak tapi memutuskan untuk memiliki anak, akhirnya malah jadi boomerang. Bukannya dibesarkan malah dihancurkan masa depannya,” imbuh Adi.

Selain faktor kesiapan mental, Adi juga menyebutkan adanya faktor sosial yang dapat mendorong pelaku melakukan inses. Faktor sosial tersebut diantaranya konten pornografi, media sosial, dan standarisasi masyarakat yang mulai bergeser. Sesuatu yang sebelumnya merupakan hal tabu saat ini dianggap hal biasa bahkan dianggap lucu bagi beberapa orang. 

Adi menjelaskan bahwa dalam Psikologi terdapat ketidakseimbangan faktor yang berhubungan dengan struktur kepribadian manusia. Ia menyebut bahwa setiap manusia memiliki dorongan nafsu seksual atau libido. 

Mengutip dari laman pyfahealth.com, libido adalah istilah umum untuk menggambarkan hasrat atau dorongan seksual untuk melakukan aktivitas atau hubungan seksual. WHO menyebutkan bahwa libido memberikan pengaruh pada  kesejahteraan fisik, keadaan emosional, serta mental dan sosial seseorang. 

Meskipun begitu, menurut Adi, pelaku inses memiliki dorongan seksual yang cenderung besar dan tidak dapat dikendalikan. Oleh sebab itu, ketidakmampuan dalam menyesuaikan dorongan libido juga menjadi faktor sosial lainnya.  

“Semua orang punya libido, tapi yang membedakan antara orang yang bermasalah atau orang yang tidak bermasalah adalah dia bisa menyesuaikan (atau) ngga dorongan libidonya,” tambah Adi. 

 

Apa saja Dampak yang dirasakan Korban Inses?

Adi menyebutkan bahwa dampak psikologis yang dirasakan oleh korban dapat dirasakan dalam jangka waktu yang panjang. Dampak tersebut dapat meliputi rasa bersalah yang sangat amat besar, kecemasan, gangguan psikologis, hingga berdampak pada komitmen tentang hubungan.

“Secara psikologis efeknya bisa jangka panjang, traumatik, mengalami gangguan psikologi, rasa bersalah yang besar bahkan berdampak pada komitmen tentang relationship dan juga (terhadap) kepercayaan dirinya atau self esteem atau keberhargaan terhadap diri sendiri,” ucap Adi. 

 

Hukum Inses sebagai Tindak Pidana di Indonesia

Merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tidak ditemukan istilah inses. KUHP hanya mengatur bahwa terdapat praktik inses yang dapat dikualifikasikan dalam dua kategori (Eddyono, S. W., 2016)

Pada kategori pertama, praktik inses masuk sebagai tindak pidana perzinaan. Dalam KUHP, pengaturan mengenai perzinaan berada dalam pasal 284 yang mengatur mengenai tindakan perzinaan yang dilakukan laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka, tetapi salah satu atau keduanya sudah menikah. Tindak pidana bagi sang pelaku adalah  pidana penjara paling lama sembilan bulan. Sementara, pada kategori kedua inses dikatakan sebagai perbuatan asusila karena adanya hubungan seksual secara paksa oleh pelaku dan korban yang memiliki relasi hubungan (darah-perkawinan), dimana korban belum masuk kategori dewasa. 

Pengaturan mengenai kejahatan inses dalam KUHP berada dalam pasal 294 ayat (1) yang berbunyi, “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, dengan anak tirinya, anak dibawah pengawasannya, semuanya dibawah umur yang diserahkan kepadanya untuk dipeliharanya, dididiknya atau dijaganya atau bujangnya atau orang bawahannya, keduanya yang masih dibawah umur, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun”

 

Kritik Terhadap Pengaturan Pasal 294 ayat (1)

Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam bukunya yang berjudul “Tindak Pidana Inses dalam Rancangan KUHP” menuliskan beberapa kritik terkait pengaturan pasal 294 ayat (1).

Pertama, pasal 294 (1) lebih memfokuskan pada pertimbangan atas relevansi usia bagi korban inses dibandingkan mempertimbangkan faktor hubungan darah atau perkawinan yang seharusnya dilarang antara pelaku dan korban. Kedua, hubungan darah yang disebutkan dalam pasal tersebut terbatas hubungan orang tua-anak saja. 

Ketiga, KUHP terlihat tidak akan memidana pelaku inses dengan pasal 294 jika perbuatan inses dilakukan oleh dua belah pihak yang sudah dewasa atas dasar saling suka. KUHP tidak menyatakan konteks tersebut sebagai perbuatan inses tetapi mengaturnya sebagai delik perzinaan. Keempat, penerapan delik-delik di atas merupakan delik aduan yang mengakibatkan adanya hambatan dalam pemrosesan lebih lanjut jika pihak yang berkepentingan tidak melaporkan ke pihak yang berwajib. Padahal, pada beberapa kasus keluarga korban dan pelaku cenderung berusaha menutupi kasus inses jika itu terjadi dalam keluarganya. 

Adi turut menyampaikan kritik atas pasal tersebut sebagai pakar Psikologi. Menurutnya, pemerkosaan dengan  latar belakang inses berbeda dengan tindakan pemerkosaan tanpa hubungan darah. Pemerkosaan dengan hubungan darah akan memberikan traumatik kepada korban seumur hidupnya.

Baginya  pembuatan hukum perlu dipertimbangkan dari sisi korban. Mengingat korban mengalami perkosaan oleh orang dekat atau keluarga sendiri. Pasal seharusnya lebih spesifik supaya bisa melindungi korban sekaligus memberikan efek jera pada pelaku. 

“Saya pikir seluruh korban yang mengalami inses ini juga perlu untuk memiliki pendampingan secara multidisiplin. Jadi harus didampingi oleh kuasa hukumnya, dokter, psikolog, dan psikiater untuk bisa memulihkan perasaan-perasaan atau efek-efek traumatik yang dihadapi yang akan dibawa sepanjang usianya,” ucap Adi

 

Siapakah yang Harus Bertanggung Jawab dalam Upaya Pencegahan Kasus Inses?

Adi menyampaikan bahwa dalam tataran secara spesifik sebenarnya kita sebagai masyarakat juga membutuhkan agen-agen yang bisa membantu menyuarakan pentingnya masalah atau fenomena yang berhubungan dengan inses. 

“Ketika ditanya siapa yang harus bertanggung jawab tentu saja kita semua,” ujar Adi.  

Para edukator atau guru dapat memberikan edukasi sekaligus dalam hal ini menjadi salah satu agen. Mereka dapat mendorong para korban untuk berani melapor kejadian yang mereka alami melalui pendekatan pendidikan. 

Adi menyebutkan profesi lain yang ikut bertanggung jawab seperti aparat penegak kepolisian. Mereka dapat mengajak masyarakat supaya berani untuk membicarakan hal-hal yang dianggap sebagai “aib”. Adapun penggiat aktivis sosial yang dapat turut memberikan edukasi supaya dapat menjangkau ke semua latar belakang ekonomi. Adi menyebutkan bahwa inses sendiri terjadi tanpa memandang strata sosial ekonomi.

“Sekarang sudah ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu juga saya kira satu langkah bentuk pemerintah yang cukup baik.”

Pada intinya profesi apapun sebenarnya bisa turut berperan, tetapi Adi menekankan agen utama seperti guru atau edukator, orang tua, aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, bahkan mahasiswa. Menurut Adi mahasiswa perlu untuk turut serta dalam menyuarakan hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan inses. 

“Dan juga penting bagi mahasiswa karena saya kira perlu untuk menyuarakan hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan ini supaya bisa tertampilkan dan bisa memberikan masukan kepada pasal yang ada selama ini yang dianggap menyamaratakan kasus-kasus berhubungan dengan seksual padahal sebetulnya tetap punya karakteristik yang berbeda,” ungkap Adi.

 

Narasumber: Muhammad Adi Ganjar Priadi, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya 

Penulis: Vanessa Ayu Nirbita

Editor: Almira Khairunnisa

Desain: Citra Adi L. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *