Kekerasan Terhadap Perempuan: Minim Edukasi Sebabkan Rendahnya Angka Pelaporan Kasus

Menyentuh angka 27.335 kasus per tahun 2021, kekerasan yang dialami oleh perempuan cukup menjadi alarm bagi eksistensi perempuan itu sendiri. Hal ini lantas menjadi pekerjaan rumah yang tak mudah bagi beberapa lembaga khususnya Pos Sahabat Perempuan dan Anak (POS SAPA) Universitas Katolik Atma Jaya (Unika Atma Jaya). 

Tingginya angka kasus yang diperoleh dari 3 lembaga yang melaporkan, meliputi Forum Pengada Layanan (FLP), Komnas Perempuan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tersebut dinilai tinggi lantaran minimnya edukasi terhadap bentuk kekerasan serta kecakapan hidup

“Kekerasan terhadap perempuan dan anak umumnya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai apa saja yang merupakan bentuk kekerasan dan juga kurangnya kecakapan hidup,” ucap Weny Pandia selaku Ketua POS SAPA Unika Atma Jaya.

Bentuk-Bentuk Kekerasan yang Perlu Diketahui

Menurut Feronica selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, bentuk kekerasan secara garis besar dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yakni psikis, fisik, dan seksual.

“Psikis meliputi ucapan dan tindakan. Tidak terjadi kontak fisik namun menimbulkan rasa tidak nyaman. Lalu, ada kekerasan fisik yang buktinya akan lebih jelas. Bentuknya bisa pukulan, jambakan, dan tindakan lain terhadap anggota tubuh kita,”

“Kalau kekerasan seksual, ini adalah kekerasan yang muncul di arena seksualitas perempuan, seperti mencium, memeluk, meraba, dan persetubuhan. Jika kekerasan seksual terjadi, psikis dan fisik pasti akan ikut,” jelasnya dalam webinar “Aku Perempuan Kuat” yang diselenggarakan secara daring oleh POS SAPA pada Jumat (25/11/2022).

Lebih lanjut, Feronica juga menjelaskan terkait bentuk kekerasan lain, seperti kekerasan ekonomi. Hal ini terjadi ketika terdapat situasi yang menimbulkan ketergantungan ekonomi terhadap seseorang. Terakhir, ada pula pembatasan aktivitas yang ternyata juga menjadi salah satu bentuk kekerasan dan cenderung dikaitkan dengan istilah toxic relationship.

“Kekerasan ekonomi misalnya menimbulkan ketergantungan ekonomi terhadap seseorang, misalnya uangnya ditahan supaya dia gak bisa ngapa-ngapain. Terakhir, ada pembatasan aktivitas. Ini bisa dihubungkan ke toxic relationship. Biasanya mahasiswi punya pacar, lalu pacarnya punya karakter untuk membatasi perempuan itu punya aktivitas tertentu,” terangnya.

Senada dengan Fero, Aya selaku Dosen Psikologi Universitas Atma Jaya juga menambahkan bentuk kekerasan dalam pacaran yang disebut dengan istilah abusive relationship. Menurut Aya, abusive relationship terjadi ketika terdapat kondisi mistreat dan misuse dalam menjalin hubungan.

“Jadi, memanfaatkan orang lain dengan nada mengintimidasi, itu juga kekerasan. (Lalu) memanfaatkan apa yang dimiliki oleh orang lain untuk suatu kondisi itu juga kekerasan, apalagi kalau mistreat, (itu) memperlakukan seseorang dengan cara yang tidak benar ya. Nah kata kunci ini yg perlu diingat. Ada mistreat dan misuse,” jelas Aya.

Aya menambahkan bahwa dalam kondisi abusive relationship, terdapat ketidaksejajaran antara kedua belah pihak yang dibedakan dengan pihak powerful dan powerless. 

”Gak mungkin disebut kekerasan kalau dua-duanya sejajar. Bagaimana jadi gak sejajarnya? Itu terjadi dalam bentuk relasi, terjadi begitu aja. Nanti kita lihat risk factor nya kenapa bisa ada powerful dan pihak yang powerless. Nah karena ada powerful dan powerless maka bisa bermakna traumatik. (Traumatik) bagi siapa? Korban. Korban di pihak yang powerless,” lanjutnya.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Kekerasan Seksual sendiri, terdapat sembilan klasifikasi tindak pidana kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.

Trauma sebagai Dampak Kekerasan Bagi Korban

Kekerasan sendiri ternyata memiliki definisi yang sama dengan traumatik. Aya menjelaskan bahwa definisi trauma sendiri merupakan segala bentuk kejadian negatif dalam hidup. Namun, ketika berbicara soal kekerasan dalam relasi, Aya menekankan bahwa terdapat suatu posisi yang dipenuhi dengan ketidakberdayaan. 

“Dalam relasi tentu saja itu (adalah) kejadian dalam relasi di mana terdapat situasi atau posisi yang dipenuhi (dengan) ketidakberdayaan. Jadi ada rasa ketidakberdayaan. Itu trauma,” ungkapnya.

Seseorang yang hidup dihantui dengan trauma cenderung memiliki rasa ketidakberdayaan yang mendalam. Hal ini disebabkan karena terdapat satu atau serangkaian peristiwa atau kondisi yang dialami seseorang di mana peristiwa tersebut ternyata berbahaya secara fisik dan emosional bagi orang tersebut.

“Ceritanya memang ada satu peristiwa atau serangkaian peristiwa situasi kondisi yg dialami seseorang, berbahaya secara fisik dan emosional, jadi memang terasa bahayanya, terus mengancam kehidupan dlm arti nyawa maupun keselamatan, kenyamanan. Ada (juga) efek buruk yg bertahan lama dan akan melibatkan segala macam aspek dalam diri kita baik secara fisik, mental, psikologis, sosial saking dampaknya, tuh, panjang dan ada rasa ketidakberdayaan,” jelasnya.

Minim Edukasi, Minim Angka Pelaporan Kasus

Dilansir dari data Komnas Perempuan terkait Jumlah Kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) berdasarkan provinsi, DKI Jakarta menempati urutan pertama sebagai provinsi yang memiliki angka kasus paling tinggi, disusul provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Menurut Fero, hal ini terjadi lantaran orang-orang di Jakarta sudah teredukasi terkait cara pelaporan kasus yang bisa melalui berbagai cara,seperti POS SAPA, Komnas HAM, P2PP2A, hingga media sosial.

“Di Jakarta, ada banyak pelapor, terlihat lebih banyak kasus karena ada banyak yg lapor ada banyak cara, misalnya melalui POS SAPA, Komnas HAM, media sosial, dan P2TP2A. Daerah-daerah lain kenapa kecil? Karena tingkat pelaporannya rendah. Karena mereka menganggap harus datang ke polisi sedangkan orang Jakarta sudah teredukasi tentang cara pelaporannya,” terangnya.

Perlunya Melapor Kasus Kekerasan

Fero menekankan bahwa segala kekerasan yang terjadi, khususnya kekerasan dalam pacaran sangat memungkinkan untuk dilaporkan. Ia menekankan bahwa tidak hanya penganiayaan berat yang dapat diproses. Melalui KUHP, penganiayaan ringan pun juga dapat diproses. Namun, proses penganiayaan ringan dapat lebih cepat diproses apabila korban memiliki bukti berupa dokumentasi kejadian atau hasil visum.

“Kekerasan dalam pacarana sangat bisa dilaporkan. Kita bisa pakai KUHP ya. Penganiayaan itu ada banyak kategorinya. Jangan khawatir kalau hanya bisa penganiayaan berat yang diproses. Penganiayaan ringan juga bisa. Namun, akan lebih kuat apabila korban langsung mendokumentasikan, kalau bisa cepat lapor ke polisi untuk dapat visum. Itu bisa lebih cepat untuk meringkus pelaku,” ujarnya.

Menyinggung Permendikbud No. 30 Tahun 2021, Fero mengungkapkan bahwa saat ini, perlindungan hukum tersebut dapat digunakan dalam melaporkan kasus kekerasan di lingkungan kampus.

“Semua civitas akademika termasuk dosen, tenaga pendidik, semua yang kerja di kampus, akan ikut terhadap PPKS. Jadi, kalau misal kalian menemukan dosen yang suka kirim WA tapi kalian gak nyaman, kalian sangat bisa dan disarankan untuk melaporkan. Pasti akan langsung ditindak,” ungkapnya.

Terakhir, Fero mengungkapkan bahwa keberanian dan sikap saling mendukung diperlukan, khususnya oleh sesama perempuan dalam memerangi kasus kekerasan.

“Apapun yang sedang kalian alami, Jangan takut atau jangan merasa sendiri. Teman-teman yang sudah kuat untuk melalui mudah-mudahan bisa mempertahankan sikap kuatnya. Mari sebagai sesama perempuan kita saling support, kita pasti bisa melalui semua ini. Jadi kalau udah terjadi kekerasan terhadap kita, itu bukan akhir dari segalanya,” pungkasnya.

Penulis: Almira Khairunnisa

Editor: Luthfi Maulana

 

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.