Ketika Anak di Bawah Umur Menjadi Pelaku Pelecehan Seksual

LPM OPINI – Pada bulan November 2022 lalu, terjadi kasus pelecehan seksual terhadap dua siswi Sekolah Dasar di Jalan Damai, Cipete Utara, Jakarta Selatan. Pelaku berinisial D yang masih berusia 15 tahun berhasil ditangkap oleh Polres Jakarta Selatan pada Senin (21/11/2022). Usia pelaku yang masih di bawah umur membuat pemeriksaan lebih lanjut bersama tim penyidik dilakukan dengan pendampingan. 

Kasus pelecehan seksual oleh pelaku dibawah umur juga pernah terjadi pada September 2021 silam. Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polres Karangasem berhasil mengamankan pelaku pelecehan seksual yang masih berumur 13 tahun dengan inisial IKA. 

Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 menyatakan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sementara, pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat 3, bahwa anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 

Motif Pelaku yang Masih di Bawah Umur 

Menanggapi kasus pelecehan seksual yang pelakunya masih di bawah umur, Yapina Widyawati selaku Psikolog Anak mengungkapkan alasan yang dapat membuat anak di bawah umur melakukan tindakan tersebut. 

“Pelecehan seksual dapat terjadi karena beberapa hal, seperti kurangnya pengetahuan tentang seksualitas, pengaruh lingkungan, dan media sosial,” ungkap Yapina ketika diwawancarai LPM OPINI via Whatsapp pada Senin (6/2). 

Yapina menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi anak dibawah umur untuk melakukan pelecehan seksual, antara lain pernah melihat kejadian serupa, modelling (meniru), kurang pemahaman tentang seksualitas, dan kurangnya pengawasan orang tua. 

Orang tua memiliki peran dalam penanaman edukasi seksualitas terhadap anak. Menurut Yapina, orang tua adalah orang terdekat bagi anak. Pendidikan seksualitas pada anak yang diawali dengan persepsi yang benar dari orang tua menjadi penting bagi anak supaya mereka dapat menyaring informasi yang diterima dari luar. 

“Keterkaitan yang kuat, orang tua adalah orang terdekat dengan anak, orang tua adalah yang pertama yang seharusnya mengenalkan anak tentang dirinya, perubahan fisiknya, juga masa pubertas dan juga moralitas tentang seksualitas,” imbuh Yapina.

Tindakan pelecehan seksual dapat berdampak buruk pada sisi psikis maupun mental. Dampak pelecehan seksual ini tidak hanya diterima oleh korban, tetapi juga si pelaku. Berdasarkan sisi psikologis, Yapina menjelaskan bahwa ada kemungkinan pemikiran atau perilaku yang tidak sesuai dengan usianya, mengingat pelaku pelecehan seksual masih di bawah umur. Beliau juga menambahkan bahwa kejadian tersebut dapat memberikan dampak trauma dan rasa bersalah pada pelaku. 

Undang-Undang yang berkaitan

Meskipun masih dibawah umur, anak yang telah melakukan tindak pidana juga mendapatkan hukuman atas kesalahannya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak mengatur mengenai pengaturan pengadilan anak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. 

Pada Undang-Undang tersebut batasan umur Anak Nakal (anak yang melakukan tindak pidana) dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Undang-Undang ini memiliki 68 pasal dari total 8 bab. 

Pasal 23 ayat (1) menjelaskan pidana pokok dan pidana tambahan yang dijatuhkan kepada Anak Nakal dan ayat (2) menyebutkan pidana pokok yang berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, atau pidana pengawasan. Selain pidana pokok yang sudah disebutkan, pada ayat (3) Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. 

Pasal 26  ayat (1) menyebutkan, pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sanksi bagi orang dewasa pelaku pemerkosaan anak di bawah umur adalah kurungan selama 5-15 tahun dengan denda maksimal 5 miliar rupiah. Artinya, anak di bawah umur akan mendapat pidana penjara dengan maksimal 7,5 tahun. 

Dalam wawancaranya, Yapina menjelaskan bahwa sanksi diberikan supaya membuat pelaku jera dan tidak mengulangi kesalahannya lagi. Namun, jika anak diberikan sanksi yang tidak membuat ia paham dengan kesalahannya, dikhawatirkan dapat menghambat pemenuhan tugas perkembangan atau menimbulkan masalah baru. 

“Sanksi yang baik, ketika si pelaku sadar apa yang dilakukan salah, paham hal tersebut merugikan diri sendiri dan orang lain, lalu ia tahu dan paham berbagai hal terkait seksualitas sehingga ia dapat mengontrol dirinya dan tidak mengulangi kesalahan di masa mendatang,” jelas Yapina.

Yapina menambahkan bahwa menurutnya akan lebih baik jika hukuman tersebut diiringi dengan konseling secara berkala dan bimbingan perilaku sehingga anak tersebut dapat memahami perilaku salahnya. 

“Minimal dampak traumanya, dan bisa dapat berperilaku yang sesuai dengan perkembangan diri dan tuntutan serta norma masyarakat,” ujar Yapina.

 

Referensi

https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=381 

https://www.instagram.com/reel/Cn27waJPsNS/?igshid=YWJhMjlhZTc=

https://news.detik.com/berita/d-6418885/pelaku-pelecehan-2-siswi-sd-di-cipete-jaksel-masih-di-bawah-umur/amp 

https://bali.tribunnews.com/amp/2021/09/11/pelaku-pelecehan-seksual-di-karangasem-masih-di-bawah-umur-orangtua-korban-tuntut-ini 

 

Narasumber: Yapina Widyawati, M.Psi, Psikolog

Riset: Vanessa Ayu Nirbita

Editor: Dinda Khansa

Desain: Nabila Ma’ratunisa 



Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.