Kuliah Daring, Bagaimana Curhat Mahasiswa?
Kuliah daring tentunya berdampak secara langsung terhadap civitas akademika kampus, baik itu tenaga pendidik, tenaga kepegawaian, hingga mahasiswa. Kami merangkum beberapa hal yang terjadi selama kuliah daring pada semester sebelumnya dilihat dari perspektif mahasiswa.
Karina, mahasiswi Ilmu Komunikasi Undip angkatan 2019 merasakan campur aduk antara senang dan sedih dengan keputusan kuliah daring hingga akhir tahun. Ia mengaku merasa sedih karena banyaknya kendala dan perkuliahan yang tidak semaksimal kuliah tatap muka, dan senang karena tidak dipaksakan masuk ke kampus saat kondisi belum membaik sepenuhnya.
“Sebenarnya campur aduk antara senang dan sedih. Sedihnya, aku merasa yang didapat selama kulon tidak sebanyak ketika kuliah offline, terus banyak banget kendalanya. Senangnya karena kita gak dipaksa untuk tetap masuk, karena jujur meskipun aku pengen kuliah offline, tapi aku takut kalau kuliah dengan kondisi seperti ini, mahasiswa kan asalnya dari banyak kota,” kata Karina saat dihubungi pada Minggu (21/6).
Kuliah daring, seperti yang dilansir dari Kompas.com, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, universitas memiliki potensi mengadopsi pembelajaran jarak jauh dengan lebih mudah ketimbang pendidikan menengah dan dasar. Untuk mata kuliah yang tidak dapat dilaksanakan secara daring, Nadiem menyarankan untuk meletakkannya di bagian akhir semester. Kecuali untuk sejumlah aktivitas prioritas yang memengaruhi kelulusan mahasiswa, maka pemimpin perguruan tinggi boleh mengizinkan mahasiswa untuk datang ke kampus.
Kebijakan ini menuai pro dan kontra. Selain karena pembelajaran daring dianggap kurang efektif, kendala sinyal dan kuota internet juga menjadi momok bagi para mahasiswa yang tinggal di daerah terpencil dan terkendala ekonomi. Belum lagi beberapa perguruan tinggi yang tidak mengeluarkan kebijakan mengenai penurunan UKT, membuat mahasiswa semakin kecewa. Sebab keresahan tersebut, Mendikbud Nadiem Makarim akhirnya kembali mengeluarkan kebijakan terkait Uang Kuliah Tunggal. Mekanisme penyesuaian UKT diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Karina, mahasiswi asal Medan tersebut juga masih berharap adanya penurunan UKT di Undip bagi mahasiswa akibat dari terdampaknya kondisi ekonomi saat pandemi.
Senada dengan Karina yang berasumsi kuliah daring kalah efektif dengan kuliah tatap muka langsung, mahasiswi Ilmu Kelautan angkatan 2019, Wa Ode Rima bahkan merasa kuliah daring terkesan tidak manusiawi. Ia pun merasa keberatan dengan praktikum secara daring yang dirasa kurang efektif.
“Menurut saya, kulon sampai akhir tahun itu efektif gak efektif, sih. Gimana ya, kulon tuh lebih gak manusiawi saja. Tanggal merah di-trabas, kuliah gak sesuai jadwal, praktikum gak sesuai jadwal, dosen jelasin di WAG, kalau ngetik ada yang disingkat dan itu bikin mikir ‘ini nulis apa ya?’ gitu. Terutama praktikum, sih ya, harus liat dari YouTube caranya, padahal dari pengalaman semester satu, praktikum yang kita lakukan dengan yang ada di YouTube tuh pasti ada bedanya. Ditambah semester tiga ada praktikum sedimentologi, yang mana harus mengamati spesimen kita, praktikum dari jam 8 malam sampai 3 pagi, kebayang gak kalau online mau gimana?” jelas Rima saat diwawancarai pada Minggu (21/6).
Tidak hanya masalah efektivitas kuliah, Rima turut merasa sedih dari segi finansial karena harus tetap membayar indekos dengan harga normal meskipun tidak menggunakan fasilitasnya sama sekali.
“Perasaan saya saat tahu kuliah online akan diadakan sampai akhir tahun ya pasti sedih. Tidak bertemu teman-teman itu rasanya jadi tidak terpacu apa-apa. Lalu berdampak juga ke pembayaran kosan, bayar tapi dikosongkan, mau keluar gak punya kosan, tapi nanti barang-barang taruh mana. Dampak lainnya dari segi ilmunya, gak maksimal karena praktikum online, sedangkan praktikum itu sumber ilmu yang sangat banyak,” pungkasnya.
Berbeda dengan Karina dan Rima, Mahasiswi D4 Bahasa Asing Universitas Diponegoro, Nida Fadhilah, yang akrab disapa Nida, merasa dengan adanya kuliah daring membuatnya bisa mereduksi kelemahannya dalam mengerjakan tugas kuliah.
“Aku kan anak bahasa, di kelas kerjaannya nulis sama ngomong. Nah, karena aku orangnya gampang ke-distract, kalau nugas di kelas dan harus dikumpulkan saat itu juga, aku susah fokus. Tapi sejak kulon, nugas itu lancar jaya karena aku terisolasi dari orang lain, tidak terdistraksi. Aku gak butuh lab juga, sih, jadi gak masalah online juga,” kata Nida pada LPM Opini, Minggu (21/6).
Meskipun begitu, Nida enggan merasa naif bahwa kuliah daring juga membuat motivasi belajarnya menjadi turun dan cenderung membuat mahasiswa berisiko menyepelekan kuliah daring.
“Aku jujur merasa motivasi buat belajar tuh turun banget, entah karena sudah tertanam yang namanya belajar tuh kudu siap-siap, ganti baju, ke kelas, terus ketemu orang. Atau entah karana nyepelein kuliah gara-gara bisa kelas sambil rebahan, nonton drakor, malah sambil tidur yang penting absen. Tapi menurut aku, itu bukan masalah online atau offline, sih. Kesadaran masing-masing saja. Belajar kan dari mana saja, idealnya mah gak ngaruh mau sistemnya gimana, asal ada kemauan belajar mandiri,” terangnya.
Nida pun tidak luput mengkritik dosen yang dalam kuliah daring masih belum maksimal dan membuat kuliah menjadi tidak efisien.
“Sistemnya kuliahnya kan beda-beda ya, ada dosen yang kelasnya di WA, MS Teams, Webex, Google Classroom, Kulon Undip, dll. Tidak masalah sebenarnya mau dimana saja, asal mahasiswanya punya akses ke sana dan bisa mengikuti. Tapi, tidak hanya mahasiswanya yang adjusting ya, idealnya dosen juga harus mencari cara agar materi yang disampaikan itu efisien meski metodenya kuliah online.” Kritiknya.
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Undip lain, yakni Rahma Kurniasari, mencoba memandang kuliah daring dari sisi positif dengan tidak menampikkan kekurangan yang ada.
“Pendapatku secara positif, aku senang saja karena teman-teman yang biasanya tidak aktif di kelas, jadi aktif di kulon, diskusi tetap jalan, tapi juga kadang kasihan sama teman-teman yang susah sinyal atau kuotanya habis karena kulon. Meskipun sudah dibantu dari universitas, tapi tidak tahu itu menutup kebutuhan kuliah atau tidak karena banyak dosen yang teleconference pakai video juga,” terangnya saat dihubungi LPM Opini pada Minggu (21/6)
Rahma mengaku kuliah daring selain membuatnya tertekan, materi yang disampaikan juga tidak semaksimal kuliah tatap muka, serta membuatnya sakit mata karena terus berhadapan dengan layar laptop.
“Dampaknya menurut aku jadi sakit mata. Selain gak terlalu paham materi karena gak face to face sama dosen, gak ketemu teman, juga jadi lebih gampang stres menurut aku,” ungkap Rahma.
Di akhir kesempatan, Rahma merasa dengan adanya kuliah daring membuat waktunya bersama keluarga menjadi lebih hangat, ia juga merasa pola makannya menjadi lebih teratur ketimbang saat merantau. “Dampak positifnya jadi punya waktu sama keluarga lebih intens, keluarga jadi paham kalau kuliah itu ga gampang-gampangnya doang, terus jadi makannya teratur,” pungkasnya.
Reporter: Amel, Luthfi, Wahyu
Editor: I. N. Ishlah