Problematika Perempuan Abad ke-19 yang Bertahan Hingga Kini
Manis, mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan secara umum kesan setelah menonton film Little Women garapan Greta Gerwig. Film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama ini telah memukau banyak pihak, terlebih lagi cerita yang ditulis oleh Louisa May Alcott merupakan pengalaman pribadi yang ia terjemahkan ke dalam sebuah tulisan yang mendunia, sehingga menjadi rasa tersendiri di hati kalangan penikmat literatur Amerika.
Mengambil setting latar tahun 1860-an setelah terjadi perang saudara di Amerika, film ini mampu menyihir jutaan hati penonton. Kisah mengenai gadis-gadis March bersaudara yang dibesarkan di kota Massachusetts dalam jerat kemiskinan secara finansial, namun kaya akan kasih sayang dari sang ibu yang menjadi jembatan di antara perbedaan karakter keempat gadis ini. Mulai dari si Sulung Meg March (Emma Watson) yang bercita-cita ingin menjadi seorang aktris, lalu Jo March (Saoirse Ronan) si tomboy yang berambisi menjadi seorang penulis dan menggilai sastra, atau si pemalu bernama Beth March (Eliza Scanlen) yang cenderung pendiam dan lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain piano hingga membantu pekerjaan rumah, dan si bungsu Amy March (Florence Pugh) yang sangat ingin menjadi pelukis terkenal dan menikah dengan bangsawan kaya.
Pada film ini disajikan kritikan-kritikan secara halus dan jenaka yang keluar dari mulut tokoh Jo, tentang bagaimana problematika wanita yang terjebak dalam dilematis dan kontekstual secara mendalam yang tumbuh dari budaya dan lingkungan, yang sangat relevan dan seakan awet kisahnya hingga tak mengenal zaman. Menyadarkan kita bahwa dilema yang ditimbulkan oleh standar gender pada abad ke-19, ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang kini dirasakan pada abad 21. Film ini setidaknya melukiskan bagaimana empat bersaudara ini besar dengan bakat dan mimpi yang berbeda di tengah keluarga yang memberi mereka ruang untuk bebas menentukan jalan hidup mereka masing-masing, terutama dalam hal menikah dan membangun impian.
Film ini memilki trend dan respon positif. Setidaknya, film ini merupakan transisi paling pas ketimbang hasil adaptasi-adaptasi yang pernah terjadi sebelumnya. Mulai dari drama sehari-hari, kesedihan, hingga percintaan dibungkus jadi satu sebagai sebuah sajian yang hangat dan membekas di hati penonton.
Cara penyampaian yang pas dengan beberapa adegan flashback dari tokoh seperti Jo, seakan membuat penonton terhanyut dan ikut merasakan jejak memori masa lalu yang pernah dirasakan dan dialami oleh Jo semasa muda, yang merupakan gambaran dari Alcott sebagai seorang wanita yang menginginkan kebebasan dan amat mencintai sastra dalam hidupnya–yang dianggap rancu oleh saudara-saudaranya–yang ketika dewasa rela melepaskan mimpi mereka selama ini demi membina sebuah keluarga baru.
Film yang diputar pertama kali di Festival Film Internasional di Rio De Jeinero, Brazil ini seakan makin istimewa terutama bagi penikmat dan pembaca novel asli serial ini. Alih-alih menumpahkanya secara gamblang sesuai dengan novel aslinya, Greta dengan lihai meramu cerita tersebut ke dalam sebuah permasalahan yang kompleks, namun tetap ramah dan tentunya memilki daya pikat yang tinggi.
Sinematografi yang amat luar biasa tentunya memengaruhi karakter tiap pemain, tak perlu diragukan lagi sederet cast kenaaman sebut saja Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Eliza Scanlen, mampu dengan apik membagun chemistry yang sangat luar biasa sebagai kakak-beradik yang saling mengasihi, baik dalam suka maupun duka. Dari film ini pula disampaikan pesan bahwa seberapa jauh kaki melangkah, tempat paling nyaman untuk kembali adalah keluarga yang menerima apa adanya dan menjadi tempat keluh kesah terbaik. Emosi yang ditampilakan tiap pemain seakan menyihir perasaan penonton untuk ikut merasakan gejolak yang mereka alami. Salah satunya ketika Meg jatuh hati dan memilih menikah dengan seorang guru privat, John Brooke (James Norton), hal ini membuat Jo awalnya marah dan mempertanyakan kembali kesungguhan Meg mengenai impian dan cita-citanya. Jo bersikukuh bahwa mimpi Meg sebagai seorang aktris seharusnya tetap ia perjuangkan, namun Meg memilih untuk mewujudkan mimpinya yang lain, yakni membangun keluarga kecilnya bersama John Brooke ketimbang harus meneruskan cita-cita menjadi aktris. Penonton juga dijelaskan mengenai situasi perempuan masa lampau yang sangat tak berdaya. Di mana perempuan kala itu tak hanya tidak bisa bekerja dan ikut pemilihan umum, mereka juga akan kehilangan hak atas uang, properti, dan anak ketika mereka menikah.
Secara nyata Greta mampu menunjukkan dirinya sebagai salah satu sutradara brilian yang patut diperhitungkan kiprahnya di industri film global. Secara telaten dan hati-hati dirinya mampu secara gamblang menghidupkan kembali latar setting tempo dulu ke dunia modern. Sehingga, tak heran apabila film ini mampu menyabet berbagai penghargaan bergengsi dan masuk kedalam nominasi film Best Picture dalam ajang penghargaan tahunan Oscar.
Dalam penyajiannya terutama dalam satu jam pertama, film ini memiliki transisi yang sangat cepat dan padat, apabila penonton belum pernah membaca novelnya mungkin akan sedikit kebingungan dan dibuat bertanya-tanya. Alur yang maju mundur dinilai terlalu dominan terutama pada 15 menit pertama, sehingga bagi penonton yang belum mampu mencerna dengan nyaman akan dengan cepat dialihkan dan disuguhkan kepada adegan-adegan yang lain. Di balik semua itu, film ini sah-sah saja jika mendapat julukan film istimewa mengingat visi dan pesan yang disampaikan sangatlah mendasar dan hidup di sekitar kita. Persaudaraan, cinta kasih, haru, dan komedi melebur jadi satu dengan komposisi yang pas dan mengisyaratkan bagaimana merayakan pahit dan manis hidup secara bersamaan.
Dibumbui dengan intrik yang hidup dan melekat dalam diri wanita sebagai seseorang yang haknya sangat dipengaruhi oleh laki-laki, dan cenderung diartikan lemah dan tak berdaya, terus menjadi bahasan yang tak lekang dimakan oleh waktu. Rasanya pas apabila film ini dinikmati bersama keluarga untuk menemani masa di rumah aja.
Oleh: Berliana Syafa Kirana
Editor: I. N. Ishlah