Jawa Tengah Masuki Fase Darurat Kekerasan Seksual, Sirine Merah RUU TPKS Kian Menyala
LPM OPINI – Memasuki masa kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang diperingati pada 25 November – 16 Desember 2021, maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia justru semakin terungkap satu per satu dan menimbulkan keresahan di masyarakat.
Kehadiran Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang diharapkan menjadi tonggak keadilan sampai saat ini belum juga disahkan, dorongan dari berbagai pihak agar RUU TPKS ketuk palu semakin deras mengalir.
Merespons problematika ini, Jaringan Masyarakat Sipil Jawa Tengah mengadakan konferensi pers untuk mengulik fakta seputar kasus kekerasan seksual, terutama di Jawa Tengah beserta penjabarannya, pun membahas RUU TPKS dari kacamata KOMNAS Perempuan.
Dilihat dari segi kuantitatif, jumlah pengaduan langsung ke KOMNAS Perempuan tahun 2021 sekitar 4500, dua kali lipat dibanding tahun 2020.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mencatat sebanyak 19 kasus pengaduan kekerasan terhadap perempuan, rata-rata berisi aduan terkait kasus kekerasan seksual. Kemudian dari Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo dinyatakan bahwa selama pandemi terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan dan pada tahun 2018-2020, jumlah pengaduan mengalami kenaikan masing-masing 58, 64, dan 80 pengaduan.
Melengkapi data-data tersebut, Sahabat Perempuan Kabupaten Magelang menyertakan peningkatan kasus sebanyak 20% pada tahun 2021 (68 kasus) dibanding tahun sebelumnya (51 kasus). Meninjau statistik ini, Jawa Tengah dalam konferensi pers dinyatakan darurat kekerasan seksual.
Sudahkah Kampus Menjadi Tempat yang Aman?
Jawa Tengah dikenal sebagai provinsi dengan sebaran perguruan tinggi yang luas. Beberapa laporan kekerasan seksual di ranah Kampus kiwari memerlihatkan kerentanan kampus sebagai tempat predator seksual leluasa mencari korban.
Berdasarkan rekapitulasi survei yang telah dilakukan BEM Undip kepada 771 responden dari 12 fakultas dan beragam angkatan, tertera bahwa sebanyak 173 responden menjawab pernah mendapatkan, melihat, dan mendengar kekerasan seksual di Universitas Diponegoro.
Sementara itu, banyak diantaranya yang tidak mengetahui keberadaan layanan pencegahan kekerasan seksual di Undip. Faktanya. 83 responden menjawab tidak mengetahui, 604 menjawab mungkin, serta 84 menjawab tahu ada layanan tersebut.
Berpindah ke Universitas Negeri Semarang, survei yang dilaksanakan BEM KM Unnes kepada 133 responden dengan sampel civitas academica Unnes mencatat sebanyak 52.23% pernah melihat atau mendengar kejadian kekerasan seksual; 37.58% pernah mengalami kekerasan seksual; 9.55% tidak pernah mengalami, melihat atau mengetahui; 0.64% pernah melakukan kekerasan seksual.
Bila ditinjau dari hasil survei kedua perwakilan perguruan tinggi negeri di Semarang, disimpulkan universitas belum berhasil menciptakan ruang aman yang bebas dari lingkar hitam kekerasan seksual, sehingga regulasi dari pihak kampus bersifat mendesak demi tercapainya keamanan, keterbukaan, serta keadilan bagi seluruh warga kampus.
Serba-serbi Tantangan dalam Menuntut Keadilan
Penyintas kekerasan seksual sering kali kesulitan menyuarakan pengalamannya pada pihak berwajib karena adanya trauma yang membekas dalam diri korban. Sekalipun korban melakukan pelaporan, usaha mendapatkan keadilan merupakan proses panjang. Sulitnya mencari bukti terjadi kekerasan seksual berbasis siber acap kali menjadi alasan korban enggan melaporkan kasusnya. Di lain sisi, keabsenan jaminan perlindungan hukum dan kurangnya layanan khusus dari institusi kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan seksual juga menjadi hambatan sampai saat ini.
“Susahnya pembuktian dalam kasus kekerasan seksual berbasis siber sehingga korban engan untuk melaporkan kasusnya. Selain belum ada jaminan perlindungan hukum yang pasti serta belum seluruh institusi kepolisian memiliki lavanan khusus menangani kasus tersebut. Layanan baru ada di Polda saja,” terang Fitri Haryani, Manager Divisi Pencegahan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat dari Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo.
Kondisi pandemi sama sekali tidak mendukung sistematika penanganan kasus kekerasan seksual yang terus menjelma akibat belum adanya SOP yang disinergikan. Berbagai layanan beralih menuju sistem daring demi kesehatan seluruh pihak, tetapi tidak semua orang memiliki privilese dari segi kesiapan perangkat untuk mengakses layanan, ditambah munculnya kebijakan wilayah mobilitas yang menghambat proses pelaporan. Akibatnya, beberapa penyelesaian kasus tertunda.
“Kasus meningkat sedangkan SDM lembaga tidak ada penambahan. Awal pandemi belum memiliki SOP yang disinergikan dengan pencegahan pandemik sehingga berdampak rasa ketakutan akan tertular COVID bagi pendamping maupun korban,”
“Layanan lainnya ada perubahan jam layanan serta berubah menjadi layanan online padahal semua masyarakat dan perangkatnya sendiri belum ada kesiapan sehingga menghambat korban mengakses layanan,” lanjut Fitri.
Pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga, umumnya korban perempuan kesulitan mengakses layanan hukum karena kendala kelengkapan dokumen. Selain itu, rendahnya pidana kasus KDRT juga berperan sebagai faktor enggannya korban melaporkan kepada pihak berwajib.
“Rendahnya hukuman pidana kasus KDRT sehingga korban enggan melaporkan kasuanya jika dibandingkan dengan kebutuhan waktu untuk proses perkara pidananya,” kata Fitri.
Supremasi Penegakan Hukum yang mengatur KDRT minim dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum, serta arah yang diupayakan kemudian hanya sebatas mediasi. Ketimpangan yurisdiksi di Indonesia condong menyebabkan kerugian kepada korban saja, sebab hukuman pidana pada pelaku kekerasan tidak sebanding dengan kerugian dan rasa takut yang membekas pada korban.
“Supremasi Penegakan Hukum yang mengatur KDRT minim dilakukan oleh apparat penegak hukum (APH) atau sebagai acuannya dan arah yang diatur kemudian hanya upaya mediasi saja yang diladorong APH,” imbuhnya.
Kilas Balik Perkembangan RUU TPKS
Berkaitan dengan upaya penghapusan kekerasan seksual, Siti Aminah dari KOMNAS Perempuan menuturkan perlunya Undang-Undang yang mengatur masyarakat, seperti RUU TPKS. Pada konferensi pers yang diadakan tanggal 9 Desember 2021 via Zoom, Siti Aminah membahas 6 elemen kunci penghapusan kekerasan seksual yang harus ada dalam UU yang akan disusun untuk menghapuskan kekerasan seksual.
Elemen yang dimaksud terdiri dari pencegahan, tindak pidana, sanksi/pidana, hukum acara khusus, hak korban (pemulihan), serta pemantauan. Andaikata salah satu elemen dihapus, maka penghapusan kekerasan seksual menjadi tidak utuh atau komperhensif.
Dengan seluruh pemaparan yang dilakukan para aktivis pada konferensi pers berjudul “Jawa Tengah Darurat Kekerasan Seksual: Segera Sahkan RUU TPKS!” yang telah digelar belakangan ini oleh organisasi dan LBH Jawa Tengah, DPR semakin didesak untuk mempercepat pengesahan RUU TPKS demi mencapai masa depaan yang bebas dari kekerasan seksual dan menggapai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia seturut dengan dasar negara.
Penulis: Cheryl Lizka
Editor: Luthfi Maulana
Redaktur Pelaksana: Luthfi Maulana
Pemimpin Redaksi: Langgeng Irma