Madaharsa 1983

Jogjakarta, September 1983

 

Kring kring…

 

“Halo?”

“Oh, iya. Sebentar ya, mas,” Mbok Ratih menutup telepon dengan tangannya, menjauhkan dari mulutnya dan berteriak, “Mbak Yu, ada telpon!”

Perempuan muda yang tadi dipanggil Mbak Yu – Ayu namanya, langsung datang menghampiri Mbok Ratih.

“Siapa?” Tanya Ayu sesaat setelah menerima gagang telepon yang tadi diberi si mbok. Tapi si mbok hanya menggeleng dan pergi ke belakang, membuat Ayu mengerutkan dahinya. Penasaran, ia mendekatkan gagang telepon ke telinga. “Halo?”

“Benar ini Saudari Ayunina Gayatri?”

Senyum manisnya langsung terpasang setelah mendengar suara dari seberang sana. Suara yang sudah lama tidak ia dengar. Suara yang selama ini ia rindukan setiap malam. Suara yang selama ini menjadi favoritnya, mengalahkan suara artis favoritnya. Suara milik orang yang selama ini ia sebut namanya dalam doa dan sebelum tidurnya. Suara milik Madaharsa Karunasankara, kekasihnya.

“Mada! Kamu sudah pulang? Kapan?”

Mada terkekeh pelan, “Baru saja, tadi siang.”

“Jadi kamu baru saja pulang atau baru pulang tadi siang?”

Suara tawa Mada terdengar lagi, kali ini lebih lama, membuat Ayu juga semakin melebarkan senyumnya sampai matanya membentuk bulan sabit. “Saya baru pulang tadi siang, Ayunina.”

“Kok Mada nggak ngasih tau aku?”

“Lho, kalau saya beritahu, memangnya kamu mau jemput?” tanya Mada, setelah itu tertawa pelan. Di balik telepon Ayu menggeleng pelan, walaupun Mada jelas tidak melihat.

“Ayu kosong kan, hari ini?”

“Memangnya aku pernah jadi orang sibuk?”

“Tidak.” Setelahnya Mada tertawa, lagi. Entah sudah berapa kali Mada tertawa, Ayu pun tidak mengerti. Seingat Ayu, Mada tidak pernah tertawa begini lepasnya. Apa karena dia senang masa koasnya selesai? Atau ada hal lain, seperti rindu, misalnya?

Ah, terlalu pede aku.

“Ah, iya,” ujar Mada setelah tawanya reda. “Sudah lama kita tidak pergi berdua.”

“Iya, sudah lama sekali.” Lalu mereka diam, seakan habis semua perbincangan padahal yang terjadi justru sebaliknya. Ada begitu banyak hal yang ingin diceritakan, terutama Mada. Apa saja yang ia lewati disana, bagaimana rasa rindunya yang benar-benar sudah bertumpuk tapi tak bisa ia ungkapkan saat itu. Berapa banyak kertas yang berhasil ia tulisi puisi untuk kekasihnya di kota, dan kertas-kertas gagal yang pasti jumlahnya lebih banyak dibanding satu bait puisi.

Ya, Mada ingin menceritakan itu semua, tapi saat ini bibirnya justru bungkam,

Tut tut tut

Mada membulatkan matanya. Ia buru-buru merogoh saku jasnya untuk mencari koin dan memasukkannya lagi sebelum sambugannya benar-benar terputus.

“Mada, kamu lagi di luar?”

“Iya. Ramai, ya?”

“Iya,” balas Ayu. Memang iya, sejak awal menerima telepon pun terdengar suara bising anak kecil bermain. Ayu kira rumah Mada sedang ramai, ternyata ia salah. “Kamu ngapain di luar?”

“Kan sudah kubilang tadi, kita sudah lama tidak jalan berdua,” ujar Mada sambil mengubah posisinya jadi bersandar di sisi kanan kotak telepon, “Saya ingin mengajakmu keluar.”

Kaget? Oh, jelas. Ayu bahkan belum mengatakan rindu tadi. Terlampau rindu membuat dirinya justru tidak siap jika harus bertemu. Apalagi ini jam 4, waktunya Mbok Ratih pulang. Sebenarnya tidak masalah, tapi hari ini rumah kosong. Mama dan Papa pergi kondangan, adiknya baru saja pulang ke perantauan tadi pagi, jadi ia sendiri.

Juga, terlalu lama tidak bertemu membuatnya takut akan canggung nanti.

“A-apa? Pergi? Sekarang?”

Di dalam kotak telepon Mada mengangguk, “Hm, sekarang,” katanya. “Kenapa? Kamu belum mandi, ya? Pantas saja baunya sampai sini.”

“Enak saja! Aku sudah mandi, kali! Memangnya kamu kalau mandi cuma sekali sehari?”

“Sembarangan saja kalau bicara! Saya ini rajin mandi, mana ada sejarahnya –“ omelan Mada harus berhenti karena ada ibu-ibu menggedor kaca kotak telepon sampai bergetar. Mada meringis, lalu menganggukkan kepala pelan.

Di seberang sana, Ayu sedang mati-matian menahan tawanya. Untuk orang yang selera humornya jongkok seperti Ayu, ini hal tersusah kedua yang harus dilakukan dalam hidup setelah menghadapi masalah yang tak kunjung habis. Asalnya ia ingin saja tertawa, tapi tidak yakin Mada akan ikut tertawa nantinya, takut ngambek. Apalagi ini obrolan pertama setelah sekian purnama tidak ada komunikasi. Kalau Mada marah, hancur sudah obrolan panjang tadi.

“Kenapa?” tanya Ayu.

“Ah, tidak papa. Sudah, bersiap sana. Aku berangkat.”

“Siap, kapten!” Seru Ayu sambil hormat, dan mereka sama-sama menggelak tawa sebelum akhirnya Mada menutup teleponnya.

 

***

 

Mada memarkirkan sepedanya di depan pagar rumah Ayu. Ia memastikan bajunya terlihat rapih dulu sebelum akhirnya mengetuk pintu.

Tok tok tok

“Iya, sebentar!” Terdengar suara seseorang berteriak menyahuti ketukan pintu Mada, membuat dirinya langsung gugup seketika. Jujur saja, dua tahun menjalani masa koas yang berat di tanah orang membuatnya sedikit merasa asing terhadap kotanya sendiri. Hanya sedikit, tenang saja. Sisanya bermetamorfosa jadi rindu yang sedikit banyak tidak tersampaikan dengan benar.

Dalam kurun waktu dua tahun ini sudah ada banyak perubahan yang terjadi di kotanya, tapi hal itu tidak membuat Mada lupa akan kota kelahirannya, dan ia bersyukur akan itu. Juga, beruntungnya rumah Ayu masih sama, masih berada di dekat persimpangan jalan. Jadi ia tidak perlu repot-repot menanyakan alamat rumah baru kepada orang rumah. Andaikata keluarga Adhiwinata pindah pun ia mau saja repot-repot ke kantor sipil untuk meminta alamat rumahnya.

“Oh, Mas Mada rupanya,” ujar Mbok Ratih setelah melihat siapa yang mengetuk pintu. “Masuk, mas. Mbak Yu sedang riweh di kamarnya, saya panggilkan sebentar.”

“Ah, tidak perlu. Saya di luar saja,” jawab Mada sambil menggeleng kaku.

Mbok Ratih mengangguk, lalu kembali masuk ke dalam. “Mbak Yuuu, masmu wes datang lho!”

“Iya, ini aku udah turun kok!”

Jantung Mada berdegub lebih kencang dari sebelumnya. Suara itu, suara yang sudah lama tidak ia dengar, ia sangat merindukannya. Benar-benar merindukannya. Dan sekarang orang yang paling ia rindukan setelah ibu ada di hadapannya. Dengan dress berwarna kuning yang Mada berikan dua tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun untuknya, benar-benar membuat Mada terperangah akan cantiknya Ayunina hari ini.

“Cantik…”

Benar-benar cantik. Ah, tidak. Ayunina selalu cantik di mata Madaharsa, dan akan selalu cantik.

“Iya, Mada?”

Mada langsung mengerjapkan matanya, “Ah, tidak. Ayo, kita berangkat.” Mada berdiri dari duduknya, lalu menyodorkan tangannya ke hadapan Ayu, yang kemudian disambut dengan tangannya dan berakhir saling bergenggaman. Sambil berjalan keduanya diam, berusaha menetralisir degub jantung masing-masing.  Hingga akhirnya Mada berdeham.

“Naik sepeda tidak apa-apa, kan?” tanya Mada memecah kesunyian.

Ayu menoleh, “Tidak, justru aku ingin naik sepeda,” jawabnya.

Mada tersenyum, “Baguslah.”

Mereka menaiki sepeda dan pergi jalan-jalan

“Kita mau kemana?” tanya Ayu setengah berteriak. Wajar saja, jalanan hari ini lebih padat dibandingkan biasanya. Mungkin karena hari ini hari Minggu, orang-orang baru saja pulang dari liburannya.

“Kemana saja, asal bersamamu,” sahut Mada, setengah berteriak juga. Setelah itu ia tertawa. Ayu mencubit kecil pinggang Mada. “Hey, jangan cubit! Nanti oleng!”

“Biar. Lagipula, aku ini serius, tahu!”

“Aku juga serius.”

“IH! Serius, kita mau kemana, sih?”

Mada hanya tersenyum, “Nanti juga sampai.”

Sisa perjalanan mereka lewati dengan diam. Mada yang masih terus mengayuh dan Ayu yang sibuk memperhatikan jalan sambil sesekali tangannya mengeratkan pegangan ke pinggang Mada. Tangan satunya lagi ia gunakan untuk melambaikan tangan kepada orang-orang yang ada di jalan itu. Sesekali juga menyapa teman-temannya. Mada terkekeh geli, gemas dengan kelakuannya.

Mada memberhentikan kayuhannya. Akhirnya mereka sampai tujuan. Tempatnya sederhana, terlampau sederhana bahkan. Tidak ada yang spesial. Apa yang spesial dari kantor pos besar yang umurnya sudah tua dengan kotoran sana-sini? Tidak ada. Tapi tempat ini punya kisahnya sendiri bagi mereka berdua.

Singkatnya, pertemuan pertama mereka ada di tempat ini. Pertama kali Mada mengungkap cintanya, dan sekarang, mereka kembali lagi kesini.

“Ah, kamu rindu?” Tanya Ayu setelah turun dari sepeda, yang kemudian dibalas dengan anggukan kepala oleh Mada. Kini Mada menggenggam tangan Ayu, lalu menariknya pelan menuju kursi panjang yang ada di dekat situ. Setelahnya mereka duduk.

Saat ini pun mereka hanya diam. Masih dengan genggaman tangannya yang enggan lepas, baik Mada ataupun Ayu. Mengingat kembali ke hari dimana mereka pertama kali bertemu, berkenalan, lalu kencan pertama, hingga detik ini.

“Ayunina,” panggil Mada.

Ayu menoleh, menatap Mada yang juga menatap tepat di manik matanya. Lalu ia tersenyum dan menunduk setelah mendengar apa yang Mada katakan.

“Tiga tahun bukan waktu yang sedikit,” katanya. “Kita sudah melewatinya bersama. Dan saya ingin melewati tahun-tahun selanjutnya bersamamu sampai Allah menjemputku pulang. Kamu mau?”

Penulis: Rachel Aina

Redaktur Pelaksana: Almira Khairunnisa

 

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.