Tujuh Belas Tahun Berlalu, Perjalanan RUU PPRT Masih Penuh Lika-Liku

Indonesia memang sudah dinyatakan merdeka dari belenggu penjajahan. Sayangnya, makna merdeka belum sepenuhnya dirasakan oleh komponen masyarakat tertentu, khususnya wanita dan anak yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
Tercatat dalam data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), terdapat lebih dari 3.219 kasus yang dialami PRT dalam kurun waktu 2012 hingga 2019. Setiap harinya, mereka menghadapi berbagai kasus yang mengancam kesejahteraan, mulai dari eksploitasi tenaga kerja, kekerasan fisik, psikis, sampai seksual.
Oleh karena banyaknya risiko yang demikian mengerikan, mereka mengajukan usulan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) pada 2004 silam dengan harapan dapat mengubah nasib mereka. Namun sayang, sudah tujuh belas tahun terlewati, RUU PPRT masih dianggap sebagai angin lalu yang belum mendapatkan titik terang hingga sekarang.
Potret Kondisi Pekerja Rumah Tangga di Indonesia
International Labour Organization (ILO) mencatat bahwa Indonesia memiliki lebih dari 4,2 Juta PRT di Indonesia dengan 84% di antaranya adalah perempuan. Terlepas dari kontribusi yang signifikan untuk perekonomian negara, PRT dinilai memiliki kondisi pekerjaan yang terbilang buruk.
“Mereka (PRT) rentan mengalami eksploitasi, menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual, sampai perdagangan manusia,” ungkap Yuni Sri Rahayu selaku anggota Serikat Pekerja Rumah Tangga dalam Jala PRT.
Dalam webinar yang bertajuk “17 Agustus, 17 Tahun RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Mandek” yang diselenggarakan secara virtual melalui Zoom Meeting pada Selasa (17/8), ia menyatakan bahwa dalam kurun waktu Januari 2018 sampai April 2019, tercatat sebanyak 2.570 kasus kekerasan yang dialami PRT dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan psikis, fisik, ekonomi, serta pelecehan terhadap status profesi. Ada pula pengaduan berupa upah yang tak kunjung dibayar serta tabungan hari raya yang tak kunjung turun.
Adalah hal yang ironis ketika para PRT rupanya tidak bisa mendapatkan akses yang mudah ke dalam program jaminan yang diselenggarakan pemerintah. Survei Jaminan Sosial Jala PRT mencatat, terdapat sebanyak 4.843 PRT dalam tujuh kota, tidak mendapatkan jaminan kesehatan.
Walau terdapat program bantuan dari pemerintah, para PRT cenderung masih agak sulit mengakses. Sebab hal ini bergantung dari keputusan aparat lokal setempat, apakah PRT tersebut dapat dikategorikan warga miskin atau bukan. Tak hanya itu, ia mengatakan bahwa KTP yang berdomisili daerah asal juga menjadi salah satu faktor sulitnya mengakses layanan.
Lebih lanjut, Yuni mengungkapkan bahwa terdapat sebanyak 9.472 PRT yang tidak mendapatkan hal jaminan ketenagakerjaan. Hal ini tergambar dari social safety net atau jaringan pengaman sosial berupa bantuan nonkontribusi untuk meningkatkan kehidupan masyarakat rentan yang tak dapat diakses oleh PRT.
“Sebagaimana contohnya dalam pandemi Covid-19 ini, sebagai pekerja, PRT tidak terdaftar baik sebagai warga miskin maupun warga urban,” ujarnya.
Upaya Perlindungan yang Dapat Diusahakan
Sejak 2004 silam, DPR sudah mengantongi RUU PPRT yang telah diajukan oleh Jala PRT. Namun, tujuh belas tahun telah berlalu, RUU ini tampak masih menjadi angin lalu. Empat kali sudah periode DPR dan pemerintahan silih berganti, tetapi masalah ini tak kunjung dibenahi.
Tahun 2020 hingga 2021, perkembangan RUU PPRT dinilai sudah lebih baik meski dicapai dengan perdebatan yang sangat alot. RUU PPRT berhasil memasuki prioritas Proyek Nasional 2021.
“Walaupun draf RUU PPRT sudah ditetapkan ke Paripurna, selama hampir satu tahun ini masih ada saja pihak yang menghalangi (RUU PPRT) untuk sampai ke tahap pembahasan selanjutnya,” keluh Yuni.
Menanggapi hal ini, Theresia Iswarini selaku Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), menilai bahwa perjalanan yang ditempuh oleh RUU PPRT masih sangat berliku dan terjal. Ia menegaskan, RUU ini harus bisa masuk ke ruang yang lebih maju.
“RUU PPRT harus bisa masuk ke ruang yang lebih maju, yaitu Ruang Paripurna. Komnas dan masyarakat sipil sudah mengupayakan lobi dan pendekatan kepada organisasi masyarakat untuk mendukung RUU PPRT agar tetap ada dalam ruang-ruang pengambilan keputusan,” ungkap Theresia.
Peran Pemuda dalam Menyuarakan Urgensi RUU PPRT
Masih dalam forum yang sama, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Leon Alvinda Putra, turut menyampaikan keresahannya dalam masalah ini. Ia menilai bahwa PRT merupakan sektor rentan dengan memiliki ciri khas mendapatkan banyak perlakuan diskriminasi.
Leon menganggap bahwa pemuda perlu menyuarakan pentingnya perlindungan pada PRT karena sudah seharusnya PRT dianggap sebagai pekerja yang haknya harus dilindungi oleh negara.
Ia mengklasifikasikan tiga langkah yang dapat diimplementasikan oleh pemuda dalam menyuarakan keresahan ini, antara lain mengamplifikasi suara, bersolidaritas, dan berkonsolidasi.
“Pertama, mengamplifikasi suara. Maksudnya kita bersama-sama menyebarkan data mengenai PRT, bagaimana kerentanan serta masalah mereka terutama pada masa pandemi ini. Pemuda, khususnya teman-teman mahasiswa, perlu menyebarkan informasi terkait hal ini,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa para pemuda harus bersolidaritas demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
“Kita perlu bersolidaritas untuk mendorong pengesahan RUU PPRT. Setelah bersolidaritas, kita bisa sama-sama berkonsolidasi untuk mendesak pengesahan RUU PPRT sebab RUU ini punya tingkat kepentingan yang sama dengan RUU PKS untuk dapat segera disahkan,” lanjutnya.
Menurut kajian yang disusun oleh BEM UI, Leon menilai bahwa eksistensi UU PPRT nantinya tidak hanya menjamin perlindungan kepada PRT, tetapi juga memberikan kepastian hukum sebab hubungan timbal-balik antara PRT dengan pemberi pekerjaan dapat lebih terjamin.
“Ini bukan masalah milik PRT saja. Ini masalah kita bersama di mana semua komponen negara harus sama-sama mendesak RUU ini agar disahkan. Kita harus bersolidaritas kemudian berkonsolidasi untuk melakukan pengesahan RUU. Ini isu kita bersama. Kita butuh dukungan dari para pemuda,” pungkas Leon.
Penulis: Almira Khairunnisa
Editor: Annisa Qonita Andini
Redaktur Pelaksana: Luthfi Maulana
Pemimpin Redaksi: Langgeng Irma