Menilik Pilihan Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa: Faktor Penyebab dan Upaya Pencegahan

LPM OPINI – Seorang mahasiswi Universitas Indonesia berinisial MPD ditemukan tewas di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada (8/3) lalu. MPD diduga bunuh diri dengan melompat dari apartemen tempat ia tinggal. 

Prawira menuliskan dalam artikelnya, Emotional Health for All Foundation (EHFA), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia melakukan penelitian pada September 2022. Mereka menemukan tiga permasalahan yang seringkali menjadi faktor seseorang melakukan bunuh diri, diantaranya, masalah keluarga, masalah keuangan, dan kesepian.

Menurut WHO (2019), sekitar 800.000 orang per tahun di dunia meninggal akibat bunuh diri. Negara Indonesia sendiri menempati posisi kelima diantara negara di Asia Tenggara dengan persentase 3,7%.

 

Pilihan Mengakhiri Hidup

Kartika Sari Dewi, S.Psi., M.Psi, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro menjelaskan bahwa mental health (kesehatan mental) sendiri sama seperti sakit biasa, ada kondisi akut dan kondisi kronis. Ide-ide mengenai bunuh diri atau percobaan bunuh diri biasanya muncul pada mahasiswa apabila keadaannya sudah termasuk kronis. 

“Semakin dewasa orang, tuntutan kehidupan orang juga semakin banyak dan itu yang membuat orang melakukan percobaan bunuh diri,” ungkap Kartika. 

Menurut Yohanis F. La Kahija, S.Psi,. M.Sc, bunuh diri sebenarnya terjadi karena ketidakmampuan menghandle pikiran dan emosi. Setiap orang memiliki harapan dan keinginan dalam hidupnya, tetapi ketika keinginan itu tidak tercapai maka akan menimbulkan rasa kecewa. Hal yang sama juga terjadi pada mahasiswa, karena sebagai manusia mahasiswa juga memiliki harapan-harapan di masa perkuliahannya. 

Kalo banyak yang tidak tercapai, tidak sesuai dengan yang dia harap dan dia goncang, nah kegoncangan itu jika tidak terselesaikan, (maka) mulailah muncul pikiran bahwa hidup ini terasa suram,” jelas Yohanis. 

 

Faktor Penyebab di Balik Pilihan Bunuh Diri

Kartika menceritakan bahwa tak jarang di era saat ini sebagian anak muda memilih untuk melakukan self diagnosis dibandingkan bertanya pada ahlinya. Hal ini menyebabkan adanya kesalahan dalam diagnosis.

Ketika ditanya, apa faktor penyebab mahasiswa terkena permasalahan mental health? Kartika menjawab, “Ya, cukup kompleks sebetulnya.” 

Ia menjelaskan bahwa kesehatan mental juga bisa didapatkan dari gen-gen yang membuat mudah sakit. Kemudian, faktor penyebab lainnya juga bisa dari sisi lingkungan, sisi pendidikan, sisi spiritual, dan sisi keluarga. Bagaimana perlakuan dan tuntutan orang tua pada anak juga dapat menjadi faktor penyebab. 

Dalam menanggapi kasus bunuh diri mahasiswa, Kartika mengatakan bahwa hal tersebut sangat disayangkan. Pilihan untuk bunuh diri seringkali terjadi karena korban merasa dia tidak punya support system, tak didengar, merasa sendirian, dan tidak memiliki semangat untuk melanjutkan hidupnya. Padahal, mahasiswa masih berada di usia produktif, jadi tentu saja sangat memprihatinkan. 

“Mungkin ini tidak terlepas dari banyaknya tuntutan dan tanggung jawab, yang kedua juga adanya pengalaman-pengalaman masa lalu semacam unfinished business, kondisi-kondisi di masa lalu yang belum terselesaikan dengan baik, karena rata-rata orang kalo mau mengadukan kondisi kesehatan dianggap aib jadi tidak mau membuka akses untuk pertolongan diri. Padahal usia produktif yang lebih banyak berjuang,” tambah Kartika.

 

Upaya Pencegahan 

Kartika memberitahu bahwa sebenarnya peran masyarakat sangat penting. Masyarakat bisa memberikan informasi dan dukungan emosional pada mereka yang mengalami gangguan mental health. Mereka sebenarnya hanya butuh didengarkan, dihargai, dan diakui bahwa apa yang mereka rasakan itu valid. 

“Nah, masyarakat  minimal menjadi tempat bahwa sebenarnya mereka tidak sendiri. Sebagai support system artinya connected atau membuat tetap saling terhubung satu sama lain. Jadi, sangat penting sebenarnya peran masyarakat,” jelas Kartika. 

Yohanis turut menambahkan bahwa penting bagi masyarakat untuk diajarkan mengenai sosialisasi kebiasaan support. Dalam istilah Psikologi, social support atau dukungan sosial diperuntukkan bagi orang-orang yang sedang rapuh dan tak tau arah hidupnya. 

Menurutnya, masyarakat perlu saling mengupayakan orang yang sedang kehilangan arah supaya dibantu dan diarahkan. Masyarakat dapat memberikan jalan kemana saja asalkan benar, karena jalan dalam hidup tidak hanya satu. Mengajak mereka yang sedang rapuh untuk bertemu profesional dalam bidang mental health juga merupakan salah satu arahan yang membantu. 

“Jalan dalam hidup tidak (hanya) satu tok. Tapi intinya dia dibantu tenang deh, karena dia lagi kacau jangan ditambah kacau, ditertawakan, disalahkan, digunjingkan, itu kan mengacaukan situasi,” ucap Yohanis.

 

Pelayanan Kesehatan Mental

Yohanis memberikan pendapatnya terkait fasilitas dan pelayanan kesehatan di Indonesia. Menurutnya, terkait fasilitas kesehatan yang disediakan untuk kesehatan mental masih belum maksimal. Mayoritas penyakit badan berasal dari kesehatan mental, karena itu pelayanan kesehatan mental perlu disuarakan. Namun, sejauh ini Yohanis melihat bahwa ajakan untuk memenuhi fasilitas tersebut masih perlu diusahakan.

Sementara itu, Kartika mengungkapkan bahwa pemerintah khususnya dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menggencarkan program-program terkait isu mental health. Tonggaknya terlihat sejak era pandemi Covid-19 pada 2020 lalu. Pemerintah membuat hotline service, Sedjiwa 19 untuk penanganan Covid dan kesehatan mental bagi masyarakat Indonesia yang terdampak. 

“Saya berani bilang begitu karena saya termasuk psikolog yang melayani konseling via online. Pemerintah juga melalui Kemenkes membuat program, bahwa semua Puskesmas itu harus dilengkapi nakes, tenaga kesehatan khusus kesehatan jiwa, baik perawat, psikolog klinis, psikiater. Mulai dicanangkan sejak pandemi, dua tahun lalu,” imbuh Kartika

Ketika membicarakan topik mengenai psikolog dan psikiater. Yohanis mengungkapkan bahwa kriteria seorang psikolog/psikiater layaknya seorang teman, ada yang asyik dan ada yang tidak asyik. 

Idealnya, dunia kesehatan mental perlu untuk mengupayakan cara-cara yang lebih bersahabat. Setiap psikolog harus mau mendengarkan orang dan memberikan kesimpulan tanpa terburu-buru.

“Kalo kesimpulannya terburu-buru jadi salah, logisnya seperti itu. Jadi, sebelum menyampaikan kesimpulan, dilihat dulu ada apa, baru menyimpulkan. Sering kali (yang) terjadi itu mengecewakan jika belum apa-apa sudah menyimpulkan,” ucap Yohanis.

 

Peran Kampus Dalam Melindungi Mahasiswa

Yohanis menjelaskan pemicu stress berbeda-beda. Apabila dibandingkan, tiap jaman juga memiliki pemicu stress yang tak sama. Pihak Universitas perlu untuk mengidentifikasi bagaimana anak muda jaman sekarang demi memberikan perlakuan yang sesuai.

“Kita tidak bisa ngapa-ngapain orang jika kita tidak tahu masalahnya. Jadi semuanya harus bermula dari identifikasi masalah, supaya tahu di jamanmu seperti apa,” jelas Yohanis. 

Menurut Yohanis, level stress anak jaman sekarang bisa dibilang cukup tinggi. Stress sendiri berhubungan dengan tuntutan kehidupan. Hal yang menuntut mahasiswa bisa berbeda-beda, entah karena tuntutan orang tua entah karena tuntutan kampus. 

Pada akhirnya, peran penyediaan fasilitas kesehatan mental baik dari Universitas Diponegoro maupun seluruh Indonesia, bahkan dunia pendidikan masih tergolong kurang. 

“Karena itu saya pikir, bukan hanya kampus kita tapi seluruh Indonesia, dunia pendidikan pun begitu. Harus memikirkan serius ini stress mahasiswa saat ini dan untuk dikatakan maksimal saya kira tidak akan tercapai titik itu apabila belum ada identifikasi tadi,” tambahnya. 

Disisi lain, Kartika menjelaskan bahwa Universitas Diponegoro sudah memberikan upaya mereka melalui layanan gratis konseling untuk mahasiswa. Khususnya, terdapat layanan yang tersedia di Fakultas Psikologi. Mereka memiliki Badan Konsultasi Mahasiswa di Fakultas (BKMF). Layanan tersebut cukup baik, karena banyak mahasiswa yang berani terbuka untuk menceritakan masalahnya ke BKMF.

Namun, Kartika tidak tahu apakah seluruh fakultas di Universitas Diponegoro menyediakan layanan konseling. Menurutnya, Universitas juga perlu rutin memberikan campaign tentang kesehatan mental. 

 

Referensi

https://amp.kompas.com/megapolitan/read/2023/03/13/05000021/fakta-dugaan-bunuh-diri-mahasiswi-ui-lompat-dari-lantai-18-apartemen-dan

https://www.liputan6.com/amp/5231750/mahasiswa-ui-bunuh-diri-angka-kejadian-bundir-yang-tidak-dilaporkan-di-indonesia-mengejutkan 

https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1450/depresi-dan-bunuh-diri

 

Narasumber: Kartika Sari Dewi, S.Psi., M.Psi  dan Yohanis F. La Kahija, S.Psi,. M.Sc

Penulis: Vanessa Ayu Nirbita

Reporter: Citra Adi Lusiandani

Editor: Dinda Khansa

Desain: Irene Navita

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.