Serba-Serbi Hari Lahir Pancasila: Dari Sukarno, Suharto, sampai Gaji BPIP

LPM OPINI –  Genap 75 tahun Pancasila lahir dari mulut proklamator pada 1 Juni 1945, peristiwa yang kemudian menjadi cikal bakal peringatan Hari Lahir Pancasila untuk mengabadikan ideologi bangsa dalam bingkai pidato presiden Sukarno tersebut.

Banyak pertanyaan penting berkenaan Hari Lahir Pancasila yang lazim digaungkan tiap tahunnya selain mempertanyakan jenis kelamin burung Garuda Pancasila. Pertanyaan seperti sejarah awal mula Pancasila, pemaknaan Pancasila, BPIP ngapain, sih? serta pertanyaan-pertanyaan di kalangan anak SMA yang mungkin di masa pandemi ini tidak berlaku seperti “Ada upacara nggak?”.

Selain pertanyaan-pertanyaan yang umumnya di-googling masyarakat awam, ada juga perdebatan-perdebatan yang jadi agenda tahunan saat peringatan Hari Lahir Pancasila. Perdebatan ini acap kali dilakukan secara terbuka oleh kalangan akar rumput seperti mahasiswa kiri pecinta sejarah sampai kalangan mahasiswa kritis tapi sok edgy. 

Perdebatan itu berkaitan dengan penanggalan Hari Lahir Pancasila, anggap saja kubu ring merah meyakini Hari Lahir Pancasila seharusnya diperingati satu hari setelah Hari Kemerdekaan, yakni 18 Agustus, sementara kubu ring biru mengimani Hari Lahir Pancasila sudah berada pada koridor penanggalan yang tepat, yakni 1 Juni.

Perdebatan ini sebenarnya mirip-mirip dengan sidang isbat penentuan lebaran antara Muhammadiyah dengan metode hisabnya dan Nahdlatul Ulama dengan metode rukyat. Masing-masing kubu mempunyai dalil yang sama kuat mengenai hari yang ujung-ujungnya ditentukan oleh pemerintah.

Hari Lahir Pancasila di Era Sukarno

Jika kita tarik ulur pada sejarah, peringatan yang disahkan menjadi hari libur pada 2017 ini punya catatan panjang sebelum disahkan oleh presiden Sukarno sendiri pada 1964 atau 19 tahun pasca-kelahirannya. Hal ini ditandai dengan upacara kenegaraan di Istana Merdeka yang berslogan ‘Pancasila Sepanjang Masa’.

Spekulasi bermunculan, paling lumrah adalah keputusan tersebut dipengaruhi oleh Aidit yang pada awal Mei 1964 membuat pernyataan yang terkesan mempertanyakan dan bahkan menyelewengkan Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidato berjudul “Berani, Berani, Sekali Lagi Berani,” dilansir Historia.id, Aidit mengatakan “Pancasila mungkin untuk sementara dapat mencapai tujuannya sebagai faktor penunjang dalam menempa kesatuan dan kekuatan Nasakom. Akan tetapi, begitu Nasakom menjadi realitas, maka Pancasila dengan sendirinya tak akan ada lagi.”

Masih dilansir dari Historia.id, Ganis Harsono, juru bicara departemen luar negeri pada era Sukarno, berasumsi Sang Proklamator mungkin karena sangat terpengaruh oleh sikap Aidit yang menyelewengkan Pancasila, maka secara tiba-tiba menuntut diadakannya acara peringatan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 1964.

“Hari itu adalah hari ulang tahun kesembilan belas Pancasila, dan banyak kalangan yang menganggap aneh, bahwa hari itu diperingati falsafah negara Indonesia secara resmi untuk pertama kalinya,” kata Ganis dalam memoarnya, Cakrawala Politik Era Sukarno.

Peristiwa di atas kemudian menjadi ayat suci bagi para penganut kepercayaan Hari Lahir Pancasila 1 Juni, berbeda dengan penganut kepercayaan 18 Agustus yang menarik benang sejarah jauh 19 tahun ke belakang lagi saat idelogi bangsa masih sebatas jadi agenda rapat BPUPKI.

Mari kita rewind ke 19 tahun sebelumnya. Indonesia punya badan bernama BPUPKI yang hanya menggelar rapat dua kali yakni 29 Mei sampai 1 Juni dan 10 sampai 17 Juli 1945. Ada satu sidang lagi yang dilakukan kendati tidak resmi dan hanya diikuti beberapa anggota pada masa reses, antara 2 Juni hingga 9 Juli 1945. 

Tidak kurang dari 12 anggota yang berpidato di sidang pertama, salah satunya M. Yamin yang merumuskan 5 asas dasar negara, yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.

Pada 1 Juni 1945, yang mana merupakan penutup rapat BPUPKI sejak 29 Mei, Sukarno mengemukakan gagasan 5 sila, terdiri atas Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pidato ini yang kemudian menjadi tonggak hari lahir Pancasila. 

Namun, hingga anggota sidang beranjak dari kursinya masing-masing, kesepakatan masih nol besar. Ada perbedaan pendapat yang cukup tajam antara kubu nasionalis dan kubu agamais, salah satunya tentang bentuk negara, antara negara kebangsaan atau negara Islam, meskipun hal ini bukanlah persoalan yang baru (Bernhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 1987:232).

Setelahnya, dibentuklah Panitia Sembilan yang terdiri dari Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, M. Yamin, Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikusno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim, dan A.A. Maramis untuk menemukan jalan tengah dalam perumusan dasar negara. Hasilnya pada 22 Juni 1945, lahirlah rumusan dasar negara RI yang dikenal sebagai Piagam Jakarta yang kelak sila pertamanya diubah menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Berikutnya dibentuk PPKI sebagai langkah persiapan pembentukan pemerintahan Indonesia merdeka. Sidang PPKI yang kedua merupakan sidang sakral pascaproklamasi, digelar pada 18 dan 19 Agustus 1945, salah satu hasil sidang itu ialah pengesahan UUD 1945 yang didalamnya termaktub Pancasila. 

Karenanya, 18 Agustus yang kemudian dianggap lebih berhak dikultuskan menjadi Hari Lahir Pancasila ketimbang 1 Juni oleh sebagian orang. Mereka menganggap Pancasila baru utuh dan sah baik secara isi maupun konstitusi menjadi falsafah bangsa. Pemikiran ini diadopsi pemerintahan masa Orde Baru yang ditunggangi rezim Suharto.

Hari Lahir Pancasila Era Suharto

Setelah gonjang-ganjing G30S/PKI, Sukarno digantikan Suharto, presiden paling panjang umur masa jabatannya di Indonesia. Hal ini pula yang menjadikan peringatan Hari Lahir Pancasila dipudarkan perlahan-lahan seiring penghapusan pemikiran-pemikiran Sukarno pada masa rezim yang enggan dilabeli sebutan rezim tersebut.

Hari Lahir Pancasila seolah tergeser peranannya dengan Hari Kesaktian Pancasila, hari besar yang dibaptis Suharto menjadi hari penting itu ditandai dengan tayangnya film propaganda kekejaman PKI di televisi nasional sebagai salah satu bentuk peringatan tiap malam 1 Oktober.

Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 10 Mei 1987, peringatan Hari Lahir Pancasila tiap tahun pada masa Orde Baru tak rutin dilakukan. Misalnya, jika tahun ini bangsa Indonesia memperingati, tahun besoknya tak ada peringatan. Pada masa itu memang wacana yang berkembang adalah 1 Juni 1945 tak dianggap sebagai hari lahirnya Pancasila, melainkan hari lahirnya “istilah Pancasila”. Hal-hal tersebut tentunya mengundang polemik di masyarakat pada saat itu.

Pada Juni 1987, Ketua DPR/MPR, H. Amirmachmud mengimbau untuk menghentikan polemik tersebut. Pemerintah Orde Baru kemudian memperbolehkan masyarakat Indonesia memperingati 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, kendati tidak ditetapkan secara nasional.

Kelahiran BPIP dan Peringatan Hari Lahir Pancasila di Masa Pandemi

Perjalanan panjang Hari Lahir Pancasila akhirnya paripurna dengan keputusan Presiden Joko Widodo menjadikan 1 Juni sebagai Hari Libur Nasional dan pembentukan BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) sebuah lembaga suci garda terdepan pembela Pancasila, selain barikade pemuda Pancasila.

Tugas BPIP secara singkatnya adalah lembaga yang membantu presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila ke masyarakat luas. Namun, ada yang jauh lebih menarik dari itu, yakni gaji Ketua Dewan Pengarah BPIP yang tak lain merupakan ibu partai banteng, Megawati Soekarnoputri, beliau mendapat gaji setara dengan 16.000 porsi seblak pedas tanpa ceker atau Rp112.000.000,00. Wow, kenyang.

Angka fantastis ini belum menghitung jajaran anggota dewan pengarah yang masing-masing mendapat rekening saldo masuk sebesar 100 juta rupiah. Mungkin presiden mau nunjukin kalau Pancasila itu benar-benar mahal harganya.

Tugas BPIP memang berat, kamu gak akan kuat, biar BPIP saja. BPIP menjalankan misi pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan kontinu pada seluruh rakyat Indonesia. Meskipun mungkin sebagian besar di antara kita belum merasakan kehadiran BPIP selain bikin kontroversi seperti konser amal di tengah pandemi atau bikin pernyataan kontroversial macam ‘Agama Terbesar Pancasila’, bisa dibayangkan jika BPIP melakukan tugasnya sesuai dengan visi, mungkin akan seperti mengecek hafalan lima sila beserta lambang-lambangnya dalam dada burung Garuda yang jenis kelaminnya masih anonim. Namun, setidaknya pembentukan BPIP ini lebih agak masuk akal ketimbang penobatan Zaskia Gotik sebagai Duta Pancasila. 

Tidak afdal juga rasanya kalau BPIP tidak mengadakan peringatan Hari Lahir Pancasila. Namun, di tengah chaos masa pandemi saat ini, rasanya tidak mungkin dan kurang etis jika dilaksanakan peringatan seremonial yang mengundang perkumpulan orang banyak seperti upacara. Namun, akhirnya BPIP menunjukkan kualitasnya yang selevel gajinya dengan ngide membuat upacara virtual dadakan setelah sebelumnya dijadwalkan akan digelar langsung dengan pembatasan maksimum 100 orang di Gedung Pancasila, Kompleks Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat. Rencana yang jadi prank bagi para panitia yang sudah menyiapkan segalanya dengan matang.

Kendati demikian, semua jadi berjalan aman terkendali karena memang sebelumnya, BPIP menegaskan pelaksanaan seremonial itu hanya dilakukan di pusat saja. Hal ini sebagaimana tertuang dalam surat edaran terbitan Kemdikbud yang merupakan tindak lanjut atas edaran dari BPIP, tadinya, roman-romannya BPIP mengorbankan diri untuk upacara di lapangan sendirian sebagai rasa tanggung jawab agar peringatan ini dapat tetap berjalan khidmat, tapi segala puji bagi Tuhan, mereka sadar duluan. Dalam poin dua surat edaran pedoman peringatan Hari Lahir Pancasila itu disebutkan;

(2) Kementerian/Lembaga, instansi pemerintah pusat maupun daerah, serta kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri wajib mengikuti jalannya Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 1 Juni 2020 mulai pukul 09.00 WIB melalui siaran langsung di kanal Youtube BPIP, laman Facebook BPIP, Instagram BPIP, dan siaran TVRI dari  kantor/ruang kerja/rumah/tempat tinggal masing-masing.

Jadi, lembaga atau institusi pendidikan serta masyarakat pada umumnya diminta untuk tetap di rumah dan memperingati Hari Lahir Pancasila dengan menonton upacara ala kenormalan baru di layar kaca atau kanal media sosialnya masing-masing. 

Mari kita hargai keputusan mereka meskipun telah membuat masyarakat was-was akan keselamatan garda terdepan pembela Pancasila yang kita sayangi. Memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Atau mungkin BPIP ingin mengedukasi Ferdian Paleka dan para sekutunya tentang bagaimana prank yang baik dan bermuatan nilai Pancasila. Mulia sekali. Aku padamu, BPIP!

Selamat Hari Lahir Pancasila, Sobat Opin!

Penulis: Luthfi Maulana

Editor: Ikhsanny Novira I.

Redaktur Pelaksana: Annisa Qonita A.

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.