Pantai Pasir Putih Wates: Sederhana yang Membahagiakan

Dulu dan Kini

Dulu saat saya masih berada di bangku sekolah dasar, tepat di hari pertama awal tahun baru paman mengajak saya ke pantai di dekat rumahnya. Saat itu saya, paman, bersama sepupu yang lain pergi ke pantai bersama-sama untuk melihat matahari terbit. Kami tidak naik kendaraan apapun melainkan berjalan kaki sembari berolahraga untuk sampai kesana. Paman berkata pantai ini sangat indah, pasirnya putih tapi jarang dikunjungi. Pantai ini hanya diketahui oleh warga setempat saja. Benar saja, saat tiba di pantai yang saya lihat hanya pantai berpasir putih dan beberapa perahu nelayan yang bertengger rapi di pesisir pantai. Perahu-perahu itu bergoyang mengikuti ombak yang tenang. Pantai pasir putih Wates atau Pantai Wates, begitulah pantai ini dikenal oleh banyak orang sekarang. Sekarang ini banyak wisatawan dari berbagai daerah datang ke Pantai Wates. Beberapa hari yang lalu saya putuskan untuk kembali berkunjung ke Pantai Wates, paman bilang Pantai Wates sekarang sudah banyak berubah.

Pagi-pagi sekali saya bersiap untuk pergi, dimulai dari kepusingan saya saat memilih pakaian yang cocok untuk digunakan ke pantai. Hingga drama adik saya yang minta ikut karena bosan terlalu lama di rumah. Jadilah saya yang berencana pergi seorang diri berubah menjadi wisata keluarga bersama orang tua.

Bermulanya Perjalanan

Pantai Wates terletak di desa kecil bernama Tasik Harjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang. Jika kalian datang dari pusat kota Rembang jaraknya sekitar 10 kilometer ke arah Barat dan 600 meter dari jalan pantura. Tidak perlu takut tersesat karena untuk menuju kesana sudah difasilitasi dengan petunjuk arah yang akan mengantarkan kalian ke Pantai Wates. Akses jalan yang disediakan memang tidak terlalu lebar hanya cukup untuk satu mobil, sehingga jika ada mobil dari arah yang berlawanan kita harus bersiap untuk berhenti sejenak untuk dapat masuk ke kawasan pantai.

Seratus meter dari kawasan Pantai Wates saya bisa melihat pemandangan pohon cemara yang terbentang indah di depan saya. Mobil saya berhenti di gapura pintu masuk pantai. Tertulis jelas di sana ‘Pantai Pasir Putih Wates’ dan juga tulisan ‘Selamat Datang’. Saya datang ke wilayah pantai saat pandemi Covid-19 masih terjadi. Maka dari itu sebelum masuk ke kawasan pantai, akan ada petugas yang mengecek suhu badan masing-masing pengunjung. Saya juga sempat melihat beberapa pamflet protokol kesehatan di bagian depan gapura. Setelah pengecekan suhu badan dilakukan petugas akan memberikan tiket masuk. Petugas yang mengecek suhu badan kami tadi memberikan selembar tiket masuk, “Rp 10.000, Mbak,” begitu ucapnya sambil menyerahkan tikenya pada saya. Saya sempat mengira bahwa harga masuknya adalah Rp 10.000 per orang dan ternyata Rp 10.000 itu untuk satu mobil. Itu berarti, bahkan jika satu mobil berisi 10 orang atau lebih biaya masuknya akan tetap Rp 10.000. Tertulis juga untuk pengendara motor harga tiket Rp 5.000, kendaraan bertipe ELF Rp 15.000, dan Rp 20.000 untuk bus. Dengan harga yang dipatok tersebut, saya rasa harga yang diberikan sangat terjangkau dibanding dengan tempat wisata sejenis. Dengan tiket yang sudah saya kantongi, mobil saya melaju masuk ke area parkiran. Saat itu saya melihat beberapa bagian di area parkir terlihat tergenang air dan saya berpikir bahwa genangan air itu mungkin berasal dari hujan.

Objek dan Fasilitas Beragam

Hari itu saya datang di hari kerja sehingga kondisi pantai tidak begitu ramai, hanya ada beberapa mobil dan beberapa motor yang terparkir di area parkiran pantai. Saya cukup bersyukur bahwa kondisi pantai tidak terlalu ramai, itu berarti saya bisa menikmati keindahan Pantai Wates tanpa harus berkerumun dengan banyak orang, apalagi di masa pandemi seperti ini. Saya dengan bersemangat turun dari mobil di temani sandal jepit coklat milik saya, khas anak pantai. Begitu saya mendekat ke bibir pantai saya bisa merasakan hembusan angin yang begitu tenang menghempas pakaian saya. Tidak terlalu kencang juga tidak terlalu pelan hingga dapat membuat saya kegerahan. Yang saya ingat angin hari itu benar-benar menyenangkan. Seperti nama pantai ini, pasir putih langsung menyambut saya begitu saya mendekat ke bibir pantai. Saya rasa ini adalah pantai dengan pasir terputih yang pernah saya kunjungi. Baru beberapa menit sampai di pantai ini saya bergumam dalam hati bahwa saya memilih tempat yang tepat untuk berwisata di tengah kepenatan.

Tidak membuang-buang waktu, saya bersama adik saya berjalan menyusuri pantai dari ujung barat hingga ke timur. Selama berjalan kami menemukan banyak sekali spot-spot foto menarik untuk berswafoto, mungkin sering disebut oleh anak-anak jaman sekarang spot-spot instagramable. Ada rumah pohon yang menghadap langsung ke pantai, ayunan, atau sekedar gazebo-gazebo kayu yang dapat kita tempati untuk menikmati keelokan Pantai Wates secara gratis. Pada bagian timur pantai kalian akan disuguhkan dengan pemandangan hutan cemara yang begitu memanjakan mata. Pohon-pohon berjejer rapi membuat suasana menjadi lebih syahdu, terlebih lagi saya datang di saat pengunjung sedang sepi, sungguh beruntung. 

Mengenai fasilitas, saya merasa fasilitas yang disediakan sudah cukup baik. Terdapat kamar mandi yang cukup bersih, mushola, juga tempat parkir yang cukup luas. Jika kalian ingin menemukan pengalaman lain, Pantai Wates menyediakan kesempatan bagi kalian yang ingin menaiki perahu untuk pergi ke Pulau Gedhe. Pulau Gedhe sendiri merupakan pulau kecil yang ada di dekat pantai Wates. Untuk masalah kebersihan pantai saya rasa sudah cukup baik, saya masih bisa melihat beberapa sampah yang dibuang sembarangan oleh pengunjung, tapi itu tidak terlalu mengganggu pemandangan. Di Pantai Wates pula kalian bisa dengan mudah menemukan tempat sampah yang tersebar di hampir seluruh area pantai.

Di pinggiran pantai kalian bisa dengan mudah menemukan jejeran warung yang menjual berbagai macam makanan yang siap disantap sambil menikmati pemandangan. Kelelahan berjalan dari ujung ke ujung pantai, saya bersama adik saya berhenti di salah satu warung makanan. Ada banyak sekali warung makanan yang berjajar, maka dari itu saya hanya memilih asal satu warung untuk disinggahi. Saya berhenti di warung yang terlihat sepi. Warung itu menyajikan berbagai mie instan, jajanan ringan, gorengan, dan tentunya sesuatu yang tidak boleh tertinggal jika kita datang ke pantai, es kelapa muda. Ibu pemilik warung menyapa saya ramah. “Mau pesan apa Mbak?” ucapnya sambil mengulum senyum pada saya. “Saya mau pesan-“ ucapan saya terhenti sambil melihat daftar menu yang ada di depan warung. Pilihan saya berakhir dengan es kelapa muda yang diminum langsung dari buahnya, membayangkannya saja berhasil membuat saya menelan ludah. Saya juga memesan tempe goreng hangat sebagai teman. Tidak lama ibu tersebut memberikan es kelapa mudanya pada saya. Sempurna, saya rasa begitulah gambaran yang bisa saya berikan. Angin sepoi-sepoi, pemandangan pantai dan langit yang terpampang indah sungguh memanjakan mata saya. Ibu pemilik warung duduk tidak jauh dari tempat saya karena memang saat itu hanya saya dan adik saya yang singgah ke warungnya. Ibu pemilik warung sempat menanyakan pada saya soal dari mana asal saya. Pertanyaan awal itu mengantarkan saya menuju topik obrolan yang menyenangkan bersama ibu pemilik warung.

Keluhan Pedagang

Beliau adalah Ibu Nur, beliau sudah menjadi pedagang makanan di Pantai Wates sejak pertama kali pantai ini dibuka dari tahun 2017. Sudah kurang lebih empat tahun beliau menjadi pedagang di Pantai Wates. Dari obrolan kami saya mengetahui bahwa ternyata hampir semua pekerja dan pedagang di Pantai Wates adalah warga setempat. Karena memang Pantai Wates dikelola seluruhnya oleh pemerintah desa. Dalam obrolan tersebut Ibu Nur sempat menceritakan kekecewaannya terhadap pengelolaan pantai. Ibu Nur bercerita bahwa warung yang dia miliki dan pedagang lainnya dibuat dengan biaya pribadi. “Katanya akan dibuat warung yang permanen dan lebih tertata tapi tidak jelas juga kapan. Ini kan warung saya cuma begini ya, Mbak di tutupnya dengan bambu dan terpal saja, kalau bisa dikasih tempat yang permanen pasti lebih nyaman buat saya sendiri juga buat pengunjung yang singgah ke warung saya,” Ibu Nur meneruskan keluhannya karena terkadang pihak pengelola tidak memberikan ruang bagi pedagang untuk ikut serta memberikan pendapat mengenai pengelolaan Pantai Wates. “Kadang kalau rapat kami ya tidak diajak, hanya orang-orang tertentu saja,” tambah Ibu Nur. Biaya sewa Rp. 10.000  tiap minggunya di rasa oleh Ibu Nur tidak memberatkan. Namun pengelola pantai tidak memberikan perawatan yang cukup untuk warung pedagang. Kebersihan warung menjadi tanggung jawab masing-masing pemilik warung sendiri. Ibu Nur juga bercerita bahwa tiga tahun ini rasanya tidak ada yang meningkat dari segi pengelolaan pantai. Dari Ibu Nur saya mengetahui bahwa genangan air yang ada di kawasan pantai saat itu bukan hanya karena hujan tetapi juga banjir rob yang sering terjadi di musim hujan. Dalam obrolan itu Ibu Nur mengungkapkan harapannya bahwa pengelola bisa memberikan pemecahan terhadap masalah tersebut. Terlihat raut kesedihan di wajah Ibu Nur saat menyampaikan keluhannya. Ketika saya menanyakan mengenai keadaan pantai saat pandemi Ibu Nur berkata pengunjung menjadi sepi apalagi di musim hujan. Ibu Nur mengungkapkan saat akhir pekan biasanya beliau bisa dapat sekitar Rp. 300.000 tapi keadaan pandemi seperti ini membuat pendapatannya menjadi tidak tentu.

Asa Dalam Harapan

Saya sempat menceritakan kisah saya saat mengunjungi Pantai Wates pertama kalinya pada beliau. Setelah mendengar kisah saya, senyumnya kembali terulum. “Saya dari kecil Mbak tinggal di sini, dulu setiap pagi dan sore biasanya saya main di sini datang bersama teman-teman. Sama seperti yang Mbak bilang, dulu di sini belum ada apa-apanya, ya cuma pantai aja biasanya juga digunakan buat tempat menggembala sapi. Gara-gara Mbak cerita saya jadi inget masa lalu,”  ucapnya sambil tertawa.

Dalam obrol tersebut Ibu Nur menceritakan bahwa dirinya bersyukur bahwa sekarang dia bisa mendapat mata pencaharian baru. “Walaupun Pantai Wates masih banyak kurangnya, tapi Alhamdulillah bisa menjadi mata pencaharian baru bagi saya dan warga sekitar sini”. Beliau bercerita bahwa dia sebenarnya berprofesi sebagai guru taman kanak-kanak di desanya. Sedangkan suaminya adalah petani garam. Untuk menghasilkan penghasilan tambahan mereka memutuskan untuk membuka warung di Pantai Wates. Saat pagi hari sang suami akan membuka warung, baru pada siang hari setelah mengajar Ibu Nur akan menyusul ke warung.

Ibu Nur bercerita pada saya bahwa beliau memiliki tiga anak, namun dua anaknya sudah bekerja. “Sekarang tanggungan saya masih satu yang paling kecil, sekarang sudah SMP,” ucapnya. Ibu Nur bercerita bahwa walaupun dua anaknya sudah bekerja beliau tidak mau merepotkan mereka. Selama beliau dan suami masih bisa membiayai si bungsu, beliau merasa tidak perlu meminta dan menyusahkan kedua anaknya yang sudah bekerja. Mendengar ucapan Ibu Nur saya terdiam sambil masih memegang buah kelapa di tangan saya. Saya melihat bukan hanya Ibu Nur, seluruh pedagang di pantai ini pasti memiliki asa dan harapan yang besar terhadap pantai ini.

Hangat dan Menyembuhkan

Bercerita panjang lebar bersama Ibu Nur, tidak terasa sudah sekitar tiga puluh menit kami mengobrol. Setelah membayar es kelapa dan gorengan saya pun pamit untuk beranjak dari warung Ibu Nur. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih untuk obrolan yang sangat menyenangkan dan penuh pembelajaran tersebut. “Kapan-kapan datang lagi ya, Mbak,” ucap Ibu Nur sembari saya pergi. Entah kenapa melihat kisah Ibu Nur membuat saya memandang pantai ini dengan cara yang berbeda. Saya kembali menyisiri pantai memandangi setiap orang yang saya temui dengan lebih dalam. Saat berada di tengah jalan saya melihat seorang ayah yang sedang mendorong sang anak di ayunan. Tidak lupa ada sang ibu yang menemani di samping sang anak. Suara tawa sang anak dan senyuman di wajah kedua orang tuanya membuat saya terdiam beberapa saat. Saya memandangi mereka dari kejauhan. Dari situ perasaan hangat menyeruak di hati saya. Ini hanya wisata pantai yang mungkin akan kita anggap sebagai hal sepele, hanya duduk bermain melihat pemandangan pantai, menyenangkan dari mananya? Tapi, melihat pemandangan keluarga kecil itu membuka pikiran saya. Saya menyadari kebahagian dan kehangatan yang dapat dirasakan seseorang tidak bisa diukur dengan skala yang sama. Hal sederhana yang kita anggap sepele bisa saja merupakan kebahagian yang luar biasa bagi orang lain.

Jika diingat kembali sejak saya tiba di pantai ini, saya menemui dan melihat berbagai macam orang. Ada seorang pria yang sedang melamun, dua sejoli yang berjalan sambil bergandengan tangan, sekelompok perempuan yang sedang berfoto ria dengan kamera ponselnya, atau satu keluarga besar yang sedang asik menyantap bekal. Saya membayangkan kembali masing-masing dari mereka. Lagi-lagi hati saya menghangat, hari ini saya melihat senyuman, tawa, juga wajah murung kesedihan.

Begitu sampai ke ujung pantai saya kembali berhenti. Saya terduduk dalam diam bersama adik saya yang masih sibuk dengan ponselnya. Tidak jauh dari tempat saya duduk, saya melihat seorang anak laki-laki yang sedang bermain seorang diri. Saya perhatikan lakat-lakat, dia tersenyum lebar sambil mengumpulkan beberapa kulit kerang. Terlalu lama saya memperhatikan gerak-geriknya, anak laki-laki itu pun menyadari keberadaan saya. Saya tersenyum ke arahnya namun karena malu dia langsung masuk ke dalam warung. Saya berasumsi bahwa dia merupakan anak dari pemiliki warung. Pandangan saya kembali beralih ke depan. Hamparan langit di depan saya, ombak yang gemericik menggoyangkan perahu-perahu nelayan dan hembusan angin yang menerpa pakaian saya, membuat saya tenggelam di dalamnya. Di depan saya ada pula nelayan yang sedang mendorong perahunya ke tepi pantai karena air laut yang mulai pasang. Semua yang terjadi pada saya hari ini, semua yang saya lihat dan rasakan membuat saya sadar, berkutik pada dunia yang penuh dengan kompleksitasnya terkadang membuat kita lupa untuk sejenak melihat ke sekeliling kita. Terkadang bahagia menjadi rasa yang dalam benak kita sulit sekali untuk diraih dan mahal sekali harganya. Namun perjalanan hari ini, di Pantai Wates menyadarkan saya bahwa bahagia bisa didapatkan dengan cara yang paling sederhana dan remeh. Sepuluh ribu rupiah yang berhasil membuat hari saya menjadi lebih hangat dan penuh rasa syukur.

 

Penulis: Talitha Tansha Nastiti

Editor: Langgeng Irma

Pemimpin Redaksi: Langgeng Irma

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.