16 Tahun Kasus Munir,  KontraS Desak Pemerintah Hentikan Impunitas


“Munir sebagai simbol  perjuangan pembela HAM di Indonesia tidak mengendurkan semangat pembela HAM hari ini yang terus memperjuangkan haknya. Dan walaupun dengan pola yang terus berulang mulai dari Munir, Marsinah, Salim kancil, Gorfild Siregar, sampai penyiraman Novel Baswedan, semua kasus tersebut tidak pernah diungkap dalangnya dan negara jika memang serius melindungi pekerja HAM, harusnya membongkar nama-nama dibalik penyerangan tersebut – yang kita dapat melihat bahwa ini dilakukan secara terstruktur dan sistematis,”
-Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS-

LPM OPINI – Kasus Konspirasi pembunuhan Cak Munir sudah memasuki tahun ke 16, dua tahun sebelum kasus yang hingga artikel ini terbit masih menjadi tindak pidana biasa akan daluwarsa. KontraS dalam siaran persnya menyatakan bahwa kasus Munir adalah pelanggaran HAM berat dan negara bertanggung jawab atas itu.

Dilansir dari situs kontras.org, Presiden Joko Widodo mengklaim dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Munir nihil di kantor Kemensesneg. Ia bersikukuh bahwa dokumen TPF Munir disimpan pada pemerintahan mantan Presiden SBY. Menanggapi hal itu, SBY mengklaim bahwa dokumen TPF Munir berada di kantor Kemensesneg.

Seperti diketahui, Tim Pencari Fakta (TPF) hanya bekerja selama tiga bulan sebelum akhirnya dibubarkan. Mantan anggota TPF, Usman Hamid menyatakan ada kejanggalan dalam pembubaran tersebut.

“Lebih jauh, pencarian fakta di lingkungan BIN kala itu sebenarnya terhenti bukan karena teknis hukum, tapi lebih kepada penyalahgunaan akses jaringan dan posisi di dalam BIN,” ujar Usman Hamid dalam rilis pers oleh KontraS, Senin (7/9).

Lenyapnya dokumen TPF dan pemberhentian tim yang bahkan saat bekerja tidak didanai sepeser pun adalah interpretasi dari ketidakseriusan negara menangani kasus Munir. Hal tersebut akan coba disentil kembali oleh KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir) melalui pendapat hukum yang disampaikan kepada Komnas HAM.

“Dua tahun lagi, atau 18 tahun setelah kematian Cak, kasus ini bisa jadi akan ditutup karena ada ketentuan daluwarsa, ada problem kasus akan ditutup ketika ada jangka waktu tertentu, untuk kasus Munir bisa jadi akan ditutup dan para pelaku yang jadi otak intelektual (man behind the gun) dari pembunuhan keji dan pengecut bisa dapat kebebasan sedemikian mudah jika kasus ini tidak diselesaikan secara tuntas. Ini yang jadi persoalan yang kemudian ingin kami jawab melalui pendapat hukum yang akan kami serahkan pada Komnas HAM.” Jelas Arif Maulana, Direktur LBH Jakarta pada rilis pers KontraS (7/9).

Ia menambahkan mestinya pemerintah menggolongkan kasus Munir ke dalam pelanggaran HAM berat dan bukannya tindak pidana biasa.

“Mestinya pemerintah sejak awal menangani kasus ini bukan hanya dalam perspektif tindak pidana biasa, tetapi melihat ini sebagai tindak pidana luar biasa, dalam artian sebagai pelanggaran HAM berat,” imbuhnya.

Sikap Pemerintah yang terkesan ogah-ogahan dan penuh alibi terkait kasus ini dianggap Fatia Maulidiyanti sebagai pelanggaran terkait standar hukum yang berlaku.

“Indonesia telah meratifikasi kovenan hak sipil dan politik pasal 6 terkait hak hidup dan di mana seharusnya setiap orang dapat menikmati hak hidupnya, dan ketika negara hadir sebagai aktor utama dari pembunuhan Munir, sebenarnya sudah melanggar terkait standar ini,” terang Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS, pada rilis pers (7/9).

Ia pun melanjutkan bahwasannya kasus yang tidak selesai ini membuat kasus-kasus dengan pola yang terorganisir dan sistematis semakin marak terjadi terhadap pembela HAM yang bahkan sudah meluas hingga aktivis lingkungan.

“Dalam catatan KontraS telah terjadi 256 kasus penyerangan terhadap pembela HAM dari Januari – Juli 2020, di mana itu termasuk dengan intimidasi, lalu upaya peretasan, teror, kiriminalisasi, dan lain sebagainya,” imbuh Fatia.

Terkait dengan hal tersebut, Usman Hamid menyatakan urgensi ketuntasan impunitas kasus ini secepat mungkin agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap aktivis HAM di Indonesia yang berulang-ulang.

“Penyerangan ini terus berulang, dan tidak akan pernah berhenti kalau tidak ada akuntabilitas yang tuntas,” kata Usman Hamid.

Pengusutan kasus ini dinilai Arif Maulana masih bisa dituntaskan apabila kepolisian dan kejaksaan serius dalam penanganannya. Pun ditambah keseriusan presiden dalam menepati janji kampanyenya silam soal penyelesaian kasus HAM.

“Sebetulnya kalau kepolisian dan kejaksaan serius, kasus ini masih bisa dituntaskan, masih ada waktu dua tahun, tapi kita tidak tahu apakah presiden RI berani melakukan itu. Sedangkan hari ini, orang yang diduga terlibat dalam kasus ini jadi petinggi politik; jadi orang dekat presiden,” Singgung Arif Maulana.

Tak sampai di situ, Fatia menyinggung pula bahwa jika negara juga mempunyai kewajiban mempublikasikan dokumen TPF yang entah berantah keberadaannya kini. 

“Dokumen TPF adalah dokumen publik dan itu harus dipublikasikan oleh negara, sehingga kita bisa tahu upaya apa lagi yang perlu dilakukan dan bagaimana tanggung jawab negara harus segera dituntaskan, sebelum kasus munir ini daluwarsa,” ujar Fatia.

Ia menimpali bahwa jika negara serius soal kemajuan Hak Asasi Manusia, maka pembela HAM mesti mendapat pengakuan lebih dan bukannya kriminalisasi.

“Jika negara serius untuk memajukan HAM di Indonesia, maka negara harusnya dapat melindungi kerja-kerja dan juga memberi pengakuan kepada pembela HAM atas kerja-kerjanya,” timpal Fatia.

Reporter : Luthfi Maulana

Penulis   : Luthfi Maulana

Editor     : I. N. Ishlah

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.