Aa Chimonk, Penjaja Kantin Kampus yang Terlupakan Kala Pagebluk

Kala itu, pagi Tembalang masih dingin. Waktu belum beranjak dari pukul lima, Irmansyah alias Aa Chimonk, begitu ia sering dipanggil, sudah mulai sibuk saat kampus masih hening. Membuka folding gate, memasak apa saja yang bisa dimasak, menyiapkan apa saja yang bisa disiapkan, melanjutkan apa yang semalam sengaja dikerjakan separuh. Berusaha sempurna agar dagangannya laris hari itu dan seterusnya. 

Burjo atau kantin Temon bukan nama asing bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro yang pernah mencicipi perkuliahan tatap muka, kecuali bagi mereka yang benar-benar tidak pernah ke kantin. Tempat ini jadi sumber nafkah Aa Chimonk, satu-satunya. Laki-laki asal Kuningan, Jawa Barat ini baru meracik masakan selama satu tahun di kantin fakultas orange dan kadung akrab dengan mahasiswa. “Yang paling mengesankan dari Burjo Temon tak lain tak bukan ialah Aa Chimonk bersama temannya Samuel, mereka ramah dan fast respon,” begitu testimoni Sarah Adinda, Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2019.

Sarah memang akrab dengan beberapa penjaja kantin, termasuk Aa Chimonk, tuturnya sosok di balik enaknya mi dok-dok Burjo Temon ini selain ramah, tapi juga gemar berseloroh. “Kalau kita pesan gak pake minum malah sengaja dibikinin minum kayak nutrisari misalnya, jadi waktu menu sudah didepan mata mau gak mau kita harus bayar.”

Cerita tiga paragraf awal tadi adalah cerita yang tidak terjadi dalam satu tahun terakhir. Mujur tak bisa diraih, bala tak mampu ditolak, pagebluk membuat aktivitas kampus mati suri, mahasiswa kuliah jarak jauh, dan dapur kantin tak lagi hangat. Setahun wabah, bayaran sewa memang dihentikan, tapi tidak ada kompensasi apa-apa hingga hari ini.  

Sebelum tutup, penghasilan kotor Aa Chimonk di Burjo Temon normalnya menyentuh angka tiga juta rupiah, bisa berlipat kalau ada acara kampus. Ia kembali ke kampung halamannya, menikmati pagi yang jauh lebih dingin dari Tembalang. Tepatnya di Ciawi, Kuningan, Jawa Barat, ia membaktikan diri pada orang tuanya untuk bekerja di ladang, sambil kadang menunggu kerja serabutan. Aa Chimonk benar-benar kehilangan mata pencaharian. 

Kini ia memasrahkan diri pada uang tabungan yang tersisa untuk bertahan hidup, ditambah rupiah beberapa lembar dari kerja serabutan yang pasang surut. Yang diinginkan hanya kembali ke dapur kecilnya di kantin kampus, memasak mi dok-dok, nasi goreng, atau sekadar mengantar air putih, pencaharian satu-satunya yang bisa Aa Chimonk andalkan. “Kalau misalkan sudah bisa berjualan di FISIP pasti ingin tetap lanjut soalnya kan mata pencaharian satu-satunya di situ,” katanya.

Membuka kembali kantin merupakan cita-cita yang tampak sederhana, tetapi agaknya sulit terlaksana. Jikalau kelak diizinkan aktivitas kampus sebagaimana lumrahnya, pun tak menjamin pintu ruko di kantin terbuka. Belum lagi masalah adaptasi yang tak hanya soal fisik, tetapi juga berkaitan dengan rasa dan pelayanan. Kurang lebih Aa Chimonk mengatakan begini, “Kalau libur mahasiswa saja, kan, kalau mau buka lagi butuh adaptasi soal rasa sama pelayanan lagi apalagi ini libur waktu lama jelas pasti banyak yang berbeda.”

Meskipun kelak akan kembali seperti semula, sebenarnya tidak ada kata kembali. Selayaknya hari raya, mereka kembali ke kampus dengan keadaan bak bayi. Belajar hal yang sebelumnya mereka biasa lakukan di tiga paragraf awal, beradaptasi, dan bertumbuh sekali lagi. Namun, kini mereka hanya bertanya satu hal, “entah kapan?”

Sekali lagi, keadaan memang serbasulit. Beraktivitas apa pun bahkan bersyarat. Namun, jangan biarkan kemanusiaan kita sekarat. Luangkan waktu melihat siapa pun yang biasa menemani hari kita saat atau sebelum sekarang. Waktu yang tepat untuk saling bantu. Saling hal-hal yang baik.

 

Penulis : Luthfi Maulana

Editor : Annisa Qonita Andini

Redaktur Pelaksana : Luthfi Maulana

Pemimpin Redaksi : Langgeng Irma

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.