Ada Cerita di Karya Tanganmu
Kalau kata orang, pertemuan pertama itu … mau seremeh apapun, pasti akan selalu melekat.
“Um, permisi, mbak,”
Ada jeda sepersekian detik sebelum perempuan yang dimaksud menoleh, kamera ia turunkan dari pandangannya.
“Iya?”
“Mbaknya tadi … ada ngambil foto kan, ya?” Yang dimaksud mengangguk.
Napas dalam ditarik, “Boleh … saya minta fotonya gak, mbak? Buat … tulisan saya kalau boleh,”
Kalau kata orang, pertemuan pertama itu …
“Boleh. Mau foto yang mana?”
… mau sebodoh apapun, pasti akan selalu berkesan.
***
“Wes tak baca tulisanmu yang terbaru,”
Saki yang baru saja datang dan meletakkan tasnya di kursi langsung menoleh ke Mada, sebelah alisnya naik, “Bohong?”
“Beneran, og! Gak percaya kamu?” Mendengus Saki sembari menggeleng pelan, lantas menjatuhkan dirinya di kursi. “Bagus, kok. Fotonya bagus,”
Saki memandangi Mada tidak terima, “Itu yang jadi fokusmu?? Fotonya?? Bukan tulisannya??”
“Yo … Tulisannya lumayan lah,” raut Saki berubah masam. “Tapi fotonya iku, loh! Apik pol! Gak kayak foto yang dulu-dulu.” Wajah Saki semakin masam saja. “Baru beli kamera tah?”
“Duit darimana,” cibir Saki. “Itu, kemarin waktu udah bubaran, aku baru inget kalo lupa ngambil foto acaranya. Nah, kebetulan ada mbak-mbak yang foto-foto pake kamera waktu itu. Yaudah, aku mintain aja sekalian fotonya,”
Mada mengangguk-angguk, “Cakep, ya?”
Saki ikut mengangguk mantap, “Emang cakep. Manis. Senyumnya lucu,”
“Senyum lucu piye? Ini di foto mukanya pada serius, ik,”
“Eh?” Kedua mata di balik lensa itu membulat, baru menyadari apa yang dimaksud temannya sebelumnya, “Eh?”
Mada mendecak, mengabaikan wajah Saki yang pelan-pelan berubah merah, “Nah ya itu penyakitmu, ra fokusan! Pelupa! Masa’ udah biasa ngeliput, ngambil foto aja masih sering kelewat, Ki?”
Yang dibicarakan pura-pura tidak mendengar. Si pelaku malah sibuk memeriksa ponselnya, membaca notifikasi dan pesan-pesan ghaib. Mada sih tidak peduli mau temannya itu mendengar atau tidak. Toh ia tahu semua yang ia katakan benar. Biar saja jurnalis muda satu itu denial.
“Kataku ya, bagusin fotonya Ki, niscaya blog-mu semakin kebanjiran pembaca. Mas Ari juga bilang toh kalo tulisanmu bagus?”
Saki memutar bola matanya, “Gak usah pake niscaya-niscaya deh. Lagian,” suaranya mengecil, “Foto-fotonya gak sejelek itu kali,”
“Et,” cepat Mada menodongkan telunjuknya ke depan wajahnya, “meneng, og,” Saki hanya bisa pasrah. Apalagi ketika lelaki itu sudah mengeluarkan ponselnya untuk membuka blog-nya. Mencari-cari barang bukti.
“Liat.” Saki menoleh ogah-ogahan kala salah satu judul tulisannya muncul di layar ponsel Mada, “Judulnya wes fenomenal ‘Sebait Harapan Orang-Orang Teguh’. Dahsyat. Loh ya masa fotonya foto selfie-mu ngacung jempol depan gerbang pantinya?? Kowe bahkan gak senyum! ‘Harapan’ piye?”
“Ya itu — ”
“Terus ini, kamu foto bisa se-butek ini piye toh, carane? Fotonya pake esi* hidayah, tah?”
“Itu — ”
“Lah terus sisanya gundul. Gak ada fotonya, mesakke!”
Kalah telak sudah Saki dihantam beruntun fakta. Mada sendiri kelihatannya belum puas padahal Saki sudah tergeletak lemas di meja — tertimpa kenyataan.
“Tulisan tok gak cukup, Ki. Butuh gambar yang kontroversial! Spektakuler! Menggelora! Memesona! Koyok ngene, ik!”
Saki tak mampu protes ketika foto sampul tulisan terbarunya dihadapkan tepat ke depan wajahnya. Ia hanya bisa terdiam, mata tak berkedip melihat tangkapan kamera itu. Mau bagaimana lagi? Ia tidak bisa berkilah kalau jepretan kamera si Mbak memang bagus. Terlalu bagus malah.
Kala si Mbak memperlihatkan isi galerinya untuk mempersilakan ia memilih foto mana yang paling ia suka, ia seketika malu. Kalau mau dibandingkan antara kualitas jepretannya dengan mahakarya ini, jelas perbedaannya bagaikan steak dan dendeng. Disebut beriringan saja tidak pantas.
Sempat tergoda ia untuk mengatakan, “Wah, ini sih semuanya juga saya suka, mbak. Kalau minta semua sama mbaknya sekalian, boleh?” Tapi ia ingat bahwa ia mahasiswa dan masih perlu harga diri jadi ia buang pemikiran itu jauh-jauh.
“Fotonya dulu yang menangkap perhatian orang Ki. Baru mereka mau baca tulisanmu. Yang kowe perlukan itu gimmick, Ki, gimmick! Tangkap pembaca lewat kombinasi judul yang menggemparkan dan foto yang membuat orang bertanya-tanya! Gimmick, Ki!”
Saki mengerutkan dahi, “Jurnalis macam apa yang nge-gimmick?”
“Intine!” Mada menepuk meja Saki kuat sampai laki-laki berkacamata itu kaget, wajah lelaki Jawa itu tiba-tiba serius, “Belajar ngambil foto seng genah, Ki. Gak malu po tulisan sensasionalmu sampulnya foto berkualitas 144p?”
“Gak sejelek itu ju — ”
“Belajar, Ki … Pelan-pelan …” Saki langsung menutup kembali mulutnya, malas membela dirinya sendiri kalau Mada sudah memberi petuah seperti ini. Semakin ia ladeni, semakin tidak ada habisnya. “Atau …” Mada menjeda kalimatnya, “Ajakin wae tuh — si Ella? Eila? Apalah itu namanya buat ikut ke bawah mingdep. Biar jadi fotografermu. Kalo dia mau. Kan lumayan,”
Itu … benar juga.
Saki membuka lagi ponselnya, melihat kolom percakapan atas nama kontak ‘Eila Kamera’ — si Mbak sendiri yang menamai , oke?— yang diberikan padanya untuk mengirimkan foto yang diminta. Matanya terpaku pada pesan ‘sama-sama 👍’ yang terakhir ia lihat tak kurang dari lima belas jam yang lalu.
Eila Nayanika, ya … Ia memejamkan mata. Kalo dia mau diajak jadi fotografer … memang bakal bagus, sih. Bagus banget …
***
Ia memang bilang begitu. Dan terlepas dari fakta bahwa ia punya nomor kontak pribadinya dan ia sangat bisa untuk mengirimi pesan secara langsung, menanyakan apakah si Mbak bersedia diajak ke daerah sekitar pelabuhan untuk proyek tulisan yang tengah ia garap — konsumsi dan transportasi Alsaki yang tanggung! — ia … malah sibuk berdoa semoga takdir mempertemukan mereka kembali di lokasi liputan.
Bodoh, memang. Pengecut juga. Tapi ia merasa tidak enak ingin meminta bantuan demi kepentingan pribadinya sendiri secara tidak langsung. Rasanya … kurang sopan saja. Mereka kan belum sedekat itu.
(Tapi kalau mau menjadwalkan bertemu secara langsung dengan si Mbak lewat chat juga dia tidak berani. Memang pengecut.)
Jadi, meskipun awalnya dia misuh-misuh karena kebagian tugas transkrip di liputan kali ini, semuanya terbayar lunas ketika ia mendapati si Mbak berdiri di pinggir dengan kameranya, lensa tertuju ke audiens. Tak ia hiraukan teriakan Kiya, teman sesama persnya yang kesal ia pergi kabur begitu saja setelah liputan. Biarkan saja perempuan kecil satu itu mengamuk, toh tugasnya juga sudah selesai.
“Halo, mbak,” sapanya, senyum cerah terpatri di wajah padahal tak sampai sepersekian detik yang lalu kusut masai, “Ketemu lagi,”
“Oh,” si Mbak mengedip sekali sebelum sebuah senyum — lucu! — ikut mekar di wajahnya, kamera diturunkan, “Halo. Mau minta foto lagi?”
Tertawa Saki — setengah karena itu memang lucu, dan setengahnya lagi karena ia salah tingkah, “Enggak kok, mbak! Aman. Tapi! Kalau dikasih saya juga enggak nolak.” Cengengesan.
Mendengus kecil si Mbak, “Mbaknya panitia acara?”
Gelengan jadi jawaban, “Ini iseng aja, latihan. Buat ngisi porto.” Ia beralih ke Saki, “Kamu?”
Pertanyaan bagus, mbak. Diangkatnya lanyard yang terkalung di lehernya penuh senyum, “LPM, mbak. Biasa, liputan,”
Jujur saja, ia sangat bangga menjadi anggota pers. Sayang saja ia tidak punya banyak kesempatan untuk memamerkan statusnya itu. Dipamerkan juga tidak banyak orang yang mengerti. Mada untungnya mengerti. Tapi memang laki-laki satu itu selalu antusias tentang segala hal, jadi ia tidak bisa masuk hitungan juga.
Reaksi si Mbak sendiri memang tidak semeriah Mada, tapi mulutnya yang terbuka sedikit bicara banyak, “Oh, LPM? Keren,” senyumnya. Saki tahu bahwa besar kemungkinan itu hanya basa-basi, tapi ia ingin hidup dalam fantasi bahwa si Mbak memang tulus jadi — tolong diam, otak rasional. “Berarti yang kemarin juga tugas LPM?”
“Kalo yang itu buat blog pribadi, sih, mbak.” Kali ini, bukan hanya mulutnya yang terbuka sedikit lebih lebar, kedua mata si Mbak juga ikut melebar, “Oh? Tambah keren,” Saki bisa merasakan bahwa kepalanya semakin besar saja.
“Oh iya,” si Mbak menaikkan kameranya dan bunyi klik terdengar, “Gak perlu manggil ‘mbak’. Panggil nama aja. Masih inget namaku, kan?”
Alis Saki bertaut, “Ei … la? Eila, kan?” Dan tertawa kecil si Mbak.
“Iya. Panggil ‘Ei’ aja,” Ei tersenyum sedang yang ditatap melongo, “Kamu Saki, kan?”
“I-iya,” gemeter Ya Tuhan … namaku disebut … “Memangnya ki-kita seangkatan ya, mbak?”
“Emangnya enggak?” Perempuan itu bertanya balik, keningnya berkerut sedikit, “23, kan?”
“Oh iya …” Ia mengangguk-angguk, seketika bloon. Ada alasan kenapa ia paling tidak suka dengan versi dirinya ketika sedang naksir. Bodohnya tidak terkira.
Eh iya, belum nanya soal projeknya. Tersentak, ia menoleh lagi ke si Mbak — Eila, Alsaki … Eila!— yang sudah sibuk lagi dengan acara potret memotretnya. Ia mendeham.
“Um, anu mbak — maksudnya Ei,” pemilik nama mendeham balik, “Tadi kamu ada bilang soal mau ngisi porto, kan, ya?”
Ei mengangguk dan Saki mengatur napasnya lagi, “Nah, mau gak kalau— ”
***
Saki harus jujur bahwa ia masih tidak percaya bahwa Ei menerima ajakannya dengan sebegitu mudahnya.
Mulai dari sejak ia menjemput Ei dari kosnya, dan kemudian ketika ia membonceng Ei dengan motornya, hingga kala mereka sampai di titik kumpul yang sudah direncanakan, semuanya masih saja terasa bagaikan mimpi.
“Oi Saki!” Suara teriakan Mada menyambut mereka kala ia memarkirkan motornya, fokus lelaki itu dengan cepat teralih saat ia menyadari siapa yang ia bonceng, “Ah, iki …”
Ei mengulurkan tangannya, “Ei. Temen Saki. Ikut buat ambil foto,”
“Oh! Mbak Ei, tah? Yang fotonya buat tulisan Saki, nggih?” Merespon antusiasme Mada, Ei mengangguk semangat, “Walawe … Mbak Ei! Aku, Mada, penggemar berat fotomu, ik!” Saki yang berdiri di dekat motornya memandangi lelaki satu itu malas.
Tersenyum Ei, “Makasih, Mada,”
Mada balas tersenyum secerah matahari Semarang, “Terima kasih kembali, mbak. Minum sama konsum ada sama kita, ya, Mbak Ei. Kalo perlu apa-apa bilang aku atau Saki, nggih?” Ei mengangguk lagi, senyum masih lekat di rupanya. Saki sampai salah fokus.
“Tinggal dua orang lagi! Kita tunggu sepuluh menit baru kita berangkat — ”
Perjalanan ke Semarang bawah sebenarnya tidak memakan waktu yang begitu lama. Yah, termasuk jauh dari kampus, tapi tidak sejauh itu. Matahari mulai bergerak ke atas ketika mereka sampai, sehingga rombongan Mada bergegas pula untuk memulai kegiatan mereka. Saki dan Ei sendiri mengikuti dari belakang, Ei dengan kameranya dan ia membantu membawa barang-barang yang ada.
“Sebenarnya sih ini proker divisinya Mada, semacam pemberdayaan masyarakat lokal, gitu-gitu,” jelas Saki selagi mereka berjalan ke rumah salah satu penduduk. “Waktu tau kalo kali ini dia ketuanya, aku minta izin ikut soalnya mau nulis tentang warga di sini,”
Ei ber-oh ria. Perempuan itu kemudian sibuk melihat ke dalam layar kameranya, memutar tombol-tombol yang entah apa itu fungsinya. Saki memperhatikannya yang serius mengatur lensa penasaran, “Ei, kamu … dari kapan suka kamera?”
Ei mendecak puas setelah berhasil mengatur lensanya sebelum menjawab, “Kapan? Dari … TK? Kayaknya? Yah, walaupun waktu itu masih pake kamera HP.” Tertawa. “Tapi aku baru mulai serius belajar sebelum masuk SMP. Setelah Nenek berpulang,”
Langkah Saki terhenti, matanya tak lepas dari Ei yang kini mengarahkan kameranya ke rumah-rumah penduduk, senyum tersimpul, senandung pelannya terdengar di antara angin.
“Turut berduka, Ei,”
Ei menoleh ke belakang dan mendapati Saki yang tertunduk. Mendengus ia, “Makasih, Saki. Lagian udah lama, kok,” ia melanjutkan, “Tapi memang beliau dorongan terbesarku buat belajar fotografi,”
Begitu, ya … Saki memeras otaknya untuk mencari topik lanjutan, “Um … objek foto favoritmu apa, Ei?”
Kedua mata Ei ketika ia melemparkan pertanyaan itu sontak bagaikan diisi oleh bintang-bintang, “Orang! Aku suka foto momen ketika banyak orang ngumpul, ngobrol, senyum, ketawa-tawa …” Suara klik kembali terdengar, “Foto orang yang sendirian juga aku suka. Mau coba jadi modelku?”
Eh? “B-boleh …?”
“Boleh, kenapa enggak?” Ei mengedikkan bahunya santai sementara Saki merasa bahwa ia sebentar lagi akan meledak, “Kamu berdiri di sini coba,”
“Tapi aku bawa kardus begini Ei …”
“Haha! Gapapa, keliatan pekerja keras,”
Setelah beberapa kali sesi jepret yang ia sebagian besar lalui sambil menahan napas, Ei akhirnya menemukan foto yang ia suka. Ia memberikan isyarat pada Saki untuk mendekat, “Bagus?”
Saki kehilangan kata-kata, “Bagus … tapi kenapa kelihatannya aku terlalu cakep ya Ei di sini?” Selama hidupnya ia tidak pernah menyangka bahwa ia cukup photogenic juga. Apa benar itu dia?
Ei terbahak, “Aslinya juga udah cakep, kok,”
Saki seketika error.
Samar-samar ia dengar Ei mengatakan hal lain ketika tiba-tiba saja salah satu teman Mada memanggil mereka berdua. Alhasil, acara pemotretan mereka terputus di sana dan kocar-kacirlah mereka berlari ke tempat semuanya berkumpul.
Setelah serangkaian sambutan dari pihak Mada dan warga, kegiatan dimulai juga. Mada dan rombongannya sebagian besar menuju ke rumah warga yang lain — katanya, sih, mau membuat kerajinan — dan sebagian yang lain tinggal untuk ikut membantu memasak kue-kue dan camilan untuk dijual.
Saki melihat ini sebagai kesempatan untuk mencari bahan tulisannya jadi di sinilah ia, duduk berdua di teras depan rumah salah satu ibu, mengobrol soal macam-macam sembari menyantap bolu pisang. Ei? Perempuan itu sudah asyik sendiri melayani permintaan para warga yang ingin dipotret dengan berbagai macam gaya di depan rumah.
Ia tengah merapikan catatannya ketika Ei kembali berbanjirkan keringat ke depan teras, raut puas kentara di wajahnya. Tersenyum Saki, catatannya langsung terlupakan, “Gimana foto-fotonya?”
Ei tertawa dan Saki demi apapun tidak menyesal sudah mengajaknya ke sini, “Bagus! Warga sini berpotensi jadi model semua, kayaknya,” ia tertawa lagi, lantas bergeser mendekat untuk memperlihatkan tangkapan gambarnya, “Aku paling suka ini. Cahayanya bagus,” ditunjukkannya salah satu foto, “Yang ini juga. Wah, proporsinya …”
Semakin banyak foto yang ia lihat, semakin kagum saja Saki dibuatnya. Rasanya sulit untuk percaya bahwa ini hanyalah sekadar hobi iseng saja karena … wow.
Saki tidak punya kosa kata per-kamera-an yang cukup luas untuk bisa mendeskripsikan bagaimana gambar yang diambil Ei tapi satu hal saja; semua momen yang Ei tangkap, seolah ia buat semuanya bisa bicara. Punya cerita. Dan bagi Saki yang biasanya menggunakan kata-kata untuk bercerita, bisa melakukan hal yang sama tanpa satu kata pun itu luar biasa. Sakti mandraguna, lebih tepatnya.
“Oh, aku ada foto kamu dan ibunya juga waktu ngobrol,” Ei menekan tombol di kameranya beberapa kali sampai foto yang dimaksud muncul. Lewat lensa kamera Ei, ada sang ibu yang tertawa lepas di sana. Gurat-gurat usianya seakan luntur dibasahi tawa, membuatnya terlihat jauh lebih muda. Ia di samping sang ibu juga tertawa, dan semuanya membuat cahaya seolah memancar dari tengah, sekeliling mereka yang tampak lebih redup jadi bingkainya. Saki dapati dirinya terpana.
Menghela Ei, seutas senang yang sama muncul di wajahnya, “Keliatan bahagia banget ibunya,”
“Iya,” ia .. ingat sekali kenapa sang ibu tertawa di sini. “Tapi sebenarnya sedih juga,”
Ei berpaling ke arahnya bingung, “Sedih?”
Ia tersenyum tipis melihat foto itu, “Iya, sedih. Suami Bu Ani itu pelaut. Mereka dulu sengaja milih buat tinggal di sini karena deket sama pelabuhan. Jadi, kalo suaminya habis melaut, bisa langsung pulang ke rumah soalnya deket,”
“Sayangnya, udah tiga belas tahun sejak terakhir kali suaminya pulang ke rumah,”
Ia melanjutkan, “Bu Ani ketawa kuat banget di sini soalnya dia cerita gimana pas dulu mereka ketemu di desa. Suami Bu Ani itu perenang ulung pokoknya, jadi, Bu Ani sempet pura-pura hampir tenggelam di sungai belakang rumah biar ditolongin padahal sendirinya juga jago berenang.” Saki tergelak, “Memang manusia kalo naksir suka jadi agak bodoh gitu, ya,”
Menyadari bahwa Ei diam saja saat ia sendiri tertawa-tawa, ia dengan cepat berhenti. Ei rupanya masih menatap foto sebelumnya, pandangannya tidak terbaca. “Ei?” tanyanya, khawatir setengah mati kalau ia malah menyinggung.
“Kamu bisa tau sebanyak itu, ya,” suara Ei tiba-tiba. Saki mengedip sekali.
“Kebetulan kita banyak ngobrol juga, sih,” ia mengusap catatannya yang tadi ia letakkan begitu saja di lantai teras, “Bu Ani orangnya semangat cerita dan aku juga kepoan, jadinya ya gitu,” kekehnya canggung. Maaf deh kalau terlalu kepo. Sudah karakter. Makanya itu dia mau jadi jurnalis.
“Keren,” Saki pun error lagi. “Ternyata bener kalo foto doang gak bisa nyeritain semuanya ya,” Ei kemudian mendongak ke arahnya, “Apa karena itu kamu mau jadi jurnalis?”
Ah.
Saki terpekur sejenak, “Bisa … dibilang begitu?” Diluruskannya kakinya yang sedari tadi ia tekuk.
“Aku selalu suka denger cerita orang-orang. Terutama mereka yang pernah ada masalah terus ya … bangkit aja kayak gak ada apa-apa. Tiap aku denger cerita begitu dari bapak burjo deket rumahku, mbah sayur langganan mama, atau dari mas-mas yang jual bunga di jalan pasar, aku selalu kepikiran ‘keren, ya?’ dan jadi pengen nulis cerita mereka biar semua orang tau. Bukan buat cari simpati, bukan,” Ia tersenyum, menggeleng-geleng pelan, “Tapi sekadar biar ada tempat buat mereka bersuara,”
“Gak semua orang bisa cerita, jadi jurnalis bantu mereka dengan nulis biar suara mereka kedengeran sama yang lain,” terang Saki, air wajahnya bangga, “Gila. Kok bisa ya jurnalis sekeren itu?”
Ei mengangguk setuju, “Kamu. Kamu yang keren, Saki,”
Saki berubah bodoh (lagi), “Eh?” Maksud??? Apa maksud???
Mendengus Ei. Perempuan itu berdiri sembari membawa kameranya, kepalanya ia kedikkan ke belakang, “Mau ikut ke rumah satunya, gak?”
***
“Wah, kebetulan ono Saki, ik. Bolehlah kowe bantu — ”
“Maaf, kayaknya saya salah rumah …”
“Et,” Mada sudah lebih dulu mencekal pundaknya sebelum ia berhasil kabur, “Bantu bawa iku kerajinan ke mobil, Ki. Masa’ biarin orang tua seng angkat, mesakke!”
Ei di belakang tertawa saja melihat Saki diperlakukan bagai anak bawang, “Lah ya kamu gak kasian sama aku harus angkat-angkat?”
“Ah, ojo misuh, og. Hush-hush, sana bantu,”
Saki menarik napas dalam-dalam berupaya menghapus keinginannya untuk melempari Mada dengan buah pisang. Dari teras, ia mengintip ke dalam rumah dan menemukan para ibu-ibu yang sibuk mengemas kerajinan-kerajinan yang ada di lantai, rombongan Mada yang lain mengelilinginya. Sebagian ikut mengemas, dan sebagian lain kolar-kilir di depan rumah, mengangkat kardus-kardus yang sudah terisi penuh ke mobil.
Di antara mereka, ada pula seorang bapak yang kelihatan akan membawa langsung tiga kardus penuh sekaligus. Cepat Saki bergerak ke arahnya. Ei yang bersamanya menoleh ke arahnya yang berlari bagai kilat terkejut, “Saki?” sebelum menyusul lelaki satu itu.
“Bapak,” sapa Saki pelan, tidak ingin mengejutkan si Bapak, “Saki bantu bawa juga ya, Pak?”
Si Bapak tersenyum, manis sekali, sampai Saki tidak tahan untuk tidak ikut tersenyum pula, “Ra sah, wes biasa ik,”
“Loh ya gapapa, Saki tetep mau bantu juga,”
“Ra sah …”
“Tetep Saki bantu Pak. Udah Bapak jangan protes — ”
Ei sendiri menyaksikan debat antara bapak dan mahasiswa itu dari jauh. Kameranya sudah setengah terangkat di udara. Momen yang mau ia tangkap muncul berkali-kali di depan matanya bagai kilasan film, tapi sesuatu menahannya di tempat.
Si Bapak tersenyum, mencoba untuk mengambil kembali kardus-kardusnya tapi Saki lebih gesit. Ketika Saki tidak fokus, si Bapak sudah merebut lagi dua kardusnya. Mereka berdua terus saja di situ, saling curi-mencuri kardus, gelak dan tawa menyebar, akan tetapi tidak satupun bingkai yang ia ambil. Cahayanya sempurna, perspektifnya sempurna, momennya sempurna. Lalu kenapa?
Pegangannya di kameranya menguat.
Mereka berdua tertawa-tawa lagi. Ia lihat si Bapak bicara pada Saki dengan suara pelan dan lelaki itu tersenyum, lalu menepuk pundak si Bapak main-main. Cerita Saki sebelumnya terngiang kembali di ingatannya. Tentang Bu Ani. Tentang suaminya. Tentang kehilangan. Tentang pertemuan pertama.
Apa … kira-kira cerita si Bapak?
“Mada?” Yang dipanggil keluar dari dalam rumah, “Nggih?”
Ia berikan kameranya kepada laki-laki itu, “Aku titip kamera, ya,”
“Loh, gak jadi foto, tah?” seru Mada bingung.
Tersenyum ia, “Nanti lagi fotonya,”
Kala ia sampai di dekat Saki dan si Bapak, tepat sekali mereka berdua sedang berada di tengah pertengkaran kecil-kecilan tentang siapa yang akan membawa dua kardus. Langsung saja ia menawarkan diri, “Satunya saya aja yang bawa, Pak,”
Saki kelihatan tertegun melihatnya, mungkin kaget karena ia tiba-tiba saja muncul, “Eh, gapapa, Ei. Biar aku aja,”
“Gak begitu berat, kan?”
“Enggak, sih — ”
“Yaudah, biar aku yang bawa,” ia beralih ke si Bapak, “Boleh ya, Pak?”
Si Bapak tersenyum lagi, kali ini kelihatan sudah pasrah, “Yo wes …”
“Loh, Bapak kok menyerah Pak?” Saki protes.
“Ben cepet selesai wes …”
Saki kembali protes dan momen sebelumnya terulang. Namun kali ini, Ei sadar bahwa ia tidak hanya sekadar berdiri di belakang kamera. Kali ini, ia ada di dalamnya.
“Oh iya,” Saki mengangkat kardus yang tersisa lalu menyenggol pundaknya pelan, “Bapak, ini temen saya Ei. Ei, ini Bapak Harsa yang biasa jualan kerajinannya di pasar.” Oh. Ia mengangguk. Namanya Bapak Harsa.
Setelah itu, mengalirlah kisah Bapak Harsa dan kerajinannya. Bapak Harsa mungkin tidak seekspresif Bu Ani, tapi rautnya berkata bahwa ia senang menceritakan kisahnya. Saki yang banyak bertanya ini dan itu — kepoan, dia sendiri yang melabeli — dan karenanya juga pembicaraan mereka tiada putusnya. Ia kadang menanggapi, dan tiap kali Bapak Harsa tersenyum ke arahnya, Ei pikir bahwa inilah alasan dia memulai fotografi.
“Kamu jadi ngambil foto cuman sedikit banget pas akhir-akhir,” Saki berkomentar saat mereka memutuskan untuk beristirahat sebentar sebelum pulang, “Gapapa, Ei?”
Ia menaikkan bahunya, mata tertuju pada foto-foto di kameranya, “Gapapa. Udah banyak juga fotonya,” ia tersenyum ketika wajah sumringah Bapak Harsa muncul di layar, “Saki, aku boleh cerita sedikit?”
Sigap Saki menegapkan badan ke arahnya, “Boleh. Boleh, Ei,”
Tertawa kecil ia, “Kamu tahu kenapa aku mulai serius belajar fotografi setelah Nenek meninggal?” Menggeleng Saki, “Karna di hari beliau tiada, aku baru sadar bahwa gak satu orang pun di keluargaku yang punya foto ketika beliau senyum,”
“Nenek itu mukanya galak. Dan dia gak suka difoto. Semua fotonya kelihatan kayak mau marah, datar semua.” Tersenyum, jarinya ia bawa mengusap layar kameranya lembut, “Padahal, beliau orangnya baik. Ramah. Seru juga. Sering senyum. Banyak ketawa,”
Ia menutup matanya, membiarkan ringan mentari sore hari menyapu wajahnya, “Sampai sekarang, aku bahkan masih ingat jelas gimana beliau senyum dan ketawa. Cantik. Beliau cantik. Sejelas itu di ingatanku dan gak ada satu pun foto yang bisa kutunjukkin ke kamu buat ngasih tau soal itu,”
Kala matanya ia buka lagi, ia lihat Saki sudah menatapnya lekat tanpa kata, “Makanya aku pikir, aku mau bisa fotografi. Karena kalau pun orang lain gak ada di sana buat lihat, aku bisa buat mereka tau,”
“Oh. O-oh,” Saki tergagap dan sudut bibirnya mulai tertarik ke atas, “Keren. Ei, maksudku, eh,”
Ia menaikkan alis, tersenyum, “Hm?”
“Kamu, Ei. Keren. Kamu. Kamu keren, Ei. Keren.” Warna wajah Saki semakin merah dan merah di tiap katanya dan senyumnya ikut melebar, “Ah, kamu … kok bisa sekeren itu, Ei? Gak mungkin foto-foto cuman iseng aja, kan?”
“Iseng ya …” Ia lempar kembali pandangannya ke kameranya, “Gak selalu. Kadang foto memang buat ngisi porto, terus sisanya aku upload di shutterstock. Kadang juga dibayar buat photoshoot dan macem-macem. Gak sering tapi.” Ternganga Saki.
Gemetar sudah lelaki itu, “Ei …? Serius …?”
Disembunyikannya tawanya di balik telapak tangannya, “Serius. Kenapa juga bohong?”
“Ei …” Saki tampak seperti baru saja menyaksikan sebuah pengkhianatan, “Kamu … kenapa gak pernah bilang kalau biasanya dibayar, Ei?! Kenapa?!”
Sampai di situ meledak juga tawanya, “Kamu gak pernah tanya,”
“Ei … Pasti kamu mikir aku kurang ajar banget ya waktu aku minta fotomu begitu aja pas pertama kali itu … Gila … Aku bahkan seenaknya ngemis kamu buat jadi fotografer pribadiku seharian ini … Dibayar nasi kotak sama boncengan motor beat doang … Ei …” Semakin kuatlah tawanya.
“Gapapa kali,” ia berucap di sela-sela tawanya, “Kan temen,”
“Ei …” Saki tampak semakin nelangsa dan terbahak lagi ia, “Serius, Ei. Ini hutangku berapa ditambah yang kemarin?”
“Dibilang gak ada, Saki …”
“Pasti ada. Cepet, sebut nominalnya, Ei. Foto sebagus itu kamu jangan mau dibayar rendah sama orang, apalagi sama aku,”
Ya ampun, manusia satu ini … “Yaudah, bayar nanti pas kita sampe di Tembalang aja,”
“Oke. Berapa?”
Ia mematikan kamera, meletakkannya di samping, lalu membalas tatapan serius Saki dengan senyum, “Aku lagi pengen bakso.” Raut serius di wajah lelaki itu perlahan lumer digantikan mata linglung dan semu merah di pipi, “Kamu ada rekomendasi?”
selesai.
Penulis: Kayla Fauziah
Editor: Alivia Nuriyani
Pemimpin Redaksi: Natalia Ginting
Desain: Nabila Ma’ratunisa