The Lower and Middle Trap: Pesimisme Masa Depan Karier Mahasiswa
Setiap mahasiswa memiliki mimpi dan ambisi untuk menggapai titik kemajuan dari kehidupannya saat ini. Meniti karier pendidikan dengan berbagai upaya, menghimpun riwayat karier dalam Curriculum Vitae (CV), berharap akan membantu mahasiswa memperoleh karier yang cemerlang pasca kelulusan. Entah demi mendapat pekerjaan yang bagus ataupun keinginan untuk memperoleh beasiswa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Semua itu diupayakan atas nama kemajuan. Akan tetapi, terdengar cukup menyedihkan bagi kalangan menengah ke bawah dengan adanya suatu fakta, bahwa di atas perjuangannya; mereka tidak akan bisa melenting naik mengalahkan kelas atas; karena secara fundamental, resources-nya sudah berbeda.
Eksperimen dari pernyataan di atas dirasakan sendiri oleh penulis. Penulis merupakan kalangan menengah yang memiliki privilege untuk merasakan akses pendidikan dengan kategori cukup baik di kalangan seumurannya. Penulis merupakan mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) yang dalam tiga bulan terakhir menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada (UGM) di salah satu kelas internasional, yakni International Undergraduate Program (IUP). Pengalaman tiga bulan tersebut mengajarkan akan kesenjangan (inequality) yang rumit disetarakan; lantaran gap yang sudah terlanjur jauh dan fundamental sehingga mosi yang disebutkan di atas; mutlak penulis sepakati.
Stigma hedonisme, high life standard, konglomerat terhadap mahasiswa kelas internasional melekat kuat dan (terkadang) dianggap negatif oleh kalangan mahasiswa umum. Padahal hal itu adalah fenomena natural dan bukan kesalahan; kesalahan itu justru ada pada kedangkalan perspektif mahasiswa kalangan umum. Mereka (mahasiswa umum yang berasal dari kalangan menengah ke bawah) menganggap representasi dari mahasiswa internasional berada di luar batas wajar dalam life culture masyarakat menengah ke bawah.
Akan tetapi, gap ini bukan hanya tentang kemampuan finansial; melainkan akses pendidikan, karier, kesehatan, dan semua aspek pendukung kualitas hidup manusia lainnya. Sehingga tidak salah ketika terdengar narasi, “orang kaya akan tetap kaya, dan yang miskin tetap miskin; kalaupun maju, ia tidak akan lebih jauh dari orang kaya”. Generasi-generasi yang lahir dari kalangan menengah ke bawah rasa-rasanya seperti jalan ditempat; mereka belajar, bekerja keras, dan terus berusaha untuk kesejahteraan yang tidak lebih besar dari mereka yang kaya.
Mereka yang kaya, nyatanya lebih cerdas dan pintar. Lantaran kemampuan bahasa internasional yang mereka miliki sejak kecil mengantarkan mereka kepada akses literasi yang lebih global.
Mereka yang kaya, nyatanya lebih sehat fisik. Lantaran kebutuhan kualitas gizi yang tercukupi dan akses kesehatan yang prima. Gaya hidup sehat masyarakat kaya turut menunjang kualitas kesehatan yang mereka miliki, aktivitas seperti gym, jogging, yoga, berenang, tersedia di rumah mereka.
Mereka yang kaya, nyatanya lebih sehat mental. Lantaran kebutuhan healing dan entertain mereka yang terpenuhi sempurna. Mereka dapat kapan saja menggunakan jasa psikologi atau kapan saja ke Tanah Suci Makkah untuk menyempurnakan spiritual bagi mereka yang muslim.
Dalam konteks karier; mereka yang kaya memiliki peluang karier yang lebih terbuka. Mari kita lihat studi kasus berikut:
A adalah anak dari pengusaha kaya yang memiliki banyak jaringan di pemerintah. Adapun B adalah anak wiraswasta yang tinggal di pinggiran kabupaten. Keduanya sama-sama menempuh pendidikan di Universitas X, bedanya si A berada di kelas internasional sementara si B berada di kelas reguler. Dalam 4 tahun menjalani studi, si A dan B mengalami experiences yang berbeda. Si A barangkali melakukan exchanges ke luar negeri dan meniti karier pendidikan yang bereputasi global. Sementara si B, tidak mustahil membuat kemajuan besar dalam perjalanan pendidikannya. Akan tetapi normalnya di kelas reguler; dengan kapasitas individu yang terbatas dalam bahasa, pemahaman global ataupun bersosialisasi secara global; experiences yang mereka dapatkan sebatas magang mandiri di instansi kabupaten/kota, pertukaran pelajar di kampus dalam negeri, dan atau organisasi internal/eksternal kampus. Dalam tahapan ini, secara kompetensi diantara keduanya sudah memiliki gap yang terlihat jelas.
Kemudian, sampailah pada tahap kelulusan dan pencarian karier. Keduanya sama-sama mendaftar di instansi Y. Katakanlah IPK keduanya sama-sama 3,95. Keduanya sama-sama melampirkan CV yang tebal. Bobot CV yang dilampirkan menawarkan kelebihannya masing-masing. Namun, yang diterima hanyalah si A. Terlepas dari kompetensi, riwayat karier pendidikan, pengalaman, kebutuhan dari posisi yang dilamar; terdapat faktor yang disebut reputasi. Si A dan si B barangkali sama-sama kompeten, tetapi dengan melihat fakta keluarga si A yang memiliki banyak jaringan termasuk pada instansi Y, menjadi wajar ketika Human Resource Development (HRD) memilih si A. Ini bukan tentang nepotisme, ketika keduanya sama-sama kompeten; dan nyatanya inilah fakta lapangan yang ada.
Lantas, bagaimana nasib si B dan jutaan si B yang lain? Ada yang menjawab “pemerintahlah yang seharusnya turun tangan membantu menyempitkan gap yang ada”. Bukankah pemerintah juga sudah mengupayakan kebijakan-kebijakannya untuk mengatasi ketimpangan itu sejak dulu? Apakah efektif? Contoh dalam radius mahasiswa yang dapat kita nilai sendiri adalah program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA), program pertukaran mahasiswa ke luar negeri yang dibiayai oleh pemerintah. Tujuan dari adanya program tersebut adalah membantu mahasiswa dengan keterbatasan biaya exchanges untuk menggali pengalaman di kampus luar negeri. Hal ini disampaikan oleh salah satu pewawancara IISMA dari UGM, Dr. Bevaola Kusumasari, S.IP., M.Si dalam kelas Manajemen Resiko, Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM bahwa Awardee IISMA didominasi oleh kalangan menengah ke atas yang memiliki privilege akan akses bahasa internasional, pendidikan dan finansial yang memadai. Dengan demikian, implementasi program tersebut sebetulnya melesat dari sasaran dan objektivitas program yang direncanakan. Program IISMA adalah bagian kecil dari kebijakan pemerintah yang melesat dalam menyelesaikan ketimpangan di Indonesia. Semestinya, hal ini sudah cukup menyadarkan kita bahwa pemerintah tidak memiliki kapasitas untuk menyelesaikan ketimpangan secara independen.
Kondisi di atas menanamkan pesimisme dan menimbulkan berbagai pertanyaan dari golongan yang kurang beruntung, seperti: apakah kategorisasi masyarakat borjuis dengan proletar adalah fenomena natural yang selalu ada? Lantas, bagaimana dengan ambisi semua orang yang menginginkan berada di posisi borjuis? Memangnya manusia mana yang tidak menginginkan kesejahteraan?
Tetapi, inilah dinamika kehidupan, yang harus diterima dan dihadapi dengan lapang dada. Apapun latar belakang kita, selalu perjuangkan apa yang kita cita-citakan. Jangan berhenti dan putus asa hanya karena membaca opini seperti di atas. Tidak perlu pesimis akan fenomena dan fakta yang ada. Lantaran, ada satu garis yang Tuhan siapkan, tetapi tidak terbaca dalam radar kita. Teruslah berjalan dan percayalah bahwa ada jalur langit yang tidak pernah mengecewakan. Barangkali, jalur itu memang tidak terlihat, namun yakinlah skenario itu sudah pasti tertata.
Penulis: Rifka Nafilatun Nafichah
Editor: Natalia Ginting
Desain: Izza Karimatan