Bangkitnya Dinasti Marcos: Sinyal Pengingat Politik Dinasti di Indonesia
LPM OPINI – Pada Senin 9 Mei 2022, Ferdinand Marcos Jr atau yang lebih dikenal sebagai Bongbong berhasil memperoleh keunggulan telak dalam perhitungan suara pemilihan presiden Filipina. Bongbong dapat dipastikan akan melenggang sebagai presiden baru Filipina usai mengalahkan saingan terdekatnya, Leni Robredo, dengan perolehan suara lebih dari 26 juta suara, angka tersebut memiliki selisih 2 kali lipat dari total suara yang diperoleh rivalnya.
Kemenangan Bongbong ini justru menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat Filipina. Bayang-bayang sejarah kelam pemerintahan mantan diktator, Ferdinand Marcos yang merupakan ayah dari Bongbong terus menghantui masa depan Filipina. Ferdinand ialah presiden ke-10 Filipina yang menjabat selama lebih dari 20 tahun, yakni sejak 1965 hingga 1986. Selama masa pemerintahannya, Ferdinand Marcos dikenal sebagai sosok pemimpin yang otoriter. Berbagai hal telah Ia lakukan sepanjang kekuasaannya, sebelum akhirnya dilengserkan pada tahun 1986.
Pemerintahan Ferdinand Marcos
Pemerintahan Marcos dimulai sejak tahun 1965, namun kekuasaannya yang otoriter baru benar-benar dirasakan pada 1972. Pada saat itu, masa jabatan kedua Marcos akan segera berakhir, tetapi Ia justru menetapkan Undang-Undang Darurat yang menyebabkan terjadinya pembekuan parlemen, penahanan terhadap lawan politiknya dan penyensoran total. Marcos yang juga merupakan seorang pengacara ulung mengendalikan pengadilan Filipina secara penuh termasuk militer dan kepolisian. Ia bahkan tak segan untuk menyiksa dan membunuh politisi-politisi oposisinya.
Salah satu insiden pembunuhan yang memicu kemarahan masyarakat Filipina yaitu penembakan Benigno Aquino. Benigno Aquino merupakan salah satu lawan politik Marcos. Ia ditembak sesaat setelah pesawatnya mendarat, usai mengasingkan diri ke Amerika Serikat untuk menghindari rezim Marcos.
Peristiwa tersebut membuat ribuan masyarakat Filipina turun ke jalan untuk melakukan penghormatan terhadap mendiang Benigno Aquino. Selanjutnya, rakyat Filipina meminta pemilu dipercepat pada 1986. Mereka juga menyatakan dukungan terhadap istri mendiang Benigno Aquino, Cory, untuk maju dalam pemilu dan melawan Marcos.
Seusai pemilu dilaksanakan, terjadi persengketaan karena dugaan adanya kecurangan. Namun, seolah acuh dengan hal tersebut, Marcos menyatakan kemenangannya, yang memicu terjadinya demonstrasi besar-besaran di seluruh Filipina, yang dikenal dengan sebutan Revolusi Rakyat (People’s Power).
Setelah aksi demonstrasi tersebut, Marcos dan keluarganya kabur ke Hawaii dengan menggunakan helikopter Amerika. Bongbong yang pada saat itu berusia 28 tahun turut kabur bersama ayahnya. Menurut catatan milik Bea Cukai Amerika Serikat, keluarga Marcos membawa banyak peti barang berharga yang berisi perhiasan, pakaian mewah dan uang tunai. Marcos dan keluarganya diduga melakukan korupsi uang negara sekitar US$ 10 miliar. Setelah 3 tahun berada di Hawaii, tepatnya pada tahun 1989, Ferdinad Marcos meninggal dunia.
Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1990-an, Bongbong kembali dari pengasingan. Ia memanfaatkan kekayaan dan relasi keluarganya untuk merintis karir politiknya. Bongbong bahkan tercatat pernah menjabat sebagai gubernur, anggota DPR dan juga senator sebelum akhirnya maju dalam Pemilihan Presiden Filipina 2022.
Terpilihnya Bongbong sebagai Presiden Filipina menimbulkan kekhawatiran sekaligus tanda tanya besar bagi banyak pihak termasuk negara-negara lain. Hal ini tak luput dari latar belakang Bongbong yang merupakan putra dari Ferdinand Marcos, sehingga kemenangannya dianggap sebagai tanda kembalinya rezim Dinasti Marcos dalam pemerintahan Filipina.
Kemenangan Bongbong dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Salah satunya yakni karena koalisi yang dijalin dengan Dinasti Duterte. Bongbong menunjuk Sara Duterte, yang merupakan putri Presiden Duterte. Dinasti Duterte sendiri memiliki pengaruh kuat di bagian selatan Filipina.
Menurut Yosef Djakababa selaku dosen Hubungan Internasional, Universitas Pelita Harapan dalam wawancaranya dengan DW Indonesia, faktor lain yang juga menjadi kunci kemenangan Bongbong adalah dominasi jumlah pemilih muda pada pemilu tahun ini, yang mana mereka tidak mengalami secara langsung rezim Marcos. Selain itu, para pemilih muda tersebut juga menghadapi disinformasi terkait sejarah pemerintahan Ferdinand Marcos yang belakangan ini beredar di media sosial.
Politik Dinasti di Indonesia
Melihat fenomena yang terjadi di Filipina terkait politik dinasti, hal tersebut tak jauh berbeda dari apa yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Salah satunya adalah Indonesia. Praktik politik dinasti bukan hal baru di Indonesia. Sejumlah petinggi negara berserta rekan dan keluarganya sempat beberapa kali menjabat di kursi pemerintahan.
Berdasarkan temuan Nagara Institute, pada Pilkada serentak tahun 2020 terdapat 124 kandidat yang terafiliasi dengan dinasti politik dan akan maju sebagai calon kepala daerah. Sebagian besar kandidat dinasti politik pada Pilkada 2020 tersebut merupakan pendatang baru yang berjumlah 102 kandidat.
Berkaca pada apa yang terjadi di Filipina, Indonesia juga memiliki sejarah kelam pemerintahan otoriter dan politik dinasti pada masa Presiden Soeharto. Presiden Soeharto telah memimpin selama 32 tahun, yakni sejak 1967 hingga 1998. Selama masa pemerintahannya, keluarga Presiden Soeharto yang kerap disebut sebagai Keluarga Cendana banyak menguasai perusahaan nasional pada masa itu. Tak hanya itu, beberapa dari Keluarga Cendana juga turut ambil peran dalam kursi pemerintahan. Salah satunya yaitu putri Presiden Soeharto sendiri, Siti Hardijanti Rukmana atau yang lebih dikenal sebagai Tutut yang menjabat sebagai Menteri Sosial di Kabinet Pembangunan IV.
Tak hanya politik dinasti, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, praktik korupsi juga sangat merajalela. Ironisnya, korupsi tersebut dilakukan oleh Presiden Soeharto sendiri beserta kroni-kroninya. Pada 31 Maret 2000, kejaksaan menetapkan Soeharto sebagai tersangka atas dugaan kasus korupsi tujuh yayasan yang dipimpinnya. Menurut laporan Jaksa Agung Andi M.Ghalib yang disampaikan di depan Komisi I DPR, sejumlah yayasan Soeharto mempunyai kekayaan mencapai Rp4,014 triliun.
Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto pada 72 bank dalam negeri dengan deposito senilai Rp24 miliar dan Rp23 miliar yang tersimpan dalam rekening BCA beserta tanah dengan luas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana. Selain itu, juga terdapat aliran dana senilai Rp400 miliar yang berasal dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam penyalahgunaan dana tersebut, Haryono Suyono selaku Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional juga turut terlibat mengalihkan dana untuk yayasan Soeharto.
Selain itu, kebebasan pers sangat dibatasi dan hanya dijadikan sebagai alat pemerintahan. Pemerintah Orde Baru menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers. Dalam Undang-Undang tersebut, mengatur Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang berisi bahwa perusahaan pers dituntut sejalan dengan kebijakan pemerintah orde baru. Apabila perusahaan pers melanggar hal tersebut dan justru memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah, maka SIUPP-nya akan dicabut oleh Departemen Penerangan.
Pada tahun 1998, krisis ekonomi menghantam Indonesia dan menyebabkan rakyat mulai kehilangan kepercayaan terhadap Presiden Soeharto. Kemudian, terjadi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa untuk menuntut Soeharto agar lekas turun dari jabatannya sebagai presiden. Melihat demonstrasi yang semakin tidak terbendung, Soeharto akhirnya melepaskan jabatannya pada 21 Mei 1998.
Berdasarkan uraian sejarah tersebut, tentunya rakyat Indonesia tidak ingin lagi mengalami pemerintahan yang otoriter seperti pada era Orde Baru. Oleh karena itu, belajar dari Pemilu Filipina, rakyat Indonesia khususnya para generasi muda diharapkan untuk selektif dan tidak melupakan latar belakang dan sejarah masa lalu dalam memilih pemimpin Indonesia kedepannya.
Penulis: Citra Lusiandani
Riset: Vika Adistya
Editor: Luthfi Maulana
Redaktur Pelaksana: Dinda Khansa
Pemimpin Redaksi: Luthfi Maulana
Referensi
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-61393245
https://indeks.kompas.com/profile/2343/Maulana.Ramadhan
https://voi.id/bernas/42710/politik-dinasti-pengertian-dan-contohnya-di-indonesia
https://nagarainstitute.com/pers-release-124-dinasti-politik-bertarung-dalam-pilkada-serentak-2020/