Sumber Gambar: Zalfa Ibtisamah Nursidiq

Sejak awal semester genap, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Diponegoro (Undip) terus berbenah dalam segi pembangunan. Banyak fasilitas dibangun untuk menunjang kegiatan mahasiswa di luar kelas, misalnya ruang Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), jalan penghubung area parkir dengan lantai dua gedung B, penambahan lift di gedung A dan D, serta beberapa titik baru yang menjadi sorotan mahasiswa di beberapa tempat, seperti kandang burung, akuarium, dan tulisan “My FISIP, My Love, My Almamater” yang terpajang di koridor depan area kantin. 

 

Pembangunan Aksesoris dari Alumni Lebih Baik Dialihkan untuk Hal-Hal yang Sifatnya Lebih Fungsional?

Berbagai macam tanggapan datang dari mahasiswa mengenai spot-spot baru yang  berupa aksesori, seperti akuarium, kandang burung, dan tulisan “My Fisip, My Love, My Almamater.” Beberapa mahasiswa menilai spot tersebut elok dipandang, tetapi ada pula yang menilai kurang menunjang kegiatan belajar mengajar.

Salah satu mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi angkatan 2023, Alya Maghfirah Angelina Bilhaq menanggapi pembangunan spot baru sebagai hal yang menambah estetika. Menurutnya, unsur estetika juga diperlukan dalam pembangunan. 

Kalo dari aku sendiri sih menurut aku baik ya, karena sebelumnya nggak ada apa-apa kan. Jadi nambah bagus, nambah estetika juga, buat pemandangan bagus saat ditemui,” ujar Alya saat ditemui Tim OPINI pada Kamis (30/5).

Berbeda dengan tanggapan Alya,  Ketua Bidang Harmonisasi Kampus (Harkam) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Undip, Dwi Prastyanto yang saat ditemui Tim OPINI pada Senin (27/5) berpendapat bahwa dana alumni lebih baik dialihkan pada hal-hal yang sifatnya lebih fungsional. Menurutnya,  pembangunan spot yang bersifat aksesoris bisa dibuat dengan objek yang lebih up to date.

Kalo emang dananya sisa, memang ada anggaran dari alumni, fungsikanlah untuk yang sifatnya fungsional. Daripada untuk sesuatu yang sifatnya pajangan, akhirnya tulisan We Love FISIP tuh bukan sebagai suatu kebanggaan, tapi malah  jadi olok-olokkan. Nah, seharusnya kalo semisal pun mau buat sesuatu yang sifatnya cendera mata buatlah sesuatu yang sifatnya up to date gitu lho, nggak yang kayak katakanlah kalo disebut banyak orang, kabupaten yang akhirnya malah membuat nama FISIP itu sendiri apa sih,  gaya lama, nggak ada up to date-nya sama sekali,” ujar Pras.

Pras juga menyarankan agar tempat diskusi mahasiswa ditambah. Meskipun FISIP telah menyediakan fasilitas untuk diskusi di setiap sudut, tetapi tingginya minat mahasiswa dalam berdiskusi membuat sesama mahasiswa terkadang saling berebut spot tersebut.

“Lalu, kandang burung itu kayak apa nggak bisa dialihkan walaupun itu anggarannya dari IKA (Ikatan Keluarga Alumni) FISIP. Nggak dialihkan ke yang sifatnya fungsional, bukan yang sifatnya aksesoris gitu. Katakanlah penambahan gazebo, karena kita lihat bahwa untuk menempati gazebo sendiri kadang masih rebutan,” tambah Pras.

Muhammad Razan Alif Siregar selaku Ketua BEM FISIP, berpendapat serupa. Ia menilai FISIP sudah memberikan fasilitas yang terbaik bagi mahasiswa. Akan tetapi, pembangunan spot yang dinilai lebih bermanfaat bagi mahasiswa akan lebih baik.

“Sebenarnya gini, mungkin ini disclaimer ya, bahwasanya secara fasilitas sebenarnya di FISIP itu bisa dibilang sudah cukup memadai, cuma memang bilamana ada maksud fokus pembangunan, coba diarahkan kepada hal-hal yang sifatnya dibutuhkan oleh mahasiswa. Cuma kalo misalkan kita bicara terkait dengan estetika ya memang itu menjadi nilai subjektif dari kampus sendiri bagaimana dia membangun estetika di kampus,” jelas Razan saat ditemui Tim OPINI pada Jumat (31/5).  

Sementara itu, Dekan Fisip Undip 2024, Teguh Yuwono menanggapi pandangan para mahasiswa dengan penjelasan bahwa pembangunan aksesoris, seperti tulisan “My FISIP, My Love, My Almamater” berasal dari dana alumni dan spot tersebut juga merupakan hasil dari permintaan pihak alumni. Pihak kampus hanya merealisasikan apa yang diminta oleh alumni. 

“Itu memang ide dari alumni, terus sumbangan alumni. Jadi, kamu berpikirnya jangan kemudian orang nyumbang kita tidak respect ya, ya kita terima aja lah orang nyumbang dan pengennya begitu dan kamu harus tau kampus itu tidak hanya milik dosen. Kampus ya milik dosen, milik mahasiswa, milik tendik, milik alumni,” ujar Teguh saat ditemui Tim OPINI pada Selasa (04/06).

Teguh juga menegaskan bahwa sumbangan alumni tidak hanya untuk pembangunan aksesoris. Terdapat banyak spot lain di FISIP yang berasal dari sumbangan dana IKA.

“Sumbangan alumni banyak lho, Dek. Di depan-depan itu sumbangan alumni banyak. Jadi, mungkin ada 15-20 spot sumbangan alumni. Sumbangan alumni kan perlu proses proposal, mengajukan, dikaji. Alumni banyak nyumbang yang lain. Apa? beasiswa, alumni nyumbang alat olahraga banyak juga. Jadi, kalau kamu ada yang ngomong sebaiknya sumbangan alumni untuk yang lain ya sudah dong. Wong sumbangannya banyak kok,” tambah Teguh.

 

Apa yang Sebenarnya Perlu Diperhatikan Terlebih Dahulu?

Sumber Gambar: Jamilah Cahyaning

Melihat banyaknya spot baru yang bertujuan untuk estetika semata, mahasiswa turut berkomentar atas pembangunan tersebut. Menurut Razan, alih-alih membangun fasilitas baru, baiknya mengoptimalkan yang sudah ada. Beberapa ruangan yang ada sebetulnya dapat digunakan dengan lebih efisien. 

“Seperti prodi ilmu pemerintahan dia punya yang namanya Government Laboratorium, itu ada di gedung A, cuma sampai saat ini untuk pengajaran, bahkan mungkin aku, angkatan di bawahku belum pernah merasakan menggunakan fasilitas tersebut. Juga mungkin teman-teman dari Administrasi Bisnis ternyata di gedung D lantai 3 ada juga tuh fasilitas laboratorium wirausaha, tapi setahuku tidak pernah digunakan. Jadi, sebenarnya adalah bagaimana kita mengefisiensikan fasilitas yang sudah ada terlebih dahulu,” jelasnya.

Selain itu, perbaikan fasilitas kantin juga perlu diperhatikan. Tempat sampah yang seringkali penuh dan membuat sampah berserakan seharusnya menjadi perhatian lebih.

“Mungkin bisa nambahin kayak space buat kita buang sampah di kantin, kita padahal self service, bikin kantin lebih rapi gitu lah,” ujar Alya.

Beberapa fasilitas seperti galon air minum yang minim jumlahnya dan juga sepeda kampus yang sudah lama dianggurkan oleh mahasiswa juga menjadi perhatian mahasiswa. Pras turut memberi pandangan terkait beberapa fasilitas yang seharusnya lebih dimaksimalkan.  

“Terkait dengan  air minum, walaupun di FISIP udah ada di lobi, tapi kalo aku lihat di UGM (Universitas Gadjah Mada), itu mereka udah pake air minum yang dari kran itu, barangkali FISIP bisa meniru itu. Jadi, aspek-aspek yang bisa menunjang mahasiswa itu bisa dimaksimalin lagi. Sepeda yang di depan tuh buat apa kalo semisal nggak pernah ada yang manfaatin. Kalo pun semisal bisa dimanfaatin bisalah buat kayak standing banner, ngasih tau kalo misal mau pake sepeda FISIP itu kayak gimana,” jelas Pras.

 

Kegiatan Pembelajaran di Gedung D Tidak Memenuhi Standar Peraturan

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta Bagian Kedua Pendirian Perguruan Tinggi Negeri huruf g menyatakan bahwa telah tersedia sarana dan prasarana salah satunya terdiri atas ruang kuliah paling sedikit 1 (satu) meter persegi per Mahasiswa.

Pemindahan sementara ruang pembelajaran di gedung D akibat pembangunan laboratorium di gedung A dikeluhkan oleh beberapa mahasiswa karena rasio antara ukuran ruangan dengan jumlah mahasiswa tidak sesuai dengan aturan yang ada. Keefektifan pembelajaran seharusnya menjadi perhatian, terlebih terdapat fasilitas yang kurang layak, seperti proyektor yang tidak dapat menampilkan gambar layaknya fungsinya dan beberapa kursi yang rusak. 

“Kurang nyaman sih ya karena ruangannya sempit, padahal mahasiswanya 50-an lebih, kursinya juga banyak rusak, proyektornya juga udah nggak bagus yang di kelasku, itu udah yang kayak benar-benar nggak kelihatan PPT-nya kalo dosen lagi ngejelasin,” ungkap Alya.

Hal serupa disampaikan oleh Pras. Ruangan sempit menjadi keresahan tersendiri karena kenyamanan selama pembelajaran terganggu. 

“Jujur aku merasa nggak nyaman, karena mayoritas kelasku sekarang tuh di gedung D yang aku lihat ruangannya tuh terlalu sempit dan emang kurang proper buat belajar, tapi kalo emang orientasinya sementara menurut aku ya harap dimaklumi aja karena emang lagi pembangunan, kecuali dipermanenkan, kita mau dipindah di situ tuh keberatan sih,” ujar Pras.

Harapan agar tidak ruang kelas tidak selamanya digelar di gedung D disampaikan oleh beberapa mahasiswa. Mengingat hal tersebut juga melanggar aturan yang ada. 

“Ya sebenarnya itu sudah menyalahi ya karena kan sebenarnya ada aturan bahwasanya ruang ideal untuk per mahasiswa itu adalah  1 x 1 meter persegi atau 1–1,5 meter persegi lah. Tapi memang kemudian perlu disesuaikan juga, kalo memang alasannya adalah karena ada pembangunan, pikirku FISIP juga nggak kurang kelas kok, bahkan ketika aku kelas di siang hari pun juga masih  banyak kelas yang kosong,” ujar Razan. 

Razan mempertanyakan apakah daya tampung fakultas terhadap mahasiswa baru belum disesuaikan dengan kapasitas yang ada. Pertanyaan lain, seperti apakah solusi kelas malam adalah langkah solutif untuk mengatasi masalah kekurangan kelas juga kerap dipertanyakan oleh Razan

Nah, sebenarnya di sini adalah bagaimana distribusi pembagian kelas dan yang kedua apakah pada akhirnya kita tuh selalu bertambah mahasiswa di tiap tahunnya? Apakah itu telah disesuaikan dengan bagaimana pembuatan pembagian kelas dan juga mungkin perlu menimbang apakah pada akhirnya kuliah sampai malam karena tidak adanya kelas itu menjadi solusi efektif untuk mahasiswa?” ungkap Razan.

Sementara, Teguh menjelaskan bahwa pembuatan laboratorium di gedung A adalah penyesuaian dari ruang kelas yang sudah tersedia. Pembaruan ruang kelas ini bertujuan agar mahasiswa dapat praktik sesuai dengan jurusannya.

“Jadi sekarang kan pendidikan harus berbasis case study, nah case study itu kan ada di laboratorium. Jadi, ruang yang sudah ada dipakai untuk laboratorium, kemudian ruang kelas dipakai untuk kelas.  Jadi, itu bukan membangun lab baru, tapi ruang yang ada disesuaikan untuk dipakai sebagai lab. Nah, kenapa pakai lab? Karena nanti pembelajaran berbasis laboratorium. Jadi, kuliah bukan informal di kelas kayak ceramah-ceramah gitu terus, tapi misalnya kamu di lab praktik membuat policy paper, praktik membuat liputan berita, praktik membuat video, gitu misalnya,” jelas Teguh.

Teguh juga menjelaskan bahwa kelas di gedung D sifatnya hanya sementara. Rencana selanjutnya adalah mengubah seluruh gedung D menjadi gedung perpustakaan.

“Ada yang dipindah ke gedung D, tetapi itu sifatnya sementara kan nanti gedung D akan semua jadi perpustakaan nanti. Jadi, gedung D nanti yang lantai atas itu hanya untuk sementara karena kan lab dipakai. Nah, nanti kalo sudah ada tambahan gedung baru, di situ baru jadi perpus semua, tiga lantai,” tambah Teguh.

Penyelesaian ruang laboratorium gedung A diperkirakan selesai dalam satu semester mendatang. Segala kekurangan dalam ruang kelas gedung D akan segera diperbaiki.

“Kita akan perbaiki itu (kendala dalam kelas gedung D). Jadi, kira-kira kalo dalam satu semester ini bisa selesai kita akan selesai,” tambah Teguh.

Menanggapi ketidaknyamanan mahasiswa, Teguh menyarankan agar sesi kelas dapat berlangsung di mana saja. Teguh hendak menegaskan kepada para dosen untuk mengarahkan mahasiswanya belajar di luar kelas.

“Jadi, gitu ya, Dek, jangan dijadikan karena ruangnya sempit, kemudian belajarnya ndak nyaman, belajar bisa everywhere. Nah, nanti mungkin saya perlu tekankan kepada para dosen mahasiswa, mungkin perlu kesadaran mengenai pembelajaran bisa di manapun, meskipun bisa di kelas,” tambah Teguh.

 

Apresiasi Besar atas Transformasi Kampus Oren tapi Jangan Lupa untuk Kembali Meninjau Hal-Hal Kecil

Tidak menutup mata, banyak mahasiswa FISIP yang juga merasakan manfaat dari pembangunan besar-besaran ini. Fasilitas yang menunjang kegiatan di luar kelas sangat diperhatikan oleh pihak fakultas. Akan tetapi, masih ada beberapa hal yang sebetulnya masih perlu diperhatikan. 

“Aku mau mengapresiasi juga, kita harus mengkomparasikan dengan fakultas lain juga, kalo misalnya aku melihat fakultas lain terutama teman-teman dari rumpunnya saintek, kaya FPP, FPIK itu bisa dibilang fakultas kita cukup progresif lah dalam pembangunan. Overall udah bagus, dulu semester satu kalo Minggu parkiran ditutup, sekarang Sabtu Minggu masih bisa diakses,” puji Pras.

Pras juga menambahkan harapnya agar pemenuhan hak-hak dasar didahulukan. Terlebih mengenai ruang kelas di gedung D.

Nah, mungkin sarannya atau harapannya terkait fasilitas di FISIP, ya tinjaulah dulu dari aspek dasar, kayak tadi aku misal bilang pemenuhan hak mahasiswa untuk semisal mendapatkan ruang satu meter persegi untuk setiap mahasiswa,” tambah Pras.

Razan juga berharap kebutuhan primer dan sekunder mahasiswa dapat diprioritaskan. Pembangunan juga diharapkan dapat memperhatikan lingkungan.

“Harapannya adalah pembangunan di FISIP ini diorientasikan untuk memajukan pendidikan dan pengajaran pun juga pengembangan yang dapat dirasakan oleh mahasiswa, bukan sekadar untuk estetika yang sebenarnya mengganggu mata, pun yang kedua adalah bagaimana pembangunan itu ramah lingkungan dan juga memberikan fasilitas dan layanan yang kebutuhan baik primer maupun sekunder dari mahasiswa,” pungkas Razan. (Zalfa)

Penulis: Zalfa Ibtisamah Nursidiq

Editor: Alivia Nuriyani

Redaktur Pelaksana: Tarisha Putri Ramadhanti

Pemimpin Redaksi: Natalia Ginting

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.