Cerita Mereka, Penerjun Program Kampus Mengajar

LPM OPINI – Diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada Selasa (9/2/2021), pelaksanaan Kampus Mengajar Angkatan 1 kini memasuki pertengahan dari jadwal waktu pelaksanaannya, yakni 22 Maret-25 Juni 2021. Kampus Mengajar (KM) merupakan bagian dari program Kampus Merdeka yang mengajak mahasiswa di Indonesia untuk menjadi guru dan mengajar siswa-siswa Sekolah Dasar (SD) di wilayah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar).
Beberapa mahasiswa dari Universitas Diponegoro turut ambil bagian pada program Kampus Mengajar Angkatan 1 yang diterjunkan ke beberapa SD di Indonesia. Dua di antaranya yakni Melly Dwi Trivia (Sejarah 2018) dan Utami Basri K. (Sastra Inggris 2018).
Melly menjelaskan, motivasinya mengikuti program ini karena ingin mendapatkan pengalaman, mengembangkan keterampilan seperti kepemimpinan, serta keuntungan lain yang apabila dijabarkan lebih lanjut, meliputi uang saku Rp700.000,00/bulan; potongan UKT maksimal Rp2.400.000,00 satu kali; konversi SKS sebesar 12 SKS; dan sertifikat.
Sedikit berbeda dengan Melly, motivasi Tami, sapaan akrab Utami, mengikuti program KM karena sedari dulu ia ingin mengikuti program pengabdian yang berhubungan dengan belajar-mengajar anak-anak. Kebetulan juga, selama kegiatan kuliah daring, Tami berada di kampung halamannya di Kupang, NTT, sehingga bisa langsung berkontribusi daerah tempat tinggalnya.
“Tidak ada salahnya mengikuti program ini sehingga aku bisa berkontribusi secara langsung dalam meningkatkan pendidikan, khususnya di daerah tempat aku lahir, tinggal, dan besar,” ujarnya ketika dihubungi tim LPM OPINI pada Kamis (27/5).
Adapun kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Melly dan Tami bermacam-macam. Di SDN 02 Cirinten, Lebak, Banten, tempat Melly diterjunkan, kultur di SD tersebut memulangkan siswa pada pukul 10 pagi, padahal untuk kelas 4 dan 5 normalnya pulang di atas jam 11 siang. Komunikasi dengan guru-guru juga menjadi masalah yang dihadapi oleh Melly.
“Kita keseringan pas memulangkan siswa (di luar jam pulang). Guru-gurunya juga cuma ada satu orang,” jelas Melly pada tim LPM OPINI pada Kamis (27/5).
Sementara itu, kesulitan yang dihadapi Tami di SD Inpres Oepura 3 terjadi di bulan pertama penerjunan. Lantaran fasilitas seperti aplikasi-aplikasi masih kurang memadai untuk menunjang pembelajaran daring, kegiatan belajar-mengajar pun terpaksa melalui aplikasi Whatsapp. Masalah lain yang muncul yakni hanya sedikit siswa yang mengerjakan tugas yang diberikan.
“Tapi semenjak bulan kedua, adik-adik sudah mulai semangat untuk mengerjakan tugas dan lain sebagainya. Jadi kami merasa kesulitan itu sudah bisa kami hadapi perlahan-lahan,” tutur Tami.
Kesan yang dimiliki Melly dan Tami pada program KM ini tidak berbeda jauh. Melly merasa mengajar merupakan hal yang seru dan mencari pengalaman baru adalah hal yang menyenangkan. Tami juga merasa bahagia karena bisa berkontribusi di dunia pendidikan, terkhusus di daerah tempat tinggalnya.
Terakhir, Melly dan Tami juga memberi beberapa masukkan untuk program KM supaya lebih baik ke depannya. Melly menyarankan agar sistem dan hal-hal penting lainnya harus disiapkan semaksimal mungkin sebelum program dijalankan. Sementara itu, Tami menyarankan agar komunikasi antara kampus, sekolah, dan panitia KM lebih ditingkatkan supaya tidak ada lagi kesalahpahaman yang terjadi.
“Sehingga saat kami, atau nanti angkatan-angkatan lain datang ke sekolah, sekolah pun sudah memahami tentang (program) kampus ini,” tutup Tami.
Penulis : Wahyu Hidayat
Editor : Annisa Qonita
Redaktur Pelaksana : Luthfi Maulana
Pemimpin Redaksi : Langgeng Irma