Demo Tolak RUU TNI: Lembaran Awal Memulai Era Kegelapan


(Sumber foto: Taufiqurrahman Alfarisi)
Demonstrasi menuntut kebijakan pemerintahan kembali bergulir pada Kamis (20/03) di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah. Demonstrasi tersebut merupakan tanggapan masyarakat atas Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tetap disahkan meskipun mendapat berbagai penolakan dari kalangan masyarakat. Selain itu, anggapan akan bisunya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menarik aspirasi masyarakat menjadi alasan demonstrasi dilaksanakan.
Sayangnya, demonstrasi yang dibawakan berujung penuh gejolak dan berakhir ricuh dalam bentuk represifitas yang dilakukan oleh kepolisian. Hal ini menyebabkan tuntutan massa untuk masuk ke dalam gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah tidak mampu terpenuhi.
RUU TNI sebagai Upaya Pelemahan Peran Sipil

(Sumber foto: Rafi Amru)
Pengesahan RUU TNI yang tampak tergesa-gesa dalam pembuatannya merupakan faktor pendorong timbulnya keresahan masyarakat yang berujung pada demonstrasi. Terlebih, RUU tersebut tampak sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah untuk tetap menjaga kekuasaan, terutama bagi kelompok oligarki agar dapat memperoleh stabilitas di tengah guncangan domestik yang terpusat di kota-kota besar. Tidak hanya itu, pengesahan tersebut menunjukkan militerisme atau fasisme yang bangkit dalam pemerintahan Indonesia.
“Kita harus mengerti UU TNI merupakan bentuk wujud pelayanan dari pemerintah kepada investor asing dan kepada oligarki. Mengapa? Karena kita melihat kondisi negara yang sedang krisis. Maka pemerintah memerlukan stabilitas dalam pemerintahan tersebut. Maka pemerintah mengambil cara-cara yang instan dan fasis dengan memasukkan TNI dalam ranah-ranah sipil,” ucap anggota Forum Teori dan Praksis Sosial, Farhan Prabu ketika diwawancarai LPM OPINI setelah memberikan orasi kepada massa aksi.
Meskipun UU TNI disahkan baru-baru ini, tidak dapat dipungkiri peningkatan militer dalam ranah sipil telah berkembang bahkan sebelum pembahasan RUU TNI. Beberapa kementerian dan Proyek Strategis Nasional (PSN) bahkan memiliki hubungan dengan TNI dalam keberjalanannya.
“Militer sejak beberapa tahun yang lalu itu dilibatkan dalam sektor-sektor sipil. Contohnya, TNI telah melakukan beberapa MoU (Memorandum of Understanding) dengan kementerian-kementerian, seperti Kementerian Agama memiliki MoU dengan TNI. Lalu TNI juga terlibat dalam beberapa Proyek-Proyek Strategis Nasional, contohnya food estate dan berbagai proyek-proyek strategis lainnya. Maka ke depannya, TNI akan dilibatkan guna membungkam, menindas rakyat yang menentang Proyek Strategis Nasional,” tambah Farhan.
Sedikit Cahaya dalam Gelap Gulita

(Sumber foto: Taufiqurrahman Alfarisi)
Pengesahan yang dilakukan oleh DPR pada pukul 09:30 WIB setelah rapat paripurna menjadikan rancangan tersebut dapat berlaku sebagai undang-undang. Akan tetapi, undang-undang tersebut masih perlu penandatanganan Presiden agar penerapannya menjadi efektif sebagai undang-undang. Selain itu, undang-undang masih dapat digugat masyarakat apabila melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini memberikan potensi pembatalan undang-undang tersebut masih terbuka.
“Setelah disahkan oleh DPR, itu (undang-undang) juga harus diundangkan oleh eksekutif, yakni Presiden. Namun, saya ingin menawarkan satu opsi, yakni melakukan banding ke MK (Mahkamah Konstitusi), dan mendesak MK untuk segera membatalkan undang-undang ini karena menyela Undang-Undang Dasar (1945),” papar mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Ilham Berlian.
Celah hukum inilah yang memberikan peluang untuk undang-undang tersebut dapat dibatalkan melalui gugatan kepada MK yang menyebut undang-undang TNI sebagai inkonstitusional. Gugatan tersebut mampu memberikan sedikit titik terang, di kala demonstrasi belum mampu didengar secara maksimal.
“Saya masih optimis untuk kita bisa membatalkan undang-undang ini, tetapi kalau tidak juga ya suram. Ketika TNI ditempatkan di posisi-posisi sektor publik, maka akan berinteraksi langsung dengan masyarakat. Saya takutnya budaya dan mentalitas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) menyebar dan semakin mengakar di masyarakat.” tutup Ilham.
Reporter: Taufiqurrahman Alfarisi, Rafi Amru
Penulis: Taufiqurrahman Alfarisi
Editor: Kayla Fauziah Fajri
Pemimpin Redaksi: Kayla Fauziah Fajri