Mahasiswa dan Aksi: Mengapa Berhenti Bukanlah Solusi

Belum ada satu tahun berjalan di bawah kepemimpinan yang baru, beragam aksi yang dimotori mahasiswa sudah beberapa kali datang silih berganti tanpa henti. Setiap harinya, ada saja tingkah penguasa yang patut dicecar dan dipertanyakan relevansinya terhadap masyarakat. Hasilnya? Seruan demonstrasi digaungkan kembali, jalan-jalan kembali dipadati, dan berbagai tuntutan lagi-lagi dilayangkan dengan harapan pemerintah akan mengerti. 

Namun, harus sampai kapan kita terus begini? Mengapa meski sudah serak begini, jerit tuntutan kita tak seharusnya berhenti di sini? 

Potret mahasiswa melakukan demonstrasi #TolakRUUKUHP.
(Sumber foto: blogspot.com)

 

Mahasiswa Lagi, Mahasiswa Lagi

Tahun 1987, seorang mahasiswa Universitas Yonsei, Korea Selatan terluka parah akibat terkena lemparan granat berisi gas air mata pada demonstrasi yang menuntut ditegakkannya demokrasi di negaranya. Dalam satu gelombang revolusi yang sama, seorang mahasiswa serta aktivis yang lain, Park Jeong Cheol, menjadi korban interogasi dan intimidasi aparat yang berujung pada kematiannya. 

Beralih ke negara tetangganya, aksi meminta adanya kebebasan bersuara dan berekspresi yang dipimpin oleh mahasiswa di Tiananmen, Cina menjadi saksi bisu bisa sejauh apa manusia bisa menjadi jahat akibat takut terhadap mulut-mulut berisik anak kuliah. Lihat bagaimana ratusan nyawa dibantai, bagaimana rekam jejak mereka yang berani berdiri di depan tank disembunyikan dari mata dunia, bagaimana suara terus dibungkam lewat tangan otoriter yang bau anyir darah dan kehancuran.

Mahasiswa Universitas Yonsei melakukan demonstrasi menuntut adanya demokrasi di Korea Selatan.
(Sumber foto: koreabridge.net)

Agaknya sejak dulu, warna-warni perjuangan senantiasa dilukis dan diisi oleh tangan, kaki, dan mulut cerdik para cendekiawan bangsa. Mereka yang dianggap hanya bisa duduk di kelas mendengarkan dongeng para dosen, rupanya merupakan karakter utama yang seringkali mendorong terjadinya perubahan di banyak negara. Tak dapat dipungkiri lagi, mahasiswa sebagai lambang resistensi sudah menjadi sebuah titel yang melekat dan menjiwa. Lantas, mengapa selalu mahasiswa?  

Terkait pertanyaaan tersebut, banyak penelitian menyebutkan kesadaran kritis yang lebih tinggi menjadi kunci. Ada juga yang mengatakan tidak terikatnya mahasiswa dengan kepentingan politik dan ekonomi tertentu bisa jadi faktor pendukung. Mahasiswa, sebagai makhluk independen yang masih dilindungi di bawah universitas dan negara, menjadikannya mampu memegang peranan penggerak tanpa takut kehilangan jabatan atau pendapatan. Tak hanya itu saja, sentimen sejarah kuat mengiringi jalan hidup mahasiswa sebagai pewaris tradisi aktivisme dari mereka yang mati dan hidup lagi atas nama revolusi dan reformasi. 

 

Ini Kata Mahasiswa Indonesia

Masih segar beberapa waktu yang lalu, kaki mahasiswa Indonesia kembali menjajaki jalan demi menuntut dicabutnya Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memperbolehkan tentara menempati jabatan sipil dalam masyarakat. Lucu, sebab tagar Indonesia Gelap yang sempat gempar kemarin saja belum genap satu bulan, tetapi masyarakat sudah direcoki dengan permasalahan yang baru lagi. 

Seolah belum cukup, fokus mahasiswa kembali diuji dengan berbagai dampak efisiensi anggaran yang melanda berbagai aspek kehidupan masyarakat terutama pada sektor pendidikan. Tak lupa dengan keharusan mengawal Aksi Kamisan yang nyala apinya masih setia dijaga agar terus berkobar di tengah ramai tindak represi pemerintah. Hari-hari mahasiswa Indonesia terus saja diisi dengan pertanyaan yang sama: Apa lagi kira-kira ulah pemerintah kali ini? 

Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia bergabung dalam aksi demonstrasi yang sama.
(Sumber foto: cnbcindonesia.com)

Melihat kembali pada apa yang terjadi pada tahun 1998, rasanya tak sampai hati untuk membayangkan bagaimana yang terjadi sekarang tak ubahnya replika modern dari seruan reformasi yang terjadi pada masa itu. Kesuksesan demonstrasi kala itu mungkin bagaikan trofi yang tak berhenti dipamerkan kemilaunya, tetapi darah yang masih menetes dalam perjuangan mendapatkannya bukanlah harga yang ingin siapapun bayar dua kali. 

Namun, kalau pemerintah saja sudah ambil posisi tak tahu diri, lantas apa artinya semua teriakan mahasiswa sejauh ini? Apa artinya bekas tembakan gas air mata dan ancaman senjata api yang sering dihadapi selama ini? Apa mahasiswa dan semangat juangnya tak lain dan tak bukan juga hanya sebatas omon-omon belaka? 

 

Terus Berdiri Bukan Berarti Sendiri

Lelah itu wajar, muak itu sudah lumrah. Namun, hal terakhir yang diinginkan masyarakat adalah untuk kamu berhenti sadar dan berhenti bersuara. Hal pertama yang diinginkan para penguasa di sisi lain adalah untuk kamu kembali buta, tuli, dan bisu terhadap apa yang terjadi di Bumi Pertiwi. 

Mahasiswa boleh jadi kunci, tetapi kekuatan terbesar datang dari fakta bahwa kita tak pernah sendiri. Akan selalu ada kaki-kaki lain yang mengikuti, tangan-tangan lain yang menulis, dan mulut-mulut lain yang melantangkan demokrasi harga mati. Ada tanggung jawab yang lahir dari otak yang diasah dan pikiran yang dipacu untuk kritis. Ada masyarakat yang berkobar kala mahasiswa hadir sebagai pemantik. 

Ini ajakan bagimu untuk bangkit. Karena nyawa manusia boleh hanya satu, tetapi nyawa demokrasi tidak dapat dihitung jari. Bersuara lagi. Berteriak lagi. Ini ajakan bagimu untuk beraksi. Sampai menang! 

 

 

Daftar Pustaka

Aspinall, E. (2005). Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. Stanford University Press.

BBC News. (2019, 3 Juni). Tiananmen Square: What happened in the protests of 1989?

Intraman. (n.d.). The 6.10 Democracy Movement (6.10 민주항쟁). Koreabridge.

Ismaidar, I., & Sinaga, R. H. (2023). Peranan Mahasiswa dalam Mengawal Konstitusi serta Membangun Kesadaran dan Optimisme Politik Hukum. Innovative: Journal of Social 

Science Research, 3(6), 10202–10215.

Kompas.com. (2018, 22 Mei). Cerita di Balik Aksi Mahasiswa Kuasai Gedung DPR Saat Reformasi 1998.

McAdam, D. (1988). Freedom Summer. Oxford University Press.

Tarrow, S. (2011). Power in Movement: Social Movements and Contentious PoliticsCambridge University Press.

Wignaraja, P. (1993). New Social Movements in the South: Empowering the People. Zed Books.

Zuo, J., & Benford, R. D. (1995). Mobilization Processes and the 1989 Chinese Democracy Movement. The Sociological Quarterly, 36(1), 131–156.

 

 

Penulis: Kayla Fauziah

Editor: Aulia Retno

Pemimpin Redaksi: Kayla Fauziah

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.