Dua Kali Dihajar Pandemi, Nyepi Tak Kehilangan Esensi Kesuciannya

Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1943 jatuh pada hari ini, Minggu (14/3). Dirayakan berdasar perhitungan Tilem Kesanga (IX) setiap tahun baru Saka, Nyepi dilaksanakan umat Hindu dengan berdiam diri di rumah dan tidak melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Berasal dari kata “sepi” yang berarti sunyi/senyap, Hari Raya Nyepi tidak dirayakan dengan pesta dan perayaan meriah layaknya Hari Raya Idul Fitri atau Hari Natal. Hal ini dikarenakan makna dan tujuan utama Hari Raya Nyepi ialah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia) dan Bhuana Agung (alam semesta). 

Meskipun dilakukan dalam bentuk berdiam diri, perayaan Hari Raya Nyepi di Indonesia memiliki rangkaian acara yang menarik untuk diketahui. Diawali dengan Upacara Melasti, upacara ini bertujuan sebagai upaya pembersihan segala kotoran, baik secara fisik maupun pikiran. Sebagaimana sesuai dengan arti kata Melasti yang tersusun atas dua kata, yaitu “Mala” yang bermakna kotoran dan “Asti” yang bermakna memusnahkan. Kemudian dilanjutkan dengan Tawur Agung dan Pengerupukan, sebuah ritual sehari sebelum Nyepi yang bertujuan untuk menyucikan alam semesta dan seisinya,  serta meningkatkan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan, dan sesama manusia. 

Rangkaian selanjutnya merupakan acara puncak, yakni Hari Raya Nyepi. Pada hari tersebut, seluruh umat Hindu tidak diperbolehkan melakukan segala bentuk aktivitas sehari-hari sebagai bentuk penyucian diri. Terdapat empat pantangan yang di laksanakan ketika Hari Raya Nyepi yang disebut dengan Catur Brata Penyepian, antara lain Amati Geni (tidak boleh menyalakan api); Amati Karya (tidak boleh beraktivitas, kecuali bertujuan untuk penyucian jiwa); Amati Lelungan (tidak boleh berpergian); dan Amati Lelanguan (tidak boleh bersenang senang).

Seluruh rentetan acara ditutup dengan Ngembak Geni. Berasal dari kata “Ngembak” yang berarti mengalir dan “Geni” yang berarti api, ritual ini dimaknai sebagai simbol dari Dewa Brahma, Sang Dewa Pencipta. Umumnya, ritual Ngembak Geni dilaksanakan pada pinanggal ping kalih di bulan ke-10 tahun Saka dengan mengunjungi tetangga atau sanak saudara untuk mesima krama sembari bermaaf-maafan. Ritual ini juga sebagai penanda berakhirnya perayaan Nyepi yang dilangsungkan pada tahun tersebut.

Penyesuaian dan Penerapan Protokol Kesehatan Pada Perayaan Nyepi

Tahun ini, Hari Raya Nyepi kembali dirayakan di tengah pandemi Covid-19. Berbagai kegiatan dan rangkaian acara dilakukan dengan menyesuaikan imbauan protokol kesehatan guna mengantisipasi timbulnya klaster baru Covid-19 pasca-perayaan. Tentunya keadaan ini memunculkan perbedaan yang mendasar, sesuai pernyataan Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, I Gusti Ngurah Sudiana. “Untuk pawai ogoh-ogoh ditiadakan. Sesuai surat edaran bersama PHDI dan MDA Bali Nomor: 009/PHDI-Bali/I/2021 dan Nomor: 002/MDA-Prov Bali/2021,” ucapnya pada Kamis (11/3) di Denpasar. 

Selain pawai ogoh-ogoh, rangkaian acara lain seperti upacara Melasti, Melis, Mekiyis, dan Makekobok turut mengalami penyesuaian. Pembatasan juga terletak pada jumlah umat Hindu yang melakukan upacara di dalam pura, yaitu maksimal sebanyak 50% dari kapasitas tempat ibadat, guna menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Ritual Ngembak Geni yang biasa dilakukan dengan bersilaturahmi kepada tetangga dan sanak saudara juga akan mengalami penyesuaian dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.

Sejatinya, Hari Raya Nyepi memang sudah identik dengan perayaan yang sederhana dan penuh makna. Penyucian jiwa dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian adalah wujud kesederhanaan umat Hindu di Indonesia. Sebagaimana tujuan dari Hari Raya Nyepi sendiri ialah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia) dan Bhuana Agung (alam semesta). Walaupun masih dalam kemelut pandemi, semoga Nyepi tetap dapat dirayakan oleh umat Hindu di Indonesia dengan lancar dan khidmat. 

Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1943. 

 

Penulis : Dikka Prasetyo

Editor : Annisa Qonita

Redaktur Pelaksana : Luthfi Maulana

Pemimpin Redaksi : Langgeng Irma

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.