Kontradiksi Klaim FISIP Menuju Ramah Disabilitas dan Pemindahan Patung Diponegoro yang Problematis
LPM OPINI – Selama setahun terakhir, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (FISIP Undip) melakukan pembenahan infrastruktur dengan dalih membangun sarana no one left behind yang ditujukan sebagai bentuk kepedulian terhadap kawan disabilitas dan lansia. Peremajaan ini dikatakan pihak dekanat sebagai salah satu bentuk pemenuhan konsep Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan.
“Dalam World Class University kita dituntut untuk akreditasi internasional yang mampu mengkolaborasikan standar dalam greenmetric yaitu penataan lingkungan yang ramah dan SDGs konsep pendidikan inklusif di mana no one left behind, salah satunya penyediaan sarpras akses dan mobilitas untuk difabel dan elderly,” jelas Hardi Warsono selaku Dekan FISIP Undip saat diwawancara LPM OPINI pada Sabtu (6/3).
Diketahui semenjak lingkungan kampus nihil dari rutinitas mahasiswa, FISIP Undip telah melakukan perubahan cukup signifikan mulai dari pembangunan elevator hingga pemindahan patung Pangeran Diponegorodi lintasan ramp; yang keduanya berkebalikan satu sama lain dalam konteks ramah disabilitas.
Pembangunan Elevator dan Masalah yang Belum Selesai
Jika menengok sejenak ke belakang, kampus FISIP Undip memang sudah mempunyai beberapa ramp (jalur landai), tetapi nyatanya hal ini masih belum cukup untuk memberikan rasa nyaman dan aman bagi kawan disabilitas. Terlebih hanya pihak pengajar disabilitas yang diberikan fasilitas untuk melakukan kegiatan perkuliahan di lantai dasar.
“Saat ini tampaknya baru saya yang kebetulan sebagai pengajar, mendapatkan fasilitas untuk selalu dapat memberi kuliah di lantai 1 karena keterbatasan saya. Karena beberapa waktu lalu saya pernah melihat juga mahasiswa kawan disabilitas yang harus kuliah di lantai 3. Rasanya memang tidak adil,” ungkap Sri Budi Lestari, dosen penyandang tunadaksa di FISIP Undip.
Meski demikian, ia berharap dengan dibangunnya elevator nantinya akan memudahkan kawan disabilitas dalam menjangkau tiap sudut-sudut kampus.
“Dengan rencana dibangunnya lift di FISIP, semoga bisa banyak membantu mereka yang dalam keterbatasan untuk dapat melakukan aktivitas di ruang mana pun,” lanjutnya.
Sejatinya pembangunan elevator yang ramah disabilitas tidak sesederhana layaknya membangun elevator pada umumnya. Diperlukan edukasi lanjutan serta pertimbangan fasilitas tambahan yang menunjang, seperti tombol lift dengan tinggi 90-120 cm atau lebih kurang setinggi kursi roda, ruang lift yang lebih luas agar pengguna kursi roda lebih leluasa, handrail minimal setinggi 80-90 cm untuk berpegangan, durasi buka-tutup pintu lift yang lebih lama, serta terdapat informasi lift priority (lansia, disabilitas, ibu hamil, ibu yang membawa bayi, dan sebagainya).
Perlengkapan itu belum kasatmata karena lift sendiri masih dalam tahap pembangunan. Problem yang kemudian belum terselesaikan yakni berkenaan dengan akses menuju lift yang dinilai kurang memperhatikan aspek-aspek keselamatan bagi kawan disabilitas, salah satunya adalah ramp di koridor penghubung Gedung A ke Gedung B dan C yang dianggap masih curam.
“Ada ramp yang menuju ruang kuliah di gedung B, menurut saya itu agak curam. Tapi bisa dilalui saat masih kuliah tatap muka,” terangnya.
Bagian dari fasilitas kampus yang masih sulit diakses oleh kawan disabilitas yakni kantin yang terletak di samping Gedung D FISIP Undip.
“Untuk saya walaupun dibangun lift, tetap agak kesulitan bagi mahasiswa yang menggunakan kursi roda untuk menuju kantin,” jelas Yoga Irja, salah seorang mahasiswa FISIP Undip kawan disabilitas.
Pengakuan dua warga FISIP Undip kawan disabilitas ini membuktikan elevator tidak serta-merta menjadi juru selamat bagi mereka yang memiliki keterbatasan. Elevator hanyalah potongan puzzle dari pembenahan-pembenahan lain yang harus disegerakan.
Ramp yang Diblokade Patung Pangeran Diponegoro
Pemindahan patung Pangeran Diponegoro tepat pada lintasan ramp di depan Gedung D FISIP Undip didasari atas penilaian reviewer awam yang tidak mengenali sosok patung tersebut. Dekanat juga berniat menggantikan ikon tersebut dengan patung yang lebih ideal. Selain itu Dekan FISIP Undip menyebutkan alasan filosofis mengapa patung tersebut dipindah ke pelataran gedung D yang terletak di bagian belakang kampus.
“Filosofi Tut Wuri Handayani, yang memberi dorongan dari belakang dan juga menangkap satu penilaian umum baik internal maupun eksternal, Ketika masuk halaman FISIP reviewer tidak mengenali patungnya. Entah patung siapa, katanya, meskipun itu hanya salah satu penilai awam saja, lalu bahwa patung yang ada belum memenuhi standar profil Diponegoro yang gagah, FISIP di kemudian hari berniat mengganti dengan ikon Diponegoro yang lebih mendekatan profil ideal,” paparnya.
Dari penjabaran Dekan FISIP Undip, pemindahan patung Pangeran Diponegoro ke tengah jalur ramp sarat akan kepentingan simbolis semata dan seakan lupa dengan pernyataan awal untuk membangun rumah yang ramah disabilitas.
Bahkan sebelum patung Pangeran Diponegoro dipindah, Dosen Sri Budi Lestari mengaku tidak pernah mengunjungi Gedung D (belakang kampus) karena terkendala akses. Padahal bangunan tersebut merupakan gedung Perpustakaan FISIP Undip.
“Kalau itu (Gedung D) sama sekali belum pernah sampai ke situ, alias tidak bisa dijangkau sama sekali,” ungkapnya.
Blokade ramp oleh Patung Diponegoro ini justru memperunyam masalah sarana ramah disabilitas – yang seharusnya dibenahi dari aspek keselamatannya, alih-alih mendukung pembangunan elevator dengan penyediaan sarana untuk kawan disabilitas lainnya.
Saat diberi gambar kondisi pelataran Gedung D, salah satu ex-kawan tunadaksa, Arie Branata mengaku kesulitan untuk menaiki tangga, terlebih menggunakan kursi roda.
“Sebagai mantan kawan tunadaksa, buat naik ke tangga satu persatu susah banget. Apalagi kalau yang pake kursi roda pasti ribet banget,” komentarnya.
Senada dengan Arie, Ketua Umum Komunitas Rumah Disabilitas, Bayu Adhi Darmawan menyayangkan pemindahan Patung Pangeran Diponegoro di tengah ramp, terlebih struktur lintasan ramp tersebut menurutnya sudah cukup baik.
“Melihat struktur lintasan ramp tersebut juga baik dan seimbang, seharusnya patung tersebut tidak berada di sana,” ujarnya.
Bayu juga menambahkan saran agar dibangun fasilitas penunjang, seperti pegangan dengan tujuan untuk memudahkan akses bagi kawan disabilitas, bukan justru diletakkan patung yang membuat fungsi ramp menjadi kabur.
“Pada lintasan ramp-nya dibuat pegangan tangga untuk lebih memudahkan teman disabilitas dalam turun ataupun naik,” imbuhnya.
Sementara itu, dari testimoni mahasiswa, Yoga Irja merasa pemindahan patung tersebut kurang baik karena akan semakin mempersulit akses bagi penyandang tunadaksa.
“Pemindahan patung saya rasa kurang baik. Karena tempat peletakan patung merupakan jalan utama menuju Gedung D, jika salah satu mahasiswa yang menggunakan kursi roda agak kesulitan menuju Gedung D dan menuju kantin,” katanya.
Lebih lanjut Yoga mengatakan bahwa FISIP masih belum ramah bagi kawan disabilitas karena minimnya fasilitas publik yang menunjang tunadaksa, terutama di beberapa gedung utama.
“Kampus FISIP selama saya berkuliah dari tahun 2017 hingga awal 2020 kurang ramah bagi disabilitas karena kurangnya jalan untuk membantu pengguna kursi roda di beberapa gedung, terutama saat ingin naik tangga,” jelasnya.
Dari testimoni dua penyandang disabilitas, satu mantan kawan tunadaksa, serta komentar komunitas pemerhati disabilitas yang terangkum, terlihat jelas bagaimana pembangunan ‘kampus ramah disabilitas’ masih jauh dari kata baik. Penempatan patung Pangeran Diponegoro di tengah ramp dan pembangunan elevator di sisi yang berbeda sama halnya seperti menambal lubang kecil di kapal dan memperbesar lubang di sebelahnya, hasilnya bisa dibayangkan; usaha tersebut hanya buang-buang tenaga.
Penulis : Luthfi Maulana
Editor : Annisa Qonita & Fani Adhiti
Redaktur Pelaksana : Luthfi Maulana
Pemimpin Redaksi : Langgeng Irma