Film Pengkhianatan G30S/PKI: Kontroversi, Cacat Fakta, Hingga Propaganda Orde Baru

LPM OPINI – Gerakan 30 September atau biasa dikenal dengan G30S merupakan gerakan yang bertujuan menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dan mengubah ideologi Indonesia menjadi komunis. Tragedi 30 September 1965 ini menjadi sejarah kelam yang selalu diperingati bangsa Indonesia untuk mengenang peristiwa berdarah, penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah jenderal yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta. 

Peristiwa tersebut kemudian diabadikan dalam film garapan sutradara Arifin C Noer dengan judul “Pengkhianatan G30S/PKI”. Film ini diproduksi oleh Produksi Film Negara (PFN) dipimpin Brigadir Jenderal Gufron Dwipayana, yang secara langsung memiliki kedekatan dengan Presiden Soeharto. Film ini sempat menjadi tontonan wajib selama 13 tahun sejak dirilis pertama kali pada tahun 1984, sebelum muncul perdebatan di kalangan masyarakat dan diputuskan untuk dihentikan penayangannya saat era reformasi. 

Banyak Menampilkan Kekerasan dan Darah 

Film yang dibuka dengan rencana aksi dari DN Aidit untuk mengambil alih kekuasaan Soekarno itu banyak menampilkan adegan kekerasan, penyiksaan, ancaman, serta darah yang tidak layak untuk ditampilkan, sebab berpotensi dilihat anak-anak. Adegan yang menunjukkan kekejian bermula dengan dilakukannya pertemuan rapat secara rahasia, yang kemudian menampilkan aksi pembakaran buku-buku agama dan Alquran yang memantik amarah umat Islam. 

Setelahnya dalam setiap adegan, dipertontonkan aksi penuh darah seperti penembakan yang dilakukan oleh pasukan Tjakrabirawa kepada Jenderal Ahmad Yani, penangkapan dan penyiksaan empat pahlawan revolusi hidup-hidup, dan penyiletan wajah korban oleh Gerwani sebelum dibuang ke sumur tua di Lubang Buaya. Selain itu, terdapat hal yang seharusnya tidak ditunjukkan secara jelas dalam film tersebut, yakni menetesnya darah dari tubuh Ade Irma Nasution. 

Fakta yang Menyimpang 

Pakar Sejarah Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, mengatakan bahwa berdasarkan kajian-kajian yang sudah dilakukan telah menunjukkan bahwa film tersebut cacat fakta. Seperti pada bagian penyiksaan di luar batas kemanusiaan yang diterima para jendral korban G 30 S di Lubang Buaya. Hasil visum yang dilakukan justru tidak terbukti adanya penyiksaan.

“Sutradaranya sendiri sudah mengakui jika film itu cacat fakta dan hanya rekayasa. Berdasarkan dari arsip hasil visum, penyiksaan para jenderal sebelum dimasukkan ke Lubang Buaya itu tidak benar dan hanya untuk mendramatisasi,” ungkapnya dilansir dari Suara.com (30/9/2020)

Fakta lainnya dari beberapa sumber, film Pengkhianatan G30S/PKI menuai kritik dari sejumlah sejarawan karena dianggap menyimpang dari fakta yang sebenarnya. Salah satunya dari Dr. Aswi Warman Adam yang menyampaikan jika film tersebut memiliki kelemahan historis. Hal tersebut terlihat pada peta Indonesia yang berada pada ruang Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Di mana wilayah Timor Timur telah menjadi bagian dari Indonesia. Padahal faktanya, Timor Timur di tahun 1965/1966 belum terintegrasi dengan NKRI.

Di samping itu juga, muncul protes dari Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal Udara Saleh Basarah. Saleh mewakili para perwira TNI Angkatan Udara merasa keberatan dan terus terpojokkan, dengan adanya film tersebut karena mengulang-ulang adanya keterlibatan perwira AURI saat peristiwa berdarah 30 September.

Dianggap sebagai Propaganda Orde Baru

Film berdurasi panjang 3 jam 37 menit yang akan diputar secara berulang seharian penuh sampai tanggal 1 Oktober itu kini tidak lagi diwajibkan untuk ditonton karena dianggap sebagai propaganda orde baru. Dilansir dari Tempo 2017, Amoroso Katamsi, pemeran Presiden Soeharto mengungkapkan bahwa film ini sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu. Jadi pada kenyataanya, film itu memang bermuatan politik dan beberapa adegan yang diceritakan sengaja dibuat berlebihan.

Bahkan menurut sejarawan, Hilmar Farid, orde baru berhasil menemukan cara yang efektif untuk menanamkan kebencian terhadap PKI melalui film ini dengan targetnya generasi muda

“Film tersebut berhasil melanggengkan kebencian terhadap PKI, ditunjukkan dengan penayangannya setiap tahun. Hal ini sama saja telah menyebarkan berita bohong mengenai kejahatan di Lubang Buaya. Sehingga dengan sendirinya akan memperkuat legitimasi kekuasaan bagi Soeharto,” jelasnya dikutip dari Tempo (30/9/2012)

Ketidaksesuaian dengan Reformasi 

Akhirnya pemutaran film itu tidak diwajibkan lagi usai empat bulan Soeharto lengser yaitu pada September 1998. Menteri Penerangan kala itu, Yunus Yosfiah menyatakan penayangan film bercorak pengkultusan tokoh seperti Pengkhianatan G30S/PKI tidak lagi relevan dengan arah reformasi. Sejak saat itu, Yunus mengatakan bahwa TVRI dan TV swasta tidak akan lagi memutarkan film Pengkhianatan G30S/PKI. 

Lebih lanjut, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melakukan kerja sama dengan Departemen Penerangan memberikan alternatif film lainnya yang terdiri dari tiga episode. Film itu disutradarai Tatiek Mulyati Sihombing berjudul “Bukan Sekedar Kenangan” yang bercerita mengenai trauma seorang kepala keluarga ketika mengingat peristiwa G30S/PKI. 

Pada dasarnya merupakan hal yang penting untuk memandang sejarah sebagai sesuatu yang baik. Karena dengan begitu, kita dapat membandingkan kejadian yang terjadi di masa lalu dan sekarang serta menjadikannya pelajaran, agar ke depannya peristiwa yang sama tidak terjadi kembali 

Penulis : Dhiya Alya

Editor : Fani Adhiti

Redaktur Pelaksana : Luthfi Maulana

Pemimpin Redaksi : Langgeng Irma 

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.