1917: Hal yang Lebih Berharga dari Kemenangan
“’There is only one way this war ends. Last man standing.”
1917 merupakan karya masterpiece terbaru Sam Mendes yang mulai tayang di Indonesia pada 22 Januari 2020. Dengan setting Perang Dunia I, film ini berfokus pada kisah dua serdadu berpangkat rendah yang mendapatkan perintah untuk mengantarkan pesan darurat. 1917 terinspirasi dari cerita perjuangan kakek Sam, Corporal Alfred H. Mendes, yang mendapatkan medali atas keberaniannya saat bertugas mengantar pesan sebagai kurir di front barat. Penulisan skenario film produksi Universal Pictures dan Dreamworks ini ditangani juga oleh Krysty Wilson-Cairns, yang dikenal berkat kesuksesan pada karyanya Showtime Penny Dreadful.
Berlatar April 1917, film ini bercerita tentang Kopral William Schofield (George MacKay) dan Kopral Tom Blake (Dean-Charles Chapman), dua prajurit muda dari Inggris yang berada pada garis terdepan saat Perang Dunia I melawan Jerman. Mereka dikirim oleh Jenderal Erinmore (Colin Firth) untuk melaksanakan tugas berbahaya menerobos garis kubu Jerman guna mengabarkan keadaan darurat pada pasukan Inggris di baris depan wilayah utara Prancis. Sebelumnya, Kolonel Mackenzie (Benedict Cumberbatch) yang mengomandoi batalion ke-2 Resimen Devonshire, berencana untuk mengejar pasukan Jerman yang mundur secara tiba-tiba. Namun berdasarkan laporan pengintaian udara, disadari bahwa mundurnya pasukan Jerman merupakan strategi untuk menjebak pasukan Inggris yang akan dikirim dalam penyerangan. Lantaran jaringan telegram telah diputus oleh Jerman, kedua prajurit itu menjadi harapan terakhir untuk mencegah pembantaian 1.600 tentara Inggris akibat serangan jebakan yang disiapkan pihak Jerman. Saudara kandung Blake, Joseph Blake (Richard Madden) yang merupakan letnan batalion ke-2 Resimen Devonshire juga akan dikirim dalam pengejaran pasukan Jerman. Bagi Blake, misi ini bukan hanya menyelamatkan pasukan Inggris, namun juga menentukan hidup mati sang kakak.
Dari segi teknis, sinematografi dihadirkan dengan metode yang cukup unik. Film yang berdurasi 119 menit ini menggunakan teknik pengambilan gambar one-shot, di mana penonton akan melihat adegan demi adegan dalam film ini terasa seperti diambil dengan satu kamera tanpa adanya perubahan sudut pandang kamera. Bila benar-benar diperhatikan, kita dapat menyadari bahwa implementasi pengambilan gambar one-shot tidak benar-benar dilakukan dalam satu kali take. Pada beberapa titik, pengambilan gambar one-shot berhenti dan kemudian disambung kembali dengan transisi yang sangat rapi dan tidak mudah disadari. Meskipun masalah yang diangkat dalam cerita cukup sederhana dan tokoh non-figuran yang dimunculkan terbilang sedikit, aspek-aspek lain dalam 1917 sukses menjauhkan penonton dari rasa bosan sepanjang jalannya film. Dengan penggunaan sudut pandang orang ketiga dalam memperlihatkan pergerakan-pergerakan tokoh, penonton akan merasa “ditarik” masuk dalam medan perang dengan segala ketegangan dan kengeriannya. Selain visual yang ciamik, peran besar komposer Thomas Newman pada tata penyuaraan serta seni musik juga patut diberi kredit lebih. Ketegangan yang dihadirkan bukannya membuat alur film tertebak, namun justru membuat kita ikut merasa berada pada situasi yang dihadapi oleh para tokoh. Meskipun tergolong film drama, kisah perjuangan dalam 1917 dikemas dengan manusiawi dan tidak terlalu mendramatisasi peperangan atau kematian. Ketika berada dalam peperangan, nyawa dapat melayang kapan pun. 1917 berhasil membuat penonton seolah-olah mengalami sendiri realita dalam medan perang yang penuh keputusasaan.
Menceritakan kejamnya Perang Dunia I, 1917 tidak sepenuhnya menampilkan sejarah perang yang akurat. Meskipun berlatar belakang Pertempuran Ypres III, cerita serta tokoh-tokoh dalam film ini hanya rekaan belaka. Pada beberapa titik, selamatnya nyawa tokoh utama dari berbagai situasi yang ia hadapi juga memberikan kesan kurang realistis dalam jalan ceritanya. Terlepas dari itu, 1917 menunjukkan bagaimana kuatnya tekad dan harapan dalam diri manusia di tengah kejamnya medan perang. Kisah ini bercerita bahwa tujuan akhir dari perang bukanlah untuk mengalahkan musuh, namun untuk kembali ke rumah dengan selamat. Siapapun dan dari kubu manapun, prajurit tetaplah manusia yang memiliki hal penting dalam hidupnya dan dipaksa untuk merampas hidup musuh demi melindungi hal itu.
Oleh: Kevin Surya