Hari Kartini: Jangan Lupakan Perempuan Pekerja Rumah Tangga dalam Lingkar Kekerasan dan Eksploitasi

Semarak hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April tak lepas dari pembicaraan terkait kesetaraan dan pemberdayaan perempuan, kebebasan perempuan dalam berekspresi, serta hak bagi perempuan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Sayangnya, hal-hal tersebut belum sepenuhnya dirasakan oleh perempuan yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Dalam kesehariannya, PRT belum terlepas dari belenggu kekerasan dan eksploitasi. Hal ini menunjukkan bahwa PRT memerlukan payung hukum yang memadai sebagai bentuk perlindungan untuk mereka. Setelah melalui berbagai jalan dan negosiasi yang alot, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) akhirnya naik menjadi usul inisiatif DPR pada Selasa (21/3).
Kabar ini menjadi angin segar di kalangan penggiat hak dan perlindungan pekerja rumah tangga. Ari Ujianto, salah satu perwakilan dari Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), menyatakan jika dirinya turut gembira dengan kemajuan RUU PPRT ini yang sekarang telah disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR setelah menunggu lama kurang lebih sepuluh tahun.
“Tentu saja kabar gembira, karena sudah terlalu lama didiamkan begitu saja oleh badan legislatif, walaupun tentu saja akan tetap perlu dikawal. Walaupun sudah proses dari sekarang udah inisiatif kan mungkin dikirim ke pemerintah,” ujar Ari pada Sabtu (15/4) saat diwawancarai oleh LPM Opini.
Di samping itu, Yuni Sri Rahayu selaku PRT sekaligus Anggota dari Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) dalam naungan JALA PRT mengemukakan bahwa dirinya sangat mengapresiasi kemajuan RUU PPRT ini sebagai hukum yang melindungi juga mengatur hak dan kewajibannya sebagai seorang pekerja.
“Pandangan saya terhadap adanya RUU PPRT, sangat apresiasi banget. Karena itu adalah suatu rancangan yang melindungi pekerja rumah tangga dan sebenarnya juga bermanfaat pada pemberi kerja, karena di situ diatur semua hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja salah satunya.” ungkap Yuni pada Senin (17/4).
Perempuan Pekerja Rumah Tangga dalam Lingkar Kekerasan dan Eksploitasi
Ari mengungkapkan bahwa perempuan cenderung mengambil situasi kerja yang berisiko. Hal ini didukung dari data yang menunjukkan bahwa sebanyak 84% pekerja rumah tangga di Indonesia adalah perempuan.
“Ya, karena gini ya sebagian besar dari PRT ini 84 persen itu kan perempuan. Dan perempuan ini mengambil situasi kerja yang istilahnya paling riskan. Yang paling berbahaya itu walaupun untuk laki laki yang biasanya PRT itu sopir, para pekerja taman atau istilahnya penjaga rumah seperti itu ya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ari menjelaskan bahwa kebanyakan persoalan perempuan yang dihadapi selama menjadi PRT ialah perihal kekerasan dan pengupahan.
“Karena 84 persen perempuan yaudah ya perempuan aja yang diorganisir. Itu persoalan kekerasan. Tadi sudah banyak sekali. Kalau soal upah misalnya di Jakarta dengan yang di luar Jakarta beda, yang di luar lebih buruk, contohnya Tangerang Selatan itu udah jomplang banget,” ucap Ari.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Yuni. Dirinya menceritakan terkait persoalan yang ia hadapi selama bekerja menjadi PRT, seperti gaji yang dikurangi, tidak mendapat gaji selama berbulan-bulan, hingga mendapatkan kekerasan verbal dan fisik.
“Saya sebenarnya banyak mengalami kekerasan dalam lingkup kerja, mungkin semua kekerasan saya alami, seperti kekerasan ekonomi gaji dipotong, terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena ketahuan berorganisasi, dituduh mencuri, di-PHK karena telat masuk kerja, diintimidasi saat pulang kerja dari atas sampai bawah, tidak boleh duduk di bangku saat jemput anak sekolah, di-PHK karena teman satu kerjaan berhenti dan dituduh membantu lari kawan dari tempat kerja, pelecehan seksual yang paling tidak enak,”
“Kekerasan ini saya pernah alami sebelum dan sesudah saya bergabung. Selain di-PHK karena dituduh membantu kawan lari dari tempat kerja, selebihnya belum pernah saya advokasi karena saat itu belum bergabung di organisasi.” tambah Yuni
Sayangnya, masyarakat masih menganggap hal tersebut lumrah dialami oleh PRT. Belum lagi ditambah dengan istilah ‘pembantu’ yang disematkan oleh masyarakat kepada PRT. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih menganggap PRT bukanlah pekerja sesungguhnya, melainkan hanya seseorang yang bertugas membantu.
“Dan masyarakat menganggap itu hal yang biasa, yang lumrah. Karena memang menganggap PRT ini bukan pekerjaan yang sesungguhnya, maka ada istilah nya kan pembantu, jadi cuman membantu, bukan sebagai pekerjaan, bukan dianggap sebagai pekerjaan yang sesungguhnya” jelas Ari.
Potret Kondisi Pekerja Rumah Tangga di Indonesia
Mengutip dari merdeka.com setidaknya ada 2.637 kasus kekerasan terhadap PRT selama tahun 2017 hingga akhir tahun 2022. Ketika ditanya perihal alasan cukup banyak terjadinya kekerasan ini Ari menjawab bahwa belum adanya payung hukum yang menaungi PRT itu sendiri menjadi alasan utamanya.
“Tidak ada kejelasan tentang kontrak kerja mereka. Kemudian soal aturan terkait perekrutan itu ngga jelas. Proses eksploitasinya dimulai dari perekrutan yang tidak jelasnya. Agen-agen penyalur gitu melakukan eksploitasi. Apakah mereka bertanggung jawab terhadap PRT yang disalurkan? Itu kan enggak ada kejelasan soal itu.” kata Ari
Lebih lanjut, tidak adanya payung hukum ini dirasa membuat kondisi PRT kurang sejahtera akibat perilaku majikan yang kurang memperhatikan situasi kerja PRT.
“Kita tidak bisa mengabaikan bahwa ada majikan yang baik, yang tau situasi kerja PRT. Tetapi itu sedikit sekali. Secara umum masih gitu ya, mereka tidak tercakup dalam penerima bantuan iuran jaminan kerja dan kesehatan karena mereka ga dianggap pekerja. Jadi situasi umumnya begitu. Eksploitasi jam kerja tentu saja apalagi yang live in semakin gak jelas jam kerjanya itu.” sambung Ari
Menuju Disahkan, RUU PPRT Tak Luput dari Beberapa Catatan
Mandeknya proses pengesahan RUU PPRT tak lepas dari kompromi politik yang terjadi. Menurut Ari, penolakan dari anggota legislatif menyoal draft ideal RUU PPRT kerap terjadi dan membuat beberapa hak PRT yang tertuang dalam pasal-pasal RUU PPRT terancam sirna.
“Iya itu juga didiskusikan. Makanya sebenarnya kita pengennya yang lebih ideal lagi dari ini. Tapi karena ada namanya juga kompromi politik, ada penolakan penolakan dari anggota legislatif. Kita memang nggak dapat hal ideal, tapi tidak terus semuanya ditolak karena beberapa hal PRT udah lumayan diuntungkan dari undang-undang ini dengan jaminan keamanan sosial, soal pendidikan, pelatihan, kontrak kerja, pengakuan. Nanti juga ada pengawasan dan sebagainya. Lumayan untuk meningkatkan kesejahteraan maupun melindungi mereka,” jelasnya.
Ari mengungkapkan bahwa hadirnya RUU PPRT ini dirasa sudah cukup untuk mewakili keinginan PRT untuk mendapatkan payung hukum sebagai landasan mereka bekerja, meskipun ia merasa bahwa RUU PPRT ini masih belum ideal sebab belum ada pembahasan mengenai upah minimum PRT.
“Ya sebenarnya ini sudah lumayan itu walaupun belum ideal. Karena dalam beberapa sudah mencakup hal hal yang penting ya bagi pekerja rumah tangga seperti jaminan sosial dan hal yang penting, kontrak kerja telah tertulis, pendidikan dan pelatihan, pengakuan mereka sebagai pekerja kemudian jam kerja standar dan sebagainya.” ucap Ari
Sementara itu Yuni mengatakan bahwa ia sudah merasa cukup dengan isi RUU PPRT. Menurutnya, jika ada kekurangan dalam RUU tersebut, proses revisi masih bisa dilakukan seiring berjalannya waktu.
“Saya rasa sudah cukup, yang penting Indonesia punya UU PPRT sebagai UU pekerja domestik di dalam negaranya sendiri, untuk masalah kedepan adanya revisi atau kekurangan dan perlu ditambahkan nantinya bisa seiring waktu berjalan, sambil kita melihat manfaat dari adanya UU PPRT, karena setiap UU pastinya ada kekurangan dan kelebihan.” tutur Yuni.
Ari pun berharap agar RUU PPRT bisa segera disahkan sehingga sosialisasi dan pengimplementasian RUU tersebut dapat segera dilaksanakan.
“Kita berharap bulan Mei selesai dan segera disahkan. Kemudian juga ada aturan-aturan pelaksanaannya juga nggak terlalu lama. Jadi setidaknya sebelum tahun politik 2024 sudah selesai sehingga nanti tinggal bagaimana sosialisasinya, pelaksanaan-pelaksanaannya, persiapan pelaksanaannya di masyarakat. Pengennya sih seperti itu ya prosesnya.” ungkap Ari
Kemudian, Yuni juga berharap dengan adanya RUU PPRT ini, kehidupan PRT akan lebih terjamin dan lebih dihargai sebagai sebuah profesi
“Harapan saya setelah RUU PPRT ini disahkan, pekerjaan sebagai PRT dan kehidupan PRT lebih terjamin, lebih dihargai profesi kita sebagai PRT tidak direndahkan dan kedua belah pihak yaitu PRT sebagai pekerja dan majikan sebagai pemberi kerja bisa menjalani hak dan kewajibannya sesuai dengan aturan-aturan yang diatur dalam UU dan sesuai kesepakatan kerja.” pungkas Yuni.
Penulis: Bintang Suci
Reporter: Bintang Suci
Editor: Almira Khairunnisa / Alivia Nuriyani
Pemimpin Redaksi: Almira Khairunnisa