Selamat Hari Masyarakat Adat Nasional: Pemerintah Tangani Konflik Agraria, Sebatas Formalitas Belaka?

Apa Itu Hari Masyarakat Adat Nasional?
Hari Masyarakat Adat Nasional diperingati setiap tanggal 13 Maret untuk menghormati dan menghargai jasa masyarakat adat yang telah berperan penting dalam menjaga adat istiadat yang ada di Indonesia. Eksistensi peringatan Hari Masyarakat Adat Nasional mengadaptasi dari adanya peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia, yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tiap tanggal 9 Agustus melalui Resolusi PBB 49/214.
Masyarakat adat atau yang dalam undang-undang disebut sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah sekelompok orang yang hidup secara turun-temurun dalam kesatuan ikatan asal-usul leluhur atau dari tempat tinggal di wilayah yang sama. Tak hanya itu, MHA melekat dengan identitas budayanya, taat pada hukum adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum.
Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”
Peringatan Hari Masyarakat Adat Nasional bukan hanya sekadar ungkapan rasa bangga terhadap keanekaragaman dan kelestarian adat di Indonesia. Lebih dari itu, peringatan Hari Masyarakat Adat Nasional merupakan momentum yang tepat untuk melirik realita yang dihadapi oleh masyarakat adat atas hak-hak yang mereka miliki.
Konflik Agraria Terus Alami Kenaikan
Realitanya, masyarakat adat hingga kini masih berkutat dengan permasalahan-permasalahan yang membenturkan mereka, baik dengan pemerintah maupun dengan pelaku industri, utamanya terkait konflik agraria.
Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) mencatat, pada tahun 2023 setidaknya terdapat 2.578.073 hektar wilayah adat yang dirampas disertai dengan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Di sisi lain, berdasarkan data yang dihimpun oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam tiga tahun terakhir terjadi tren peningkatan konflik agraria yang turut melibatkan masyarakat adat di Indonesia. Tercatat pada tahun 2022, konflik agraria mencapai 212 kasus, dilanjutkan pada tahun 2023 mencapai 241 kasus, dan puncaknya pada tahun 2024 yang mencapai angka 295 kasus.
Akar Permasalahan Konflik Agraria
Berdasarkan penuturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), permasalahan utama konflik agraria yang terjadi disebabkan oleh tidak adanya kepastian hukum dan pengakuan utuh atas hak MHA dan wilayahnya oleh negara. Hal tersebut kemudian mengeksklusi MHA dari tanahnya sendiri, melalui pemberian izin oleh negara, disertai dengan legitimasi aparat keamanan kepada sejumlah pihak. Permasalahan tersebut didukung oleh fakta bahwa seringkali masyarakat adat tidak memiliki dokumen resmi sebagai bentuk pengakuan atas kepemilikan tanah ulayat yang menjadi tempat tinggal mereka. Tanah ulayat adalah tanah yang dikuasai secara kolektif oleh masyarakat hukum adat berdasarkan tradisi dan norma yang berlaku dalam komunitas tersebut.
Permasalahan lain yang timbul bahwa selama ini masyarakat adat belum dilindungi secara optimal dalam melaksanakan hak pengelolaan yang bersifat individu maupun komunal, baik hak atas tanah, wilayah, budaya, dan sumber daya alam yang diperoleh melalui mekanisme lain yang sah menurut hukum adat setempat.
Kehadiran pemerintah dalam konflik agraria patut untuk disoroti. Pasalnya, seringkali pemerintah memberikan izin kepada korporasi untuk melakukan kegiatan industri di atas tanah adat, yang kemudian mendapatkan penolakan dari masyarakat adat setempat. Sebagai rakyat kecil, masyarakat adat sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk melindungi “wong cilik”. Contoh konflik agraria yang terjadi ialah konflik masyarakat adat Suku Samin, serta konflik masyarakat Desa Pundenrejo.
Konflik Agraria Suku Samin
Konflik bermula ketika PT. Semen Indonesia berencana membangun pabrik semen di kawasan Pegunungan Karst Kendeng, Jawa Tengah. Kawasan tersebut secara turun-temurun telah dimanfaatkan oleh Suku Samin sebagai sumber penghidupan mereka. Pegunungan Karst Kendeng merupakan pegunungan gamping yang menghasilkan bahan baku pembuatan semen, sehingga area ini menjadi incaran perusahaan semen di Indonesia. Di sisi lain, kawasan Pegunungan Karst Kendeng juga mengandung sumber mata air yang dimanfaatkan masyarakat Samin untuk mengairi sawah-sawah mereka.
Berdasarkan penuturan salah satu tokoh masyarakat Samin dalam film dokumenter bertajuk Samin vs Semen, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, berdasarkan adat yang berlaku masyarakat Samin hanya diperbolehkan untuk bertani. Sehingga, mereka membutuhkan tanah dan pengairan yang cukup untuk menopang kegiatan pertanian yang mereka lakukan. Kehadiran pabrik semen, dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian sumber mata air dan pertanian yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.
Akan tetapi, selayaknya manusia yang tamak, PT. Semen Indonesia seakan mengesampingkan kondisi tersebut. Mereka bersama pemerintah setempat tetap berupaya untuk membangun pabrik semen di kawasan itu. Situasi ini kemudian menimbulkan konflik antar kedua belah pihak.
Pada intinya, konflik agraria ini mempertemukan dua kepentingan yang berbeda, masyarakat Samin ingin mempertahankan kelestarian sumber mata air yang ada di kawasan tersebut, sementara PT. Semen Indonesia dan pemerintah setempat atas nama pembangunan ekonomi, hendak meningkatkan investasi melalui pembangunan pabrik semen baru.
Melihat tempat tinggalnya diobrak-abrik demi kepentingan korporasi, masyarakat Samin tidak diam begitu saja. Dengan segala intimidasi dan kriminalisasi yang diterima, masyarakat Samin mati-matian memperjuangkan tanahnya melalui perlawanan secara hukum, pergerakan masyarakat, hingga perlawanan melalui jejaring media sosial.
Kedatangan perusahaan semen di kawasan tersebut turut membuahkan pro kontra di tengah-tengah masyarakat Samin. Sebagian dari mereka menyatakan dukungannya (pro) pada perusahaan untuk membangun pabrik di kawasan tersebut. Dukungan itu didasarkan atas keuntungan ekonomi yang mereka dapatkan.
Konflik Agraria Masyarakat Desa Pundenrejo Belum Dapat Titik Terang
Konflik agraria ini mempertemukan petani lokal dengan perusahaan tebu yang sudah berlangsung sejak lama. Menurut penuturan Sarmin, Ketua Gerakan Masyarakat Pundenrejo (Germapun), jauh sebelum kedatangan Belanda di Indonesia petani Pundenrejo secara turun-temurun telah bertani di lahan yang saat ini tengah mereka perjuangkan. Kemudian pada tahun 1879, perusahaan gula milik Belanda, NV Pakkies Redjo Agung merampas lahan yang digarap para petani untuk ditanami tanaman tebu.
Konflik ini berlanjut /pada tahun 1965, setelah kepergian Belanda yang mengubah status lahan menjadi tanah negara bebas, petani Pundenrejo kembali menggarap lahan tersebut. Akan tetapi, akibat situasi politik saat itu, sekelompok perintis Rumpun Sari Diponegoro mengancam apabila para petani masih menggarap lahan, maka mereka akan dicap sebagai simpatisan salah satu partai politik terlarang saat itu. Para petani kemudian terpaksa harus menyerahkan lahan dan kehilangan akses akan hak-hak mereka.
Kemudian, pada tahun 1973 status lahan tersebut dikuasakan menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) sehingga lahan dapat diakuisisi dan sempat berpindah tangan dari satu perseroan ke perseroan lainnya. Akan tetapi, pada rentang tahun 1999 hingga 2020 perusahaan-perusahaan yang memperoleh izin HGB, menelantarkan lahan yang ada sehingga para petani kembali mengelola lahan pertanian tersebut.
Puncaknya, pada tahun 2020 PT. Laju Perdana Indah (LPI) yang saat itu memperoleh izin HGB, menanam tebu di lahan tersebut serta mengusir dan merusak lahan para petani. Hal tersebut mengakibatkan para petani kehilangan sumber penghidupan dan menuntut untuk mendapatkan hak pengelolaan tanah leluhur mereka kembali.
Berbagai upaya perlawanan telah dilakukan oleh petani Pundenrejo, mulai dari pengaduan ke Komnas HAM, dialog dengan pemerintah dan perusahaan, hingga aksi demonstrasi. Baru-baru ini, para petani menggelar aksi menginap di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pati dari 10-20 Februari 2025 sebagai bentuk perlawanan. Pada tanggal 12 Februari 2025, BPN Pati menyatakan akan mengembalikan berkas yang diajukan oleh PT. LPI terkait hak pengelolaan lahan. Germapun kemudian mengajukan surat permohonan penetapan lahan garapan menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) kepada BPN Pati yang hingga kini masih menunggu surat rekomendasi dari BPN.
Para petani Pundenrejo masih terus konsisten menyuarakan hak atas tanah leluhur yang menurut mereka telah dirampas dan belum mereka dapatkan kembali.
Penulis : Musyaffa Afif Nugraha, Rafi Amru, Muhammad Syauqi Al Sunni
Editor : Natalia Ginting
Pemimpin Redaksi : Kayla Fauziah Fajri
Desain : Aulia Laila Khalila
Daftar Pustaka
- AMAN. (2024). Catatan Akhir Tahun 2024 Aliansi Masyarak Adat at Nusantara “Transisi Kekuasaan & Masa Depan Masyarakat Adat.” Aman.or.id. https://aman.or.id/publication-documentation/292/
- Dalidjo, N. (2021). Mengenal Siapa Itu Masyarakat Adat. Aman.or.id. https://aman.or.id/news/read/1267
- Fernando, S. (2024). Konflik Agraria: Hak Masyarakat Adat dan Ancaman Kekerasan Negara. OMONG-OMONG. https://omong-omong.com/konflik-agraria-hak-masyarakat-adat-dan-ancaman-kekerasan-negara/
- Kanya Anindita Mutiarasari. (2024, March 13). Hari Masyarakat Adat Nasional Diperingati Tiap 13 Maret, Ini Sejarahnya. Detiknews; detikcom. https://news.detik.com/berita/d-7239013/hari-masyarakat-adat-nasional-diperingati-tiap-13-maret-ini-sejarahnya
- Kholistiono. (2025, February 20). Respon Sudewo soal Tuntutan Petani Pundenrejo. Beta News. https://betanews.id/2025/02/respon-sudewo-soal-tuntutan-petani-pundenrejo.html
- Nuuro, Zidan. (2025, Maret 6). Perjuangan Petani Pundenrejo Merebut Kembali Tanah Leluhur. DIDAKTIKA. https://lpmdidaktika.com/perjuangan-petani-pundenrejo-merebut-kembali-tanah-leluhur/
- Subekti, Tia. (2016). Konflik Samin vs PT. Semen Indonesia. Jurnal Transformative, 2 (2) : 180-202.