Jaring Aspirasi Mahasiswa Undip, BEM Undip Selenggarakan Forum Duduk Bareng Rektor
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegoro (Undip) mengadakan konsolidasi bersama rektor baru Undip bertempat di Auditorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Undip pada Rabu (15/05). Rektor baru Undip beserta jajarannya turut menghadiri acara tersebut untuk mendengarkan keluhan mahasiswa baik dari segi kualitas, kenyamanan, maupun keamanan fasilitas di Undip. Acara tersebut diawali dengan kata sambutan oleh Ketua BEM Undip, Farid Dermawan yang juga merupakan moderator Forum Duduk Bareng Rektor ini. Acara ini kemudian dilanjut dengan sambutan oleh Suharnomo selaku Rektor baru Undip. Ada banyak aspirasi yang disuarakan oleh mahasiswa dari berbagai fakultas berkaitan dengan kualitas fasilitas maupun sumber daya untuk menunjang keberjalanan kegiatan para mahasiswa di ranah akademik.
Sulitnya Peminjaman Fasilitas Ruangan dan Transportasi
Banyak mahasiswa yang mengeluhkan kondisi ruang kelas yang buruk dan tak layak serta peminjaman bus kampus yang dinilai cukup mahal. Farid selaku moderator forum Duduk Bareng Rektor mengatakan bahwa biaya untuk meminjam bus di luar kampus lebih murah dibandingkan dengan meminjam bus kampus.
“Ada fasilitas yang sifatnya seremonial yang memang bisa dinikmati oleh mahasiswa, tapi fasilitas dasar terkadang belum memenuhi standar. Sebenarnya hal yang dikhawatirkan adalah Undip mengejar peringkat internasional, tetapi kebutuhan mahasiswa yang mendasar malah terlupakan?” tanya Farid kepada rektor dalam Forum Duduk Bareng tersebut.
Atas permasalahan tersebut, Prof. Suharnomo pun menanggapi dengan menjelaskan bahwa nanti akan ada standarisasi fasilitas dan peminjaman fasilitas kampus akan dipermudah bagi mahasiswa.
“Nanti akan ada standarisasi fasilitas bagi mahasiswa dengan standar universitas, bukan standar fakultas. Kita akan melakukan pengembangan dari apa yang sudah dikerjakan oleh Prof Yos, make it better. Untuk peminjaman ruangan, dan lain-lain akan dipermudah dan pasti gratis, tanpa uang kebersihan. Yang penting, dapat ruangan gratis, waktu ruangannya selesai dipakai, dikembalikan juga secara bersih. Paling penting ialah kita komunikasi seperti ini (forum duduk bareng rektor),” jelas Suharnomo ketika memberi penjelasan dalam forum Duduk Bareng Rektor pada Rabu (15/05).
Kualitas Pembelajaran Kelas IUP yang Dinilai Tidak Sesuai dengan Apa yang Ditawarkan
Aspirasi selanjutnya disampaikan oleh seorang mahasiswa International Undergraduate Program (IUP) Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Affiq Malik. Malik dengan lugas berterus terang bahwa apa yang ia dapat selama menempuh pendidikan di kelas IUP Undip tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Program kelas IUP yang digadang-gadang mampu bersaing secara global dengan menerapkan metode pembelajaran berstandar internasional nampaknya belum sesuai hingga Malik merasa kesulitan.
“Mahasiswa IUP akan disiapkan untuk daya saing global, tapi saya rasa sebagai mahasiswa IUP itu metode pembelajarannya kurang pas dan akan sulit bagi kami untuk mencapai cita-cita,” terang Malik saat ia berkesempatan untuk menyuarakan aspirasinya.
Atas hal ini, Malik mengaku kecewa dengan sistem pembelajaran yang diterapkan pada kelas IUP dan menilai bahwa Undip belum siap untuk menjalankan kelas berstandar internasional tersebut.
“Jujur, Undip belum siap dengan kelas IUP karena Undip gagal menjalankannya,” ungkap Malik.
Pada kesempatan tersebut, Malik mengutarakan kekecewaannya lantaran tidak mendapat hal yang seharusnya ia dapatkan sebagai mahasiswa kelas IUP.
“Jika memang sistem pembelajaran IUP tidak berubah, saya bisa bilang ke orang-orang untuk tidak ambil IUP Undip. Saya menyesal karena tidak mendapat apa yang seharusnya saya dapatkan,” tegasnya.
Problematika Kampus PSDKU: Fasilitas, Pelayanan, hingga Pemberdayaan Mahasiswa
Tidak hanya problematika fasilitas umum dan fasilitas belajar di kampus Tembalang, seorang mahasiswa dari Sekolah Vokasi (SV) yang berlokasi di Pleburan juga mengeluhkan terkait ketimpangan pembangunan kampus Tembalang dan kampus Pleburan. Ramadhan mengatakan bahwa baru-baru ini ketika SV Tembalang mengalami pembangunan, hal tersebut justru menimbulkan kecemburuan bagi mahasiswa SV Pleburan lantaran ingin mendapat keistimewaan yang sama.
“Baru-baru ini saya dapat kabar baik dimana kampus Tembalang, (rumpun) saintek itu dapat keistimewaan laboratorium dan fasilitas yang memadai. Tapi itu justru menimbulkan kecemburuan sosial bagi mahasiswa SV Pleburan karena kami ingin mendapat fasilitas yang sama dengan mahasiswa SV Tembalang,” jelas Ramadhan dalam Forum Duduk Bareng Rektor pada Rabu (15/05).
Hal ini Ramadhan jabarkan bahwa secara kuantitas, jumlah mahasiswa bidang sosial dan humaniora (soshum) di Pleburan jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan mahasiswa rumpun sains, matematika, dan teknologi (saintek) yang ada di kampus Tembalang. Atas dasar hal tersebut, ia mempertanyakan apakah mahasiswa SV Pleburan hanya menjadi donatur kampus?
“Soshum itu sebenarnya jumlah mahasiswanya jauh lebih banyak daripada mahasiswa saintek. Ada lebih dari 450 orang anak soshum yang tidak mendapat fasilitas yang layak. Apakah mereka hanya jadi donatur kampus?” tanyanya kepada Prof. Suharnomo selaku pemilik kuasa tertinggi.
Tidak hanya kampus Pleburan, nasib sama dialami oleh kampus PSDKU Rembang. Aspirasi ini disuarakan oleh Ketua BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Razan Siregar. Ia menyampaikan bahwa terdapat kesenjangan antara kenyataan dan harapan dibentuknya kampus PSDKU adalah untuk mencapai pemerataan pendidikan dan upaya memberdayakan sumber daya manusia sekitar. Namun, realitanya bukan mahasiswa daerah sekitar yang mengisi bangku perkuliahan, melainkan mahasiswa domisili kota lain.
“Bahwasannya PSDKU itu untuk pemerataan pendidikan di daerah-daerah PSDKU dengan harapan daerah tersebut dapat diberdayakan. Faktanya, PSDKU Rembang dipenuhi mahasiswa Jabodetabek, padahal ‘kan tujuan utamanya untuk mahasiswa daerah tersebut,” ungkap Razan.
Razan juga menyinggung perihal biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa PSDKU yang sama nominalnya dengan mahasiswa kampus utama. Ia berpendapat bahwa terdapat perhitungan yang tidak logis mengingat fasilitas yang didapat mahasiswa kampus PSDKU tidak selayaknya yang didapat oleh mahasiswa kampus utama.
“Ada perhitungan yang nggak logis, karena jumlah UKT (mahasiswa) Rembang dan (mahasiswa) Tembalang sama. Padahal kelayakan (fasilitas) jelas-jelas beda,” tegas Razan.
Tidak berhenti sampai di situ, Razan juga menyoroti jumlah dosen yang disediakan oleh pihak kampus PSDKU belum memenuhi jumlah ideal.
“Untuk dapat mendirikan PSDKU minimal ada 6 dosen homebase, akan tetapi yang terjadi di sana dosen homebase hanya ada 1. Kemudian, idealnya dosen harus 1:45 untuk rumpun humaniora dan 1:30 untuk rumpun eksakta, tetapi yang terjadi di sana 1:75. Angkanya masih terlalu jauh,” paparnya.
Keberadaan Pers Mahasiswa Undip Belum Dijamin Perlindungannya
Aspirasi mahasiswa selanjutnya mengarah kepada keberadaan pers di Undip yang belum mendapat jaminan perlindungan. Jika ditilik dari segi kuantitasnya, Undip merupakan kampus dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) terbanyak di Semarang. Namun sangat disayangkan, Pers Mahasiswa di Undip belum mendapat perlindungan dari Dewan Pers, sebab hanya institusi pers berbadan hukum sajalah yang dinaungi oleh Dewan Pers. Berbagai Pers Mahasiswa yang ada di Undip memang berada di bawah naungan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), tetapi tetapi tidak demikian dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang dibentuk.
Salah satu perwakilan LPM Hayam Wuruk Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Farhan turut mengungkapkan harapannya dalam forum ini agar pihak kampus bekerja sama dengan Dewan Pers dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Dikti). Dengan begitu, mahasiswa akan mendapatkan perlindungan kebebasan berbicara dan berekspresi, mengingat masih tingginya pembungkaman terhadap Pers Mahasiswa setiap tahunnya.
“Hal yang ingin saya sorot adalah saya berharap pihak kampus mengetahui kerja sama antara Dewan Pers dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi menyerahkan segala sengketa pers di lingkungan mahasiswa. Mengapa kepada DP? Mengapa perlu kesepakatan antara DP dan Dirjen Dikti? Karena UU Pers tidak melindungi, yang dapat dilindungi itu institusi pers yang berbadan hukum, sedangkan LPM itu di bawah universitas. Padahal setiap tahunnya pembungkaman terhadap LPM itu terus terjadi dan meningkat,” jelas Farhan dalam forum Duduk Bareng Rektor (15/05).
Kualitas Dosen: Ada yang Mendiskriminasi dan Hanya Menyuruh Presentasi
Masalah terakhir yang menjadi sorotan adalah terkait kualitas dosen dalam mengajar. Salah satu mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Undip, Tohari mengaku bahwa di fakultasnya terdapat beberapa dosen yang melakukan tindak pelanggaran, seperti mendiskriminasi mahasiswa yang bercadar, mengatakan hal yang tidak sopan, dan ketidakdisiplinan dosen yang juga berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran mahasiswa.
“Banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh dosen yang kebanyakan senior, entah itu mengenai agama, seperti mahasiswa yang bercadar mendapat diskriminasi. Kemudian tentang kedisiplinan dosen yang berefek kepada kualitas pembelajaran. Apakah tidak ada standarisasi perekrutan dosen?” ungkap Tohari dalam forum Duduk Bareng Rektor (15/05).
Masalah terkait kualitas dosen dalam mengajar dan bersikap kepada mahasiswa tidak hanya dirasakan oleh satu mahasiswa dari satu fakultas tertentu. Pasalnya, terdapat pula mahasiswa yang mengeluhkan kinerja dosen yang hanya meminta mahasiswanya untuk mengolah materi sendiri dengan presentasi tanpa memberikan feedback maupun materi tambahan materi.
“Ada dosen yang hanya memberi tugas mahasiswa untuk presentasi, tapi dari dosen tidak memberikan feedback ataupun materi. Jadi, sepenuhnya diserahkan kepada mahasiswa, padahal kita sebagai mahasiswa juga memerlukan feedback itu,” pungkas Dito, perwakilan mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Undip dalam forum Duduk Bareng Rektor (15/05).
Selain masalah-masalah di atas, sebenarnya masih banyak permasalahan lain di lingkup Undip yang belum tuntas, seperti permasalahan yang berkaitan dengan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), nihilnya fasilitas ibadah multi agama, belum jelasnya tujuan dibentuknya Art Center, kesenjangan fasilitas antar fakultas, dan lain-lain.
Reporter: Aulia Retno, Natalia Ginting, Shoffatul Jannah
Penulis: Aulia Retno, Natalia Ginting, Shoffatul Jannah
Editor: Alivia Nuriyani
Pimpinan Redaksi: Natalia Ginting
Desain: Nabila Mar’atunisa