Menilik Wacana Impor Beras dan Suara Hati Petani Lokal

LPM OPINI – Wacana pemerintah mengenai impor sejumlah 1 ton beras sempat ramai diberitakan beberapa waktu lalu hingga sempat menuai protes dari kalangan petani lokal. Presiden Joko Widodo langsung mengklarifikasi bahwa tak ada impor beras sampai Juni 2021.

Dosen Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Budi Adi Kristanto menjelaskan bahwa impor beras di saat panen raya bisa melukai perasaan petani padi dan jajaran yang terkait. Bila alasannya kualitas beras kurang baik, seharusnya pemerintah membantu petani dalam proses pengeringan dan penggilingan sesuai dengan standar Badan Urusan Logistik (Bulog).

“Kalau tujuan impor untuk jaga-jaga stok beras, ya diberdayakan Bulog untuk menyerap atau membeli hasil panen petani,” ujar Budi ketika dihubungi tim LPM OPINI Rabu (14/4).

Ia menambahkan, tidak semua daerah dapat menghasilkan beras. Oleh karena itu, faktor distribusi sangat penting untuk menjembatani antardaerah penghasil beras atau surplus dengan daerah yang kekurangan beras. Menyadur pernyataan Presiden Jokowi, persediaan beras masih aman hingga lebaran.

Budi mengungkapkan bahwa kesejahteraan petani diukur bukan hanya berdasarkan hasil panen padi semata, melainkan banyak faktor yang memengaruhi. Namun untuk usaha tani, pemerintah mematok harga Rp4.200,00/kg untuk gabah ukuran standar. Apabila harga gabah di pasaran lebih tinggi dari harga  pembelian pemerintah (HPP), otomatis akan menguntungkan. Sebaliknya, apabila harga lebih rendah dari HPP, pasti petani mengalami kerugian.

Menyikapi soal wacana impor beras, Budi menyatakan, pemerintah tidak akan impor beras sampai Juni, tetapi setelah bulan itu sangat bergantung posisi stok beras nasional. Di beberapa daerah, padi gadu akan mengalami masa panen pada bulan Juli-Agustus-September. Padi gadu merupakan padi yang dipanen pada musim kemarau. 

Kita perlu berdoa semoga musim bersahabat dengan kita supaya hasil panen padi MT II (Musim Tanam II) baik, sehingga akan memperpanjang keamanan stok beras nasional kita dan wacana impor beras dapat ditunda lagi,” pungkas Budi.

Pendapat lain datang dari salah seorang petani asal Tegal, Nurhakim. Menurutnya pendapatan petani dari hasil panen saat ini menurun dibanding sepuluh tahun yang lalu. Ada banyak faktor yang memengaruhi, di antaranya tenaga kerja semakin mahal, pupuk yang langka, irigasi yang buruk, dan adanya wacana impor beras.

“Wacana impor dari pemerintah membuat harga gabah langsung anjlok,” ujarnya.

Menanggapi wacana impor, Nurhakim berpendapat hal itu merupakan hak pemerintah. Namun, wacana tersebut harus dibarengi dengan data yang akurat. Menurutnya, Bulog, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian seharusnya memiliki satu suara dan satu kesepakatan.

Menilik kondisi pertanian saat ini, nasib petani lokal semakin terpuruk. Menurut Nurhakim, antara biaya produksi dan hasil penjualannya hanya memiliki selisih sekitar 20 persen. Nurhakim berharap, pemerintah melepas regulasi terkait persediaan pupuk agar tidak perlu lagi menggunakan kuota dan kartu tani. Di samping itu, saluran irigasi juga membutuhkan perbaikan guna bisa mengairi padi di musim kemarau.

“Kalaupun pupuk dikasih kuota, ya jangan seperti sekarang. Kalau bisa kembali ke zamannya Pak Harto, pertaniannya maju, irigasi lancar, dan semuanya serba gampang. Antara penjualan dan produksi juga memiliki gap yang baik,” pungkasnya.

 

Penulis : Wahyu Hidayat

Editor : Annisa Qonita

Redaktur Pelaksana : Luthfi Maulana

Pemimpin Redaksi : Langgeng Irma

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.