Menunggu Kesadaran Masyakat, di Bawah Bahaya Kantong Plastik
Plastik seakan menjadi pekerjaan rumah besar yang menghantui kota-kota metropolitan tak terkecuali Semarang , kota yang dihuni lebih dari 1,79 juta jiwa ini menghasilkan sampah plastik 1200 ton per-harinya. Melihat hal tersebut Pemerintah Kota Semarang tak tinggal diam, terbitnya “Peraturan Walikota Semarang” Nomor 27 tahun 2019 tentang pelarangan penggunaan sedotan dan kantong plastik. Diharapkan menjadi jawaban terhadap polemik penggunaan plastik yang kian tidak terbendung di Semarang khususnya dalam dunia perdagangan yang erat kaitanya dengan penggunaan plastik. Adanya peraturan tersebut membuat beberapa pelaku usaha mulai melakukan langkah untuk tidak menggunakan plastik, sebut saja minimarket yang menjamur di Semarang kini sudah tak menyediakan lagi kantong plastik. Kebanyakan dari mereka beralih menjual kantong-kantong belanjaan yang terbuat dari kain yang bisa dipakai berulang-ulang yang lebih ramah lingkungan ketimbang penggunaan plastik sekali pakai yang selama ini menjadi kebiasaan sehari-hari masyarakat Semarang.
Namun hal tersebut belum terlalu berpengaruh melihat deretan pedagang warung makan hingga kaki lima masih tak tahu menahu tentang aturan ini,
“Sehari kami bisa hasilkan sampah makanan, bekas kemasan plastik dan sampah dapur sekitar 5 kilogram lebih, untuk sampah sedotan plastik sekitar 100 lebih dan dari kami semua dijadikan satu dalam plastik besar untuk kemudian dibuang,” ujar salah seorang pengelola burjo.
Seorang pengelola warung makan di tempat yang berbeda juga mengatakan. “ Sehari kami bisa mengumpulkan sisa makanan, limbah kulit sayur, plastik dan bekas kemasan lebih 15 kilogram semua dijadikan satu dalam satu wadah besar lalu baru diganti ke plastik untuk dibuang” ujarnya. Dia juga menambahkan sebenarnya sudah ada pemilahan namun hanya sebatas botol bekas dan karung bekas yang kemudian dijual. Ini adalah dua contoh kecil yang menjadi budaya, apalagi dengan kurangnya edukasi menjadikan manusia akan terus melakukan aktivitas seperti ini, padahal kegiatan seperti inilah yang akan memperkeruh terjadinya krisis iklim di Semarang serta mengindikasi buruknya kualitas waste management yang masih belum dipahami oleh kebanyakan warga di Semarang.
Pemandangan yang sama dapat diamati di TPA Jatibarang, Semarang. Produksi sampah yang kian membludak serta buruknya perawatan membuat keadaan di sana seakan kewalahan, apalagi adanya urbanisasi dan padatnya jumlah penduduk disebut-sebut sebagai faktor utama membengkaknya produksi sampah plastik dari waktu ke waktu. Di TPA Jatibarang jutaan sampah yang sukar diolah berakhir dengan ditimbun begitu saja, praktek ini sudah berlangsung 12 tahun lamanya. Padahal emisi dari timbunan sampah ini jauh berbahaya. Sampah yang membusuk dan tidak dikelola setidaknya akan menimbulkan emisi metana (CH4), TPA menyumbang sekitar 4% terhadap emisi gas rumah kaca dan berpotensi besar untuk menyebabkan pemanasan global bahkan mempercepat pemanasan 21 kali lebih cepat ketimbang karbondioksida. Dilansir dari Greenpeace Indonesia : “The Hidden Costs Of A Plastic Planet”, Seluruh siklus hidup plastik bisa menghasilkan gas rumah kaca yang begitu besar yang dapat mengancam target masyarakat dunia untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius. Plastik sekali pakai memberikan dampak buruk bagi lingkungan mulai dari proses ekstraksi minyak bumi sebagai bahan bakunya hingga keberadaanya di lingkungan sekitar sebagai sampah. Sehingga tak heran apabila terjadinya kenaikan suhu yang signifikan mulai terjadi di Semarang seperti pada akhir November tahun lalu, berdasarkan pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) panas di Kota Semarang mencapai 39,4 derajat dan mencatatkan rekor sebagai capaian paling tinggi selama kurun waktu 47 tahun. Hal ini merupakan fenomena yang tanpa kita sadari datang dari gaya hidup dan perilaku kita yang merugikan lingkungan.
Perlu kita ketahui bahwa terjadinya krisis iklim di Semarang tak serta merta hanya berpengaruh pada lingkungan saja, namun realitanya akan berakibat di lingkup sosial. Adanya krisis iklim akan menyebabkan mereka yang berpenghasilan rendah atau hidup di lingkar ekonomi tingkat bawah, berada dalam bayang-bayang kerentanan, apabila krisis iklim terjadi mereka adalah pihak pertama yang paling dirugikan. Di mana sektor penghasilan akan terganggu didukung dengan rendahnya kemampuan mereka untuk mengantisipasi diri dari dampak krisis lingkungan. Setidaknya hal ini lah yang membuat daerah sepanjang Pantai Utara Jawa mulai merasakannya. Di daerah Mangunharjo, tepatnya Mangkang, Semarang, perkampungan nelayan itu agaknya sudah mendapat peringatan dini datangnya krisis iklim berupa naiknya lautan, penurunan permukaan tanah, yang disebabkan oleh pembabatan mangrove hingga pengambilan air tanah dalam skala besar, membuat daratan kian amblas tergerus oleh air. Alhasil tambak di daerah tersebut ludes dimakan abrasi dan membuat sektor perekonomian mereka kian tak karuan ditambah lagi rusaknya ekosistem dan tempat tinggal mereka. Hal ini membuat mata pencaharian mereka menjadi tidak menentu, sehingga membuat nasib mereka kian terjerembab dalam jerat kemiskinan yang membuat peluang dari kerentanan terhadap dampak krisis iklim kian nyata.
Setidaknya kesadaran akan bahaya sampah plastik harus mulai digalakkan oleh warga Semarang, apalagi prediksi yang menyatakan bahwa di tahun 2045 daerah Pantura akan menjadi wilayah zona merah akibat potensi sampah yang kian meroket apabila tidak diminimalisir mulai dari sekarang. Hal ini akan merujuk pada potensi bencana yang akan datang, karena sesungguhnya apa yang akan terjadi di Semarang beberapa tahun kedepan akan sangat berpengaruh pada daerah luar yang ada di dekatnya, dan sebaliknya apa yang terjadi di luar pasti akan masuk dan mempengaruhi keadaan di Semarang juga, sehingga mereka mempunyai peran yang saling berkaitan antara satu daerah dengan daerah yang lain.