Peringatan Tahunan Supersemar : Kontroversi Sejarah yang Terus Bergulir
Tepat hari ini, 55 tahun yang lalu, sebuah surat perintah ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan diberikan kepada Letnan Jenderal Suharto. Surat yang berisikan kuasa pengambilan segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu, justru berakhir menjadi “surat sakti” yang menggeser Sukarno dari posisi presiden. Surat yang dilahirkan di tengah situasi huru-hara usai Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang menyeret nama Partai Komunis Indonesia (PKI) ini, menyimpan misteri dan kontroversi yang menarik untuk diulik kembali. Surat ini disebut dengan Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar.
Dapat dikatakan bahwa keluarnya Supersemar merupakan kesalahan fatal yang dilakukan oleh Sukarno pada saat itu. Sebab tak dapat dimungkiri, kemunculan surat ini bak gayung bersambut yang melegitimasi Suharto untuk mengambil alih kendali negara dari tangan Sukarno. Selain itu, Supersemar juga dianggap sebagai percikan api yang menyulut kobaran kuasa Orde Baru di tahta Suharto hingga lebih dari tiga dekade lamanya. Sekilas tampak seperti sudah disusun sedemikian rupa.
Tidak sampai disitu, berbagai kesaksian berkaitan Supersemar mengungkap bahwa proses penyusunan surat perintah ini bukanlah murni keinginan Sukarno. Letnan Satu Sukardjo Wilardjito menyatakan bahwa pada saat peristiwa, Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu, sementara Brigjen M. Panggabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol ke arah Presiden Sukarno seraya memaksa agar beliau meneken surat tersebut. Menurut Lettu Sukardjo, itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya.
A.M Hanafi dalam buku A.M Hanafi Menggugat Kudeta Suharto, membantah kesaksian Lettu Sukardjo terkait kehadiran Jendral Panggabean. Hanafi juga mengatakan bahwa tidak ada penodongan pistol terhadap Sukarno, hanya saja kala itu istana sudah dikelilingi oleh tank dan demonstran, sehingga membuat Sukarno menandatangani surat yang ternyata merupakan cikal bakal lahirnya Supersemar.
Kontroversi dari Supersemar masih berlanjut. Surat perintah ini menyimpan misteri yang patut diketahui, yakni terdapat empat versi Supersemar yang disimpan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Keempat versi tersebut berasal dari tiga instansi yang berbeda. Versi pertama dari Akademi Kebangsaan, versi kedua dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, dan dua versi selanjutnya dari Sekretariat Negara (Setneg). Versi Supersemar dari Puspen TNI AD-lah yang menjadi pegangan selama pemerintahan Orde Baru.
Meskipun demikian, faktanya keempat versi tersebut bukanlah naskah Supersemar yang asli. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh mantan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia, M. Asichin, ketika menjadi narasumber dalam acara Workshop Pengujian Autentikasi Arsip di Jakarta pada 21 Mei 2013 silam. Hal ini memunculkan spekulasi baru bahwasanya Supersemar yang menjadi pegangan selama Orde Baru bukanlah suksesi kekuasaan yang dilimpahkan Sukarno kepada Suharto seperti yang diyakini masyarakat sebelumnya.
Lalu yang menjadi pertanyaan, di manakah naskah Supersemar yang asli? Tidak ada yang tahu di mana gerangan surat itu. ANRI telah melakukan penyelidikan terhadap keberadaan naskah asli Supersemar secara berulang. Berkali-kali pula ANRI gagal mendapatkan keterangan dari saksi terakhir, yakni Jendral (Purn) M. Jusuf -bahkan hingga beliau tutup usia pada 2004. Saksi lain yang memegang kunci utama atas Supersemar adalah Sukarno, yang mana sang saksi ahli ini juga telah berpulang, selang beberapa tahun setelah terjadinya peristiwa tersebut.
Hingga saat ini, tabir misteri terkait kebenaran isi Supersemar tidak berhasil tersingkap dan menyisakan berbagai pertanyaan yang kian bergumul hingga kiwari.
Penulis : Dikka Prasetyo
Editor : Annisa Qonita
Redaktur Pelaksana : Luthfi Maulana
Pemimpin Redaksi : Langgeng Irma