Reformasi Usia Pensiun Prancis: Buruh Jadi Pemikul Beban Defisit Anggaran

LPM OPINI—Pada tanggal 10 Januari 2023, Presiden dan Perdana Menteri Prancis, Emmanuel Maucron dan Elisabeth Borne mengungkapkan rencana untuk mereformasi usia pensiun masyarakat Prancis dari 62 tahun menjadi 64 tahun. Pemerintah Prancis berpendapat dengan menunda usia pensiun selama 2 tahun, defisit anggaran negara dapat berkurang. Menurut penghitungan Kementerian Tenaga Kerja Prancis, kontribusi pensiunan tahunan dapat meningkat sebesar kurang lebih 17 miliar Euro.

Namun, agenda ini mendapat penolakan dari sebagian masyarakat Prancis. Masyarakat yang didominasi oleh serikat pekerja tersebut merasa keberatan jika harus bekerja lebih lama, karena kemampuan fisik dan mental yang menurun seiring dengan bertambahnya usia. Selain itu, mereka menolak jika upaya untuk mengurangi pengeluaran negara hanya dibebankan kepada serikat pekerja. Mereka berharap, pemerintah juga menargetkan para pemilik usaha atau masyarakat ekonomi kelas atas dengan menaikkan pajak-pajak usaha.

Sebelumnya, reformasi usia pensiun merupakan RUU rutin yang terjadi di Prancis. Pada tahun 2010, Nicolas Sarkozy pernah membuat rencana perombakan usia pensiun dari 60 tahun menjadi 62 tahun yang juga memperoleh protes dari serikat pekerja Prancis. Namun, pada akhirnya RUU tersebut tetap disahkan. Hal ini kemudian menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah Prancis tetap mengesahkan RUU konservatif di masa lalu dan kembali mengulang agenda tersebut lagi pada tahun 2023?

Palupi Anggraheni, S.IP, M.A. seorang dosen Hubungan Internasional Universitas Diponegoro, menyatakan pendapatnya mengenai hal ini. “Kenapa masyarakat gak mau tapi, dilanjutin? Salah satu data yang saya dapatkan di sini (adalah) karena negara pengen mengurangi defisit negaranya.” 

Melalui data tersebut, Palupi menyimpulkan meskipun reformasi usia pensiun ditolak oleh masyarakat, RUU ini harus tetap berjalan.

“Mungkin ada cara lain (untuk mengurangi defisit anggaran), tapi reformasi usia pensiun dipikir sebagai langkah yang paling mudah bagi Prancis daripada memotong anggaran pertahanan atau (memotong) expense gaji PNS atau mengurangi pengeluaran iuran di dana Uni Eropa,” jelasnya pada LPM OPINI (2/5/2023)

 

Kondisi Prancis

Protes masyarakat terhadap agenda reformasi usia pensiun tercetus melalui unjuk rasa serikat-serikat pekerja di jalanan-jalanan Prancis. Melansir dari antaranews, Konfederasi Buruh Umum menyatakan bahwa jumlah demonstran pada aksi 7 Maret 2023 mencapai angka 3,5 juta orang, dengan 700.000 orang yang berdemo di ibukota negara, Paris–mengalahkan jumlah polisi yang bertugas, yakni 81.000 personel.

Selain seruan penolakan, serikat pekerja juga melakukan mogok kerja secara massal sebagai simbol melawan kebijakan pemerintah. Aksi mogok kerja yang diikuti oleh berbagai macam bidang pekerjaan berlangsung di kota-kota Prancis. 

Dalam aksi demo tersebut, petugas kebersihan juga menjadi salah satu peserta yang disorot. Pasalnya, karena mereka meninggalkan pekerjaannya, pemandangan berupa gunung sampah pun muncul di jalanan-jalanan Prancis. Bahkan, sampai pada tanggal 17 Maret 2023, jumlah sampah yang tersebar di jalanan Prancis diperkirakan mencapai 10.000 ton. Jumlah besar ini juga dihasilkan oleh massa yang hadir pada aksi protes. 

Masih melansir dari antaranews, angka yang mengkhawatirkan ini membuat Kepolisian Paris meminta petugas kebersihan untuk memindahkan sebagian sampah serta melakukan kembali layanan pengambilan sampah dan akan memberlakukan denda sebesar 10.000 Euro ditambah enam bulan hukuman penjara bagi para petugas kebersihan.

 

Relevansi Reformasi Usia Pensiun dalam Mengurangi Beberapa Masalah Negara

Reformasi usia pensiun pada negara dengan demografi piramida terbalik dirasa kurang relevan akibat masyarakat usia tidak produktif yang diharuskan untuk mengangkat beban dari pengeluaran negara.

Palupi juga mengaitkan protes masyarakat Prancis dengan dampak fenomena ageisme atau pelabelan sebuah prasangka bagi beberapa kelompok umur. 

“Populasi masyarakatnya (Prancis) lebih banyak yang lansia dan mereka juga membutuhkan pendanaan, akhirnya mau tidak mau dilimpahkan ke masyarakat yang secara usia sebenarnya tidak produktif,” ujar Palupi.

Kejadian ini juga diperburuk dengan pemerintah yang  menyasar masyarakat sipil atau kelas pekerja. Pemerintah tidak bisa dengan mudah menaikkan pajak pengusaha atau perusahaan besar dengan alasan kekuasaan yang dimiliki, sehingga serikat pekerja atau mereka yang tidak mempunyai kekuasaan menjadi target yang lebih mudah.

Terakhir, Palupi juga membicarakan tentang social welfare system, yakni sistem ekonomi suatu negara dimana pemerintah menyediakan pelayanan demi menunjang kesejahteraan masyarakatnya. Meski telah memiliki layanan di berbagai bidang seperti kesehatan dan persalinan, Prancis diharapkan segera meningkatkan kualitas social welfare system.

“Peningkatan usia pensiun, jika tidak diimbangi dengan social welfare system yang bagus, tidak memengaruhi  apa-apa, justru memberatkan warga yang secara fisik tidak produktif. Instead of peningkatan usia pensiun, seharusnya mereka (pemerintah Prancis) memikirkan social welfare system yang baik,” tutup Palupi.

 

Referensi

https://www.antaranews.com/berita/3447255/sampah-menumpuk-di-paris-akibat-aksi-mogok-tolak-reformasi-pensiun

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-65078942

https://www.antaranews.com/berita/3487944/dewan-konstitusi-prancis-akan-putuskan-soal-reformasi-pensiun-hari-ini

https://www.antaranews.com/berita/3446286/rusuh-soal-usia-pensiun-di-prancis-macron-hadapi-tantangan-terberat

 

Narasumber: Palupi Anggraheni, S.IP, M.A.
Penulis: Agatha Nuansa
Editor: Dinda Khansa
Desain: Citra Adi L.

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.