Tak Ada Lagi Daun Tebu di Atap Keputihan
Ketika krisis iklim mengakibatkan lunturnya adat, sementara perekonomian melarat, warga hanya bisa mengandalkan tuah dari deras kucuran keringat.
Seorang perempuan paruh baya berkain selendang sedang merajut benang untuk net voli di selasar rumahnya dengan latar dinding geribik. Matahari Cirebon tengah terik-teriknya, halaman rumah yang teduh oleh pepohonan jadi jaminan sinar kuning tidak menyengat rambut putihnya. Perempuan paruh baya itu bernama Wastuti, dirinya terlihat kokoh di usia 84 tahun. Meski pendengarannya sudah tidak setajam dulu, tetapi ingatan akan kampung tempat tinggalnya yang kini telah banyak berubah masih terlafal fasih.
Wastuti dan warga di kampung itu percaya, jika rumah mereka diganti dengan tembok bata, maka pemilik rumah akan dikutuk oleh leluhur dengan malapetaka yang menimpa. “Engko disewoti buyut,” “Nanti dimarahi leluhur,” kata Wastuti.
Malapetaka itu pernah menjumpai Sartino, ayah dari Edi (33) di awal dekade 2000-an. Mulanya Sartino berniat merapikan sumur dengan membangun tembok di belakang pekarangannya. Setelah niatnya terlaksana, Edi berkali-kali jatuh dekat sumur dan akhirnya jatuh sakit. “Bapak saya, sih niatnya mau benerin saja ini, tuh, tapi ya tetap kejadian juga,” kenang Edi.
Edi (33) sedang bekerja menganyam rotan di kediamannya yang telah berganti tembok menggunakan tembok GRC. (Foto: Luthfi Maulana)
Keluarga Sartino hanya salah satu warga dari banyak kejadian yang dianggap masyarakat mengundang amarah leluhur, pada tahun 2008, dua orang pendatang membangun rumah dengan tembok bata di kampung yang baru dialiri listrik pada tahun 2005 itu, orang pertama stroke dua minggu setelah mendiami rumah bertembok bata, orang kedua meninggal dua bulan pasca membangun rumah itu.
Krisis Iklim Terjadi, Warga Menyiasati
Kampung itu bernama Kampung Adat Keputihan. Terletak di Kecamatan Weru, yang secara geografis diapit dua distrik dengan pembangunan paling lumayan di Kabupaten Cirebon; Plered dan Sumber, meski begitu, kampung Keputihan tetap berusaha menjaga tradisi leluhur, meski peluh tak diganjar seberapa sebab krisis iklim.
Dua dasawarsa lalu, siapa pun yang menjajak tapaknya di Kampung Adat Keputihan bak menyelami dimensi mesin waktu berabad silam. Indra manusia dipoles halus angin sepoi dari rindangnya pohon-pohon besar, kebun tebu, dan tanaman bambu bertetangga 13 rumah geribik beratap daun tebu nan teduh. Sementara di selasar gubuk, sang empunya rumah sedang menganyam bambu atau merajut benang, tiada listrik, apalagi layangan yang tersangkut di kabel-kabel menjulang.
Pemandangan seperti itu menakjubkan sekaligus mengejutkan dalam satu bingkai kedip. Sebab barang menengok ke belakang sebentar, panorama berubah menjadi mesin-mesin diesel menghiasi jalan desa di pinggiran sawah.
Hari ini suasana dongeng yang nyata itu berubah jadi pilu yang membuat warga berpeluh, pohon besar tidak tersisa, kebun tebu sudah punah, tanaman bambu kian menipis, dan krisis iklim jadi antagonis lunturnya kebudayaan di kampung niscaya dongeng ini.
Rumah Wastuti adalah rumah sebatang kara dengan dekorasi dinding geribik yang tersisa, lainnya sirna. Atap rumah Wastuti pun sudah berubah jadi seng, tak ada lagi daun tebu di Keputihan. Rumah geribik itu bukan satu-satunya yang sendirian, Wastuti juga menghuni rumah itu seorang diri, meski anak dan sanaknya silih berganti menjenguk Wastuti.
“Saya, sih, sendirian di sini, suami saya sudah meninggal, anak saya yang di daerah barat, menikah dengan orang Damel, nanti ke sini,” kata Wastuti dalam bahasa Cirebon.
Sebentar Wastuti hening, mencoba mengembalikan memori masa lalunya, lalu perlahan bibirnya mulai mendongeng dalam bahasa Cirebon. Nadanya meninggi saat bercerita soal bentang alam Keputihan yang sama sekali berubah, “Ya, bengen sih laka warung kuen kah, cung. Umah isun bengene get akeh bambue sekien wis laka, kuen bae kuh sisae, iki atap umah get diganti karo anak isun jeh isun sih melu bae. Iya, bengen sih akeh, cung, daun tebu kah, sekien ya mbuh, isune wong bodo.”
“Dahulu tidak ada warung itu (menunjuk area depan rumahnya). Rumah saya dulu banyak bambu tapi sekarang tidak ada, sisa itu saja (menunjuk ke pohon bambu di pojok depan halamannya), atap rumah juga diganti sama anak saya, saya ikut saja. Dahulu banyak daun tebu, sekarang tidak tahu, saya tidak mengerti.”
Mujur tak bisa diraih, bala tak mampu ditolak, krisis iklim benar-benar menuntut warga memutar otak menyiasati perubahan yang terjadi di kampung mereka. Panas Pantura yang kian terik membuat geribik jadi mudah luntur dan pecah. Geribik yang tadinya bisa bertahan sewindu lamanya kini tak lagi awet barang tiga tahun pakai, ditambah pohon bambu tidak lagi rindang di Keputihan.
Kondisi ini yang membuat Endang (45), pendatang dari Indramayu sejak 2002 sekaligus Ketua Rukun Tetangga setempat, nekat mengubah geribik menjadi dinding Glass Fiber Reinforced Concrete (GRC) asal bukan tembok bata pasca lima tahun menikah dengan warga kampung Keputihan. Lambat laun, dinding GRC jadi siasat warga membangun peradaban baru di tengah tekanan krisis iklim.
“Waktu itu geribiknya sudah beberapa kali harus ganti, biaya juga sih, jadi saya dulu (yang pertama) sebenarnya pakai GRC, orang tua juga sudah tidak ada (meninggal) dan akhirnya semua pada ngikutin, karena setelah beberapa tahun enggak terjadi apa-apa,” tutur Endang.
Seperti dinding, urusan atap tak kalah runyam. Lahan tebu di sekitar kampung Keputihan bahkan sudah punah. Sejak tahun 2000-an, warga Keputihan mengambil daun tebu dari blok Kluwut yang berjarak satu kilometer dan ironisnya juga satu nasib sepenanggungan; krisis lahan tebu. Saat lahan tebu di Cirebon terus menyusut, kebun tebu di Kecamatan Weru tinggal menyisakan 6,52 hektare dari 4.083 hektare lahan yang ada di Kabupaten Cirebon, artinya tebu di kecamatan ini hanya berkontribusi sekitar 0,1 persen dari total lahan di Kabupaten Cirebon. Pun, lahan tebu di Kabupaten Cirebon kian habis dari tahun ke tahun secara keseluruhan, per tahun 2020 tinggal tersisa 3.461 ha lahan tebu di Kabupaten yang sempat jaya menjadi sentral tebu di era kolonial.
Sejak medium tahun 2010-an, sudah berulang kali panen tebu mundur akibat kemarau panjang, masalah ini kemudian menyulut menjadi kobaran yang lebih besar, ongkos menanam tebu semakin mahal dan gula tak laku dipasaran akibat kebijakan impor. Alhasil, petani tebu memilih bercocok tanam padi dan beberapa lahan lain kini sudah menjadi pemukiman modern.
“Dulu sempat lah paceklik beberapa kali itu enggak bisa panen, terus ya sudah banyak yang pindah jadi (bertani) ke sawah saja, lebih untung, sih, di belakang juga ada yang dibikin perumahan itu tadinya kebun (tebu),” cerita Endang.
Kampung Keputihan tidak seberapa lebarnya, hanya satu blok seluas 10 hektar dan ditinggali 18 rumah sejak akhir dekade 2000-an dari 13 rumah warga asli, tetapi krisis iklim benar- benar menghabisi nilai kebudayaan mereka secara perlahan. Maskani (65) mencoba bertahan dengan arsitektur rumah dengan geribik dan daun tebu hingga tahun 2021. Niat menjaga nilai leluhur tidak teramini karena ongkos yang tidak lagi masuk akal.
Untuk satu rumah, atap daun tebu memang direnovasi tiap setahun sekali, saat Maskani muda, hal itu tidak jadi masalah sebab tebu masih lazim ditemui. Kini daunnya dibanderol seharga sepuluh ribu per helai, sementara satu rumah membutuhkan sekurangnya 600 helai daun tebu.
“Masih mahal daun tebu daripada asbes, jauh. Satu bijinya 10 ribu daun tebu, satu kali renovasi bisa 600 biji. Jadi bisa 6 juta lebih.”
“Dulu pake geribik bambu, cuma sudah mau ambruk dan kena rayap, pas mencari bahannya sudah tidak mampu, harganya sudah lebih mahal, sudah susah juga. Ganti bentuk atap dan dindingnya ini baru satu tahun diganti,” cerita Maskani.
Sambil menenun benang untuk net voli, Maskani hanya bisa pasrah, tetapi bukan berarti Ia menyerah, 65 tahun tinggal di tempat yang membesarkannya, Maskani sebenanya tidak mau dindingnya bukan lagi geribik dan atapnya tidak diteduhi daun tebu. Sayang, hasrat hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai, Maskani tak mampu berbuat banyak. Maskani pada akhirnya tetap memaksa untuk menyisakan bagian dinding atap bergeribik dan pondasi dari bambu sebagai pengingat, bahwa Maskani adalah warga Keputihan.
“Ini (menunjuk ke pondasi) tetap saya dari bambu saja, atas juga masih ada geribiknya, buat ngingetin.”
Tangan Buntung Pemerintah
Kampung Keputihan hanya berjarak 400 meter dari kantor Desa Kertasari, posisinya berada di belakang kantor desa di jalan utama. Bagai bambu dan tebu di pelupuk mata tak tampak, kedekatan itu tak menjamin Keputihan mendapat uluran tangan. Endang selaku ketua RT yang tinggal sejak 20 tahun lalu tidak pernah sekali pun mendapati pemerintah desa; lebih- lebih kabupaten; masa bodoh provinsi; jangan harap negara, datang memberi jabat tangan. Padahal, kondisi perekonomian warga yang tidak mampu membiayai kebutuhan adat turun- temurun akibat krisis iklim menjadi masalah struktural di Keputihan.
“Masalahnya tuh biaya, di sini dari dulu orangnya pendapatannya minim. Pemerintah enggak ada bantuan sama sekali, dari pemerintah tuh enggak dilirik jadi, ya, sendiri-sendiri, pemerintah desa, pemerintah daerah (kabupaten atau provinsi) enggak ada,” ungkap Endang.
Ketika krisis iklim mengakibatkan lunturnya adat, sementara perekonomian melarat, warga hanya bisa mengandalkan tuah dari deras kucuran keringat. Maskani misalnya, Ia sempat dijanjikan bantuan renovasi rumah dengan geribik oleh pemerintah setempat, mulanya Maskani menaruh harap, hingga akhirnya harapan itu mengembun menjadi kekecewaan.
Maskani tetap tegar menunggu bertahun-tahun sejak janji itu terucap, tetapi rumahnya kadung tak sabar. Geribik itu hendak roboh bersama dengan daun tebu di atasnya. Maskani tak punya jalan lain kecuali berutang. Malu namun apa hendak dikata, tenaga dan tabungan habis sementara alam semakin sulit.
“Kata pemerintahnya, mah bantuan-bantuan, tapi nama doang. Saya tunggu sampai rumah ini mau roboh tidak datang juga, ya, sudah bangun sendiri saja. Rumah saya sudah mau roboh, nunggunya ya pegal.”
“Kita harus berutang untuk atap asbesnya, karena memang enggak ada uang.”
Kini, Kampung Adat Keputihan diambang berserah, entah sampai kapan rumah Wastuti, satu-satunya rumah dengan geribik yang tersisa, mampu bertahan dari krisis iklim. Satu hal yang pasti, Wastuti, Edi, Endang, dan Maskani menginginkan dan hanya bisa mengenang kejayaan masa lalu; Keputihan yang bak kampung dongeng seperti setidaknya dua dasawarsa lalu.
“Enak zaman dulu, lebih adem, lebih tentram,” – Wastuti
“Suasana enak dulu, damai, adem, pakai damar listrik, ya, enggak ada orang lewat,”- Endang
“Sekarang jadi lebih panas, pohon-pohon besar sudah enggak ada lagi, bambu-bambu juga sudah mulai habis,” – Edi
“Enak dulu sih, waktu atapnya daun tebu sih lebih adem, sekarang lebih panas. Bukan cuma atap saja, tapi juga kan ini bambu-bambu sudah tidak banyak lagi, sudah tidak rindang lagi, lah,” – Maskani.
Penulis: Luthfi Maulana