The Game Changer: Menilik Kemungkinan Pasca Covid-19 Berdasarkan Wabah Pes di Eropa
Maraknya penggunaan masker wajah yang masih digunakan oleh masyarakat luas
menandakan bahwa COVID-19 masih belum selesai. Pada awal tahun 2020, The World
Health Organization (WHO) secara resmi menyatakan virus COVID-19 sebagai
pandemi baru yang sontak menciptakan kebutuhan mendesak bagi banyak negara untuk
mengambil langkah karantina wilayah dalam rangka mencegah penyebaran. Kehadiran
pandemi menghambat berbagai sektor kehidupan, dimana hambatan tersebut
memberikan implikasi terhadap perubahan perilaku masyarakat seperti wajib
mengenakan masker dan menjaga jarak. Meskipun saat ini kehadiran vaksin dapat
memberikan sedikit ketenangan, seluruh masyarakat di dunia masih harus waspada
terhadap pandemi virus COVID-19. Hal ini menyisakan ruang pemikiran tentang
kehidupan yang akan diadaptasi sebagai akibat dari pandemi. Didukung oleh era
modern, gaya hidup progresif, dan adaptasi yang cepat, apakah COVID-19 akan
meninggalkan jejaknya pada gaya hidup global atau kita benar- benar kembali normal?
Pandemi bukanlah sesuatu yang baru. Sepanjang sejarah yang tercatat, umat manusia
telah menghadapi banyak pandemi yang memungkinkan para ahli untuk mempelajari
bagaimana pandemi berdampak pada dunia. Dengan itu, prediksi kehidupan setelah
pandemi dapat dibentuk dengan menggunakan kajian sejarah wabah pes, serta dengan
melakukan observasi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di pandemi ini. Wabah pes,
atau the black death, adalah pandemi paling dahsyat dalam sejarah yang membunuh
sekitar 200 juta jiwa. Pes adalah virus yang berasal dari tikus yang menyerang kawasan
Eropa dan Asia utara pada abad ke-14. Keganasan virus ini membuat sejumlah
masyarakat meninggal dunia dalam keadaan membusuk di pinggiran kota dengan
persebaran dan pemaparan yang cepat. Hadirnya pandemi membawa beberapa dilema
bagi masyarakat, dimana dalam satu sisi memberikan dampak buruk untuk kehidupan
sosial dan di lain sisi membantu mempercepat perkembangan teknologi. Jika melihat
lintasan sejarah yang terjadi di kawasan Eropa pada abad pertengahan, fanatisme wabah
pes muncul dan menjelma menjadi semangat keagamaan baru. Orang-orang di Eropa
mulai menyalahkan orang-orang Yahudi, yang akibatnya menyebabkan penganiayaan
massal terhadap komunitas tersebut. Demikian pula, berbagai laporan menunjukkan
bahwa pandemi COVID-19 telah memicu diskriminasi terhadap komunitas Asia di
berbagai negara. Beberapa sumber bahkan menuduh virus COVID-19 sebagai senjata
buatan yang dikembangkan oleh militer Tiongkok untuk mendominasi ekonomi dunia
sebagai kekuatan hegemoni baru. Meskipun diskriminasi terhadap orang Asia memang
selalu ada dan bahkan sebelum pandemi, situasi saat ini dapat memberikan label baru
terhadap orang Asia yang memperpanjang perang melawan rasisme. Lebih dari itu,
Sultan Kairo pada masa wabah pes juga percaya bahwa penyakit adalah hukuman dari
Tuhan dan menargetkan perempuan sebagai kambing hitamnya. Akibatnya, perempuan
dilarang meninggalkan rumah, mereka juga dianiaya bahkan dibunuh. Saat ini, laporan
oleh UN Women menunjukkan bahwa lockdown di beberapa negara telah menyebabkan
peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga dan permintaan akan tempat
penampungan darurat. Kekerasan terhadap perempuan selalu menjadi salah satu
pelanggaran hak asasi manusia terbesar yang telah diperjuangkan oleh gerakan
grassroots dan organisasi perempuan sejak tahun 1840-an. Sebuah artikel oleh
Alexandra Topping menyatakan bahwa pandemi COVID-19 dapat berisiko membuat
perjuangan kaum feminis mundur sebanyak beberapa dekade. Sebenarnya risiko ini
dapat dicegah jika peran pemerintah turun tangan untuk mencegahnya. Namun
keyakinan radikal, perempuan yang dibungkam dan individu yang konservatif sering
menjadi hambatan.
Sebaliknya, dalam podcast berjudul “Bill Gates and Rashida Jones ask big questions,”
Co-Founder Microsoft Software menyoroti bahwa pandemi memicu transisi progresif ke
remote working; perusahaan dan universitas tidak akan lagi menuntut kehadiran fisik
untuk rapat dan kelas. Pandemi telah memungkinkan lebih banyak toko untuk
menciptakan pengalaman belanja online dan bahkan dokter tidak lagi memerlukan
kunjungan langsung untuk penyakit ringan karena platform chatting prabayar dengan
ahli medis. Pada akhirnya masyarakat akan semakin memasuki zaman keemasan
teknologi di mana sebagian besar aktivitas dapat dilakukan dengan media online.
Pandemi akan meninggalkan bekas pada ekonomi global yang mungkin untuk waktu
cukup lama. Wabah pes menyebabkan kematian hingga sepertiga populasi di kawasan
Eropa yang mana kemudian meningkatkan pada permintaan tenaga kerja. Di Indonesia
sendiri 29 juta pekerja telah diberhentikan akibat pandemi karena perusahaan tidak
mampu membayar penghasilan pekerja. Di artikel yang berbeda, dikatakan bahwa
pandemi telah memicu tumbuhnya wirausaha dan startup unicorn. Maka dari itu,
meskipun tingkat kematian belum mencapai titik yang menggeser angka populasi secara
signifikan jika kedua faktor ini digabungkan akan menunjukkan kemungkinan besar
bahwa permintaan tenaga kerja akan meningkat pasca COVID-19 menunggu di garis
finish covid.
Lebih dari itu, COVID-19 akan diiringi oleh ketimpangan ekonomi yang lebih besar
menurut sejarawan Walter Scheidel, wabah pes di kawasan Eropa justru diikuti oleh
ketimpangan ekonomi yang lebih rendah akibat dari upah yang lebih tinggi dan
kepemilikan tanah kosong. Petani saat itu berpenghasilan lebih tinggi sementara pemilik
tanah yang menjadi kurang mampu. Namun sebaliknya, virus COVID-19 justru
berfungsi sebagai tangga bagi miliarder dunia untuk membangun kerajaan mereka.
Ketika jutaan orang kehilangan sumber pendapatan mereka, para miliarder
meningkatkan kekayaan mereka sebanyak $ 10,2 miliar seperti yang dinyatakan oleh
bank Swiss UBS. Hal ini akan memperbesar ketimpangan sosial seiring dengan
kemajuan ekonomi, terutama dengan adanya virus COVID-19. Meskipun demikian,
telah disebutkan sebelumnya bahwa kebutuhan akan tenaga kerja akan meningkat
seiring stabilnya ekonomi yang mana memberi kesempatan kecil bagi kelas pekerja
untuk menyambangi kesenjangan kekayaan meskipun kemungkinannya sangat kecil.
Seperti yang ditunjukkan dalam buku Handbook of Cliometric, butuh sekitar satu abad
bagi Eropa untuk kembali ke kondisi ekonomi awal mereka. Di era modern ini mungkin
hanya butuh waktu beberapa tahun, atau paling lama beberapa dekade, bagi
perekonomian kita untuk benar-benar pulih dari pandemi.
Meski menjadi garis pertahanan pertama melawan COVID-19 dan mendapat dampak
paling nyata, dapat dikatakan bahwa bidang medis akan menghadapi hasil yang paling
menjanjikan setelah pandemi. Salah satu kemenangan yang telah dicapai umat manusia
adalah memerangi penyakit dalam waktu yang jauh lebih singkat dan dengan korban
yang lebih sedikit. Wabah pes bukanlah peristiwa tunggal, melainkan rentetan ombak
yang terus melanda berbagai belahan dunia. Pada gelombang pertama saja antara 75
hingga 200 juta orang meninggal. Pada masa penulisan, COVID-19 telah membunuh
3,69 juta jiwa; masih merupakan statistik yang mengerikan, tetapi jika dibandingkan
dengan wabah pes, pandemi saat ini memiliki keuntungan yang jauh lebih besar.
Pandemi COVID-19 juga telah menandai sebuah kemenangan dalam bidang ilmu
biomedis. Pada dasarnya, baru Maret 2020 WHO mendeklarasikan COVID-19 sebagai
pandemi. Hari ini, satu tahun dan tiga bulan setelahnya, program vaksinasi telah dimulai
di sebagian besar negara, banyak di antaranya yang bahkan telah menangani virus
tersebut. Berbagai perusahaan farmasi berhasil mengembangkan vaksin yang aman
dalam waktu kurang dari satu tahun, sebuah proses yang biasanya memakan waktu 5
hingga 10 tahun. Ini menunjukkan kemajuan luar biasa dari pengetahuan dan teknologi
medis sejak endemik terakhir. Selain itu, pandemi ini juga berpotensi untuk mendorong
terobosan medis dalam mengobati penyakit dan mencegah wabah berikutnya.
Pandemi juga berdampak dalam menyoroti pentingnya sistem perawatan kesehatan
yang memadai. Sejarawan David Herlihy menulis dalam The Black Death and the
Transformation of the West bagaimana wabah pes mengemukakan kebutuhan akan
“penyelidikan anatomi”. Secara singkat, pengetahuan medis di Eropa pada abad
pertengahan sebagian besar terdiri dari pengobatan menggunakan hewan, ekstraksi
darah, pengasapan, dan pengobatan religius. Melihat bahwa tidak ada yang berhasil
dalam menyembuhkan pes, para dokter dan pendeta mulai mempertanyakan
pengetahuan mereka sehingga studi anatomi secara khusus berubah dan kebutuhan akan
ahli bedah pun muncul. Demikian pula, lonjakan kasus COVID-19 membuat rumah
sakit di seluruh dunia kewalahan dan menyebabkan kekurangan pasokan dan staf. Di
seluruh dunia, banyak petugas kesehatan terinfeksi dan meninggal karena menjadi garis
pertahanan pertama melawan pandemi. Di Amerika Serikat, masalah retensi staf bahkan
menyebabkan 48% pekerja medis mempertimbangkan untuk meninggalkan profesinya.
Dengan ini, jelas bahwa pandemi akan mempercepat investasi perawatan kesehatan di
seluruh dunia untuk mengurangi dampak Covid serta untuk bersiap menghadapi
bencana di masa depan. Paling tidak, pemerintah akan meningkatkan anggaran
kesehatan nasional hingga kapasitas maksimalnya. Bahkan perusahaan pun, terutama
yang terkena dampak pandemi, sangat mungkin berinvestasi; paling tidak dalam
pendidikan kedokteran. Rumah sakit juga akan mengatur ulang anggaran mereka,
karena laporan menunjukkan bahwa kebanyakan negara justru menderita kelangkaan
peralatan medis berteknologi rendah seperti sarung tangan, masker, alat tes dan baju
hazmat; daripada mesin medis berteknologi tinggi yang harganya lebih mahal.
Meskipun pandemi COVID-19 belum mencapai titik akhirnya, kemungkinan untuk
memprediksi kehidupan yang akan datang hanyalah hal yang mustahil. Sejarah wabah
pes sebagai pandemi yang paling mematikan dan rangkaian peristiwa di era COVID-19
dapat digunakan untuk menduga perubahan yang akan terjadi kala pandemi berakhir. Terlepas dari itu, penulis berpendapat bahwa COVID-19 adalah salah satu
game-changer terbesar dalam sejarah modern karena telah menghambat aspek
kehidupan. Melihat perubahan yang telah terjadi, dapat disimpulkan bahwa pandemi
tidak akan menghilang begitu saja tanpa jejak, melainkan akan meninggalkan bekas di
berbagai aspek. Dalam ranah kehidupan sosial, COVID-19 yang berasal dari Wuhan,
China berisiko memberi label negatif kepada komunitas Asia dan memperburuk isu
rasisme di dunia, serta memundurkan hasil kerja feminis sebanyak beberapa dekade.
Secara bersamaan, pergeseran ke aktivitas jarak jauh akan mempercepat peningkatan
teknologi yang akan membawa kita ke the golden age of technology. Kemudian, jelas
sebagai akibat dari pemecatan dan kegilaan startup unicorn, akan ada peningkatan
dalam permintaan tenaga kerja karena ekonomi global stabil. Meskipun demikian,
ketimpangan ekonomi akan berkembang lebih cepat dari sebelumnya karena kaum
hartawan sangat diuntungkan dari pemulihan ekonomi saat ini, sementara pekerja masih
harus berjuang. Selain itu, meskipun rumah sakit dan pusat kesehatan secara global saat
ini menghadapi malapetaka, COVID-19 telah membuktikan pengetahuan dan teknologi
medis yang sangat progresif. Belum lagi pandemi akan membawa perubahan positif
termasuk percepatan pendanaan dan investasi untuk meningkatkan sistem kesehatan dan mendorong terobosan medis dalam mencegah pandemi di masa depan. Secara
keseluruhan, penulis percaya bahwa situasi saat ini menunjukkan bahwa pandemi
COVID-19 akan diingat dalam sejarah karena keganasan dan efeknya pada masyarakat
modern. Tidak seperti endemik flu lainnya, seperti flu Asia 1957 dan flu Hong Kong
1968 yang hanya menyerang beberapa wilayah, virus COVID-19 berhasil menghentikan
komunitas global selama berbulan-bulan dan menimbulkan ketakutan baru dalam diri
individu.
Referensi
Altun, Y., 2021. Council Post: Pandemic Fuels Global Growth Of Entrepreneurship
And Startup Frenzy. [online] Forbes. Available at:
<https://www.forbes.com/sites/forbestechcouncil/2021/04/09/pandemic-fuels-global-growth-ofentrepreneurship-and-startup-frenzy/?sh=4d1581c17308>
Byrne, J. P. (2004). The black death. Westport, Conn: Greenwood Press.
CM, C., 2021. [The persecution of Jews during the time of the plague (1349-50) in
southern Netherlands]. [online] PubMed. Available at <https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10379201/>
Diebolt, C. and Haupert, M., n.d. Handbook of Cliometrics.
Dyrda, L., Drees, J. and Adams, K., 2021. 10 big advancements in healthcare tech
during the pandemic. [online] Beckershospitalreview.com. Available at:
<https://www.beckershospitalreview.com/digital-transformation/10-big-advancements-in-healthcare-tech-during-the-pandemic.html>
Gunawan, A., Hasani, A. and Oktaviani, T., 2021. More Indonesian doctors, nurses die
fighting against COVID-19. [online] The Jakarta Post. Available at:
<https://www.thejakartapost.com/news/2020/05/20/more-indonesian-doctors-nurses-die-fighting-against-covid-19.html>
Herlihy, David. & Cohn, Samuel Kline. (1997). The black death and the
transformation of the west. Cambridge, Human Rights Watch. 2021. Covid-19 Fueling Anti-Asian Racism and Xenophobia Worldwide. [online] Available at:
<https://www.hrw.org/news/2020/05/12/covid-19-fueling-anti-asian-racism-and-xenophobia-worldwide>
Mark, J., 2021. Effects of the Black Death on Europe. [online] World History
Encyclopedia. Available at:
<https://www.worldhistory.org/article/1543/effects-of-the-black-death-on-europe/>
Mark, J., 2021. Medieval Cures for the Black Death. [online] World History
Encyclopedia. Available at:
<https://www.worldhistory.org/article/1540/medieval-cures-for-the-black-death/>
Neate, R., 2021. Billionaires’ wealth rises to $10.2 trillion amid Covid crisis. [online]
the Guardian. Available at:
<https://www.theguardian.com/business/2020/oct/07/covid-19-crisis-boosts-the-fortunes-of-wor lds-billionaires>
Patterson, H., Manley, B., Hernandez, S. and McPhillips, D., 2021. Covid-19 vaccine
tracker: View vaccinations by country. [online] CNN. Available at:
<https://edition.cnn.com/interactive/2021/health/global-covid-vaccinations/>
report, C., 2021. Chinese scientists discussed weaponizing coronavirus in 2015: Media
report. [online] The New Indian Express. Available at:
<https://www.newindianexpress.com/world/2021/may/10/chinese-scientists-discussed-weaponis ing-coronavirus-in-2015-media-report-2300620.html>
Santia, T., 2021. 29 Juta Pekerja Kena PHK Akibat Corona, Kadin Desak Pemerintah
Perluas BLT. [online] liputan6.com. Available at:
<https://www.liputan6.com/bisnis/read/4325010/29-juta-pekerja-kena-phk-akibat-corona-kadind esak-pemerintah-perluas-blt>
Scheidel, Walter (2017). “Chapter 10: The Black Death”. The Great Leveler: Violence
and the History of Inequality from the Stone Age to the Twenty-First Century. Princeton
University Press. pp. 291–313. ISBN 978-0691165028.
Topping, A., 2021. Covid-19 crisis could set women back decades, experts fear. [online]
the Guardian. Available at:
<https://www.theguardian.com/world/2020/may/29/covid-19-crisis-could-set-women-back-deca des-experts-fear>
UN Women. 2021. Violence against women and girls: the shadow pandemic. [online]
Available at:
<https://www.unwomen.org/en/news/stories/2020/4/statement-ed-phumzile-violence-against-women-during-pandemic>
Ditulis oleh:
Emira Anjani
Juara 3 Lomba Essai Nasional Journation 3.0 LPM OPINI