The Man Who Knew Infinity: Si Mutiara Berkilau dari India
“Kisah kehidupan Srinivasa Ramanujan, seorang matematikawan otodidak yang berhasil menembus dinding Universitas Cambridge dan persahabatannya dengan mentornya, Profesor G.H. Hardy.”
Judul Film : The Man Who Knew Infinity
Sutradara : Matthew Brown
Penulis Naskah : Robert Kanigel
Produser : Edward R. Pressman, Jim Young, dan Joe Thomas
Pemain : Dev Patel, Jeremy Irons, dll.
Tahun Rilis : 2015
Durasi Film : 1 jam 48 menit
Bahasa : Inggris dan Tamil
Negara Asal : Inggris dan India
Membayangkan “matematika” bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang rumit, apalagi saat melihat banyaknya angka dan rumus seperti kalkulus, duh! Bikin sakit kepala! Lalu, bagaimana dengan matematikawan? Pasti yang terlintas di benakmu adalah orang yang ahli matematika memiliki kepribadian yang kaku dan tidak asyik. Apakah benar begitu adanya? Bagaimana jika pandangan yang di benakmu itu adalah salah?
Selain Isaac Newton dan Albert Einstein, ternyata ada ilmuwan yang bergerak di bidang matematika yang bernama Srinivasa Ramanujan, loh! Mungkin juga banyak di antara kita jarang mendengar nama tersebut. The Man Who Knew Infinity ini sebagai biopik di balik kehidupan Srinivasa Ramanujan, seorang matematikawan jenius uniknya juga autodidak yang berasal India. The Man Who Knew Infinity tayang perdana di dunia pada ajang Festival Film Internasional Toronto pada tahun 2015 dan terpilih juga sebagai gala pembuka pada Festival Film Zurich di tahun 2015. Kemudian, film ini juga telah meraih penghargaan sebagai nominasi Saturn Award dari Academy of Science Fiction, Fantasy & Horror Film yakni Best DVD/Blu-Ray Release.
***
Film ini menceritakan Srinivasa Ramanujan (Dev Patel), seorang laki-laki asal Madras India yang hidup miskin, tetapi memiliki kemampuan matematika yang luar biasa dengan “pemikiran tanpa batas”-nya. Ia bisa menemukan perhitungan baru dengan caranya sendiri, lalu mengirimkan penemuannya kepada Prof. Hardy (Jeremy Irons), Matematikawan dari Cambridge University. Ramanujan sendiri memang mengirimkan teoremanya ke Prof. Hardy karena ia tidak ingin temuan yang diperolehnya ini tidak terpakai dan dibawanya mati. Merasa tertarik, Prof. Hardy pun mengundang Ramanujan untuk datang ke Inggris dan menemuinya untuk menguji hasil temuannya. Merasa senang dan antusias, ia pun memutuskan pergi ke Inggris dan meninggalkan istrinya. Meskipun demikian, ia berjanji akan tetap berkomunikasi dengan sang istri melalui surat.
Setibanya di Inggris, berbagai cobaan dihadapi Ramanujan, mulai dari tindakan rasis yang dilakukan oleh orang-orang Inggris, suasana perang dunia pertama yang kacau, tidak mendapat surat dari istrinya karena disembunyikan oleh mertuanya, hingga penemuannya tidak diakui dan mendapat pertentangan oleh para pakar matematika Universitas Cambridge. Selain itu, karena tradisi adat yang kental melekat pada diri Ramanujan, dirinya tidak boleh memakan santapan orang Inggris. Ini mengakibatkan dirinya malnutrisi hingga kondisi kesehatannya terus menurun, bahkan Ramanujan juga didiagnosis menderita tuberculosis.
Sesuai tradisi akademik dan metodologi ilmiah, apa pun klaim seseorang, yang paling penting adalah klaim tersebut harus dapat dibuktikan. Ramanujan banyak menemukan formulasi-formulasi dan persamaan-persamaan matematis yang revolusioner. Namun sayangnya, Ramanujan tidak dapat menyertakan pembuktian dalam persamaan-persamaan matematis yang ia ciptakan itu. Di satu sisi, Ramanujan menuntut Prof. Hardy agar dapat segera mempublikasikan temuannya. Akan tetapi, Prof. Hardy menuntut agar Ramanujan dapat terlebih dahulu bekerja sama untuk membuktikan rumus-rumus yang ia temukan.
Ramanujan sendiri tumbuh besar dalam lingkungan yang kental akan suasana religiositas tradisi Hindu dan ia juga sangat taat menjalankan ritual keagamaannya. Ketika Prof. Hardy bertanya kepada Ramanujan mengenai penemuan persamaan-persamaan yang diperolehnya, jawabnya pun berhubungan dengan Tuhan: “My God. Namagiri. She speaks to me. Puts formulas on my tongue when I sleep, sometimes when I pray.” yang artinya “Tuhan saya. Namagiri. Ia berbicara kepada saya. Menaruh rumus di lidah saya ketika saya tertidur, terkadang ketika saya berdoa.” Dan satu kalimat yang sering ia katakan, “An equation for me has no meaning unless it represents a thought of God.” yang berarti “Persamaan bagi saya tidak memiliki arti kecuali mewakili pemikiran Tuhan.”
Bagian cerita menarik lainnya adalah pada saat Prof. Hardy merekomendasikan Ramanujan menjadi Fellow of Royal Society yang merupakan ajang penghargaan bergengsi yang diberikan kepada individu yang dianggap telah membuat kontribusi untuk memajukan ilmu pengetahuan alam, termasuk juga dalam bidang matematika, Ia juga mengakui dalam pidatonya di hadapan para anggota Royal Society bahwa perkataan Ramanujan mengenai persamaan matematika itu tidak ada artinya, kecuali mengekspresikan pikiran Tuhan. Penemuan rumus-rumus yang ada selama ini bukan murni dari manusia itu sendiri, melainkan sudah ada dan manusia hanyalah sebagai perantara. Ini menjadi unik sebab Prof. Hardy merupakan seorang ilmuwan yang notabene menganut ateisme, yang sebelumnya sulit menerima pernyataan dari Ramanujan mengenai ketuhanannya.
Bagian cerita yang menguras air mata yakni pasca-kepulangannya ke India, pada tahun 1920, Prof. Hardy mendapat kabar bahwa Ramanujan telah meninggal dunia. Prof. Hardy (Irons) sebagai bujangan tua yang keras, tetapi juga sebagai orang yang jelas tulus dalam keinginannya untuk membantu Ramanujan. Film ini dengan cakap mengeksplorasi hubungan antara keduanya, menunjukkan transisi dari relasi bimbingan biasa antara mahasiswa dengan dosen menjadi persahabatan. Walaupun demikian, keduanya tetap memperhatikan rasa hormat satu dengan yang lain.
Film The Man Who Knew Infinity merupakan film pedih dan emosional yang menceritakan hampir satu abad setelah kematian Ramanujan yang tragis pada tahun 1920. Semasa hidupnya, Ramanujan telah membuat kontribusi besar dalam bidang matematika murni, khususnya dalam teori bilangan dan analisis matematika. Seabad kemudian, beberapa metode matematikanya digunakan para fisikawan untuk membantu mereka mempelajari perilaku Black Hole dan merumuskan String Theory sebagai salah satu kandidat Theory of Everything. Penulis sekaligus sutradara, Matthew Brown juga menunjukkan minat yang tinggi dalam mengeksplorasi proses ilmiah.
Keunggulan dari film ini, pertama, pemilihan tema dan pengemasan adegan yang sangat ringan dan ciamik. sehingga penonton yang umumnya orang awam matematika pun dapat ikut memahami dan menikmati alur yang ada. Hal ini juga berkenaan dengan teknik pengambilan video dan editing yang juara, seperti halnya setting Perang Dunia II berhasil didapatkan. Didukung dengan pembawaan karakter dari para pemain profesional, membuat tiap adegan terasa sayang untuk dilewatkan.
Walaupun memiliki segudang kelebihan, terdapat pula sedikit kekurangan dari film ini. Ada beberapa adegan dewasa dan kekerasan yang kurang layak ditonton anak usia di bawah 13 tahun, sehingga diperlukan pengawasan ekstra dari orang tua.
Pesan yang didapatkan dari film The Man Who Knew Infinity antara lain memotivasi dan menginspirasi banyak anak muda untuk tidak mudah patah semangat dalam menuntut ilmu, walaupun keadaan dan fasilitas kurang memadai. Film ini juga menyampaikan pesan akan religiositas, yaitu kebiasaan untuk berdoa kepada Tuhan dan selalu taat pada aturan agama. Kemudian dari segi kultural, saran untuk mempertahankan adat istiadat yang menjadi warisan terakhir, berkenaan dengan pluralisme, yakni keharusan menjunjung tinggi kebiasaan menghormati perbedaan satu dengan yang lain.
Penulis: Dita Suci
Editor: Annisa Qonita Andini
Pemimpin Redaksi: Langgeng Irma