Menyibak Ambivalensi Ideologis: Geliat Kapitalisme dalam Komunisme China

Barangkali tidak dapat disangkal bahwa komunisme sebagai alat negara untuk merealisasikan kesejahteraan sosial telah terbukti gagal. Meskipun memiliki agenda kesejahteraan yang menarik, tetapi dalam praktik sosialnya justru menunjukan hal yang berkebalikan. Istilah ”Comune” yang diidentifikasikan sebagai komunitas —dalam paham ini—dijadikan dasar membangun pemerintah arus bawah sebagai tahap pertama. 

Bila menelusuri fakta di negara tempat suburnya paham tersebut, yang terjadi justru berlawanan. Pemerintahan terbentuk melalui arus atas yang kemudian dikenal dengan istilah ”birokrasi merah” di Uni Soviet. Alhasil, konsep negara begitu kental dengan represifitas dan ketimpangan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan logika bahwa negara kapitalistik adalah paham oposisinya sendiri.

Meskipun dalam aspek historis telah terbukti gagal, eksistensi  komunisme dewasa ini dapat disaksikan di negara —new superpower— China. Sadar betul komunisme bukanlah sebuah solusi ekonomistik yang tepat diimplementasikan dalam realitas global saat ini, China di bawah komandan kontroversial Deng Xiaoping menggubah sistem politik dan ekonominya: melalui dominasi kekuasaan tunggal partai komunis China, bersamaan dengan itu dijalankan sistem ekonomi sosialisme-pasar yang pada detik ini telah menjelma menjadi kekuatan kapitalistik global. Di sini, jelas kegagalan komunisme semakin ditelanjangi oleh kapitalisme melalui bingkai realitas global.

Sebagai kekuatan kapital global, hingga saat ini China tercatat memiliki ribuan perusahaan yang beroperasi di seluruh dunia. Seperti diwartakan CNBC, di Indonesia terdapat  sekitar 2000 perusahaan dengan 15 besar perusahaan di dunia. China mendominasi dengan 5 perusahaannya –empat diantaranya bertengger pada posisi empat besar dunia: Industrial and Commercial Bank of China; China Construction Bank; Agricultural Bank of China; dan Bank of China, Selasa (27/10). 

Tidak berhenti di situ, jumlah investasi luar negeri China pun terus melonjak. Melansir VOA, data mutakhir angka  investasi China menginjak kisaran 110 miliar dolar, Selasa (27/10). Kendati demikian, hal tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk merefleksikan kondisi kesejahteraan sosial di China. Ketimpangan di China masih marak terjadi, terbukti dari buku Pikkety yang berjudul “Capital and Ideology” —yang dilarang terbit oleh pemerintah China karena menyinggung ketimpangan masyarakat—membeberkan angka ketimpangan di China pada 2018 mencapai 70% yang terhitung sangat besar di tengah geliat kapitalisme. 

China dalam Ruang dan Waktu

Menyoal geliat kapitalisme di China, membawa Penulis sejenak beranjak pada salah satu karya instrumental tokoh geografi marxis modern: David Harvey –saptio and temporal fix. Berangkat dari konsepsi imperialisme kapitalistik, secara kontradiktif politik negara dengan imperium berpadu dengan akumulasi kapital melalui proses molekuler dalam bingkai ruang dan waktu. Konsepsi ini lebih tepat dilihat sebagai istilah analitik ketimbang polemik. Persis sebagaimana yang dilakukan China hingga sukses menjadi kekuatan kapital global hingga saat ini. Tentu hal itu bukanlah klaim sepihak saja. Secara singkat dan sederhana dapat kita lihat dalam dua fakta utama sebagai berikut.

Pertama, politik negara dan imperium China. Apa yang dilakukan oleh China dalam mengupayakan realisasi kepentingan dan tujuannya di negara manca tidak terlepas dari penekanannya terhadap strategi-strategi politik, diplomatik, dan militer. Keberhasilan China  melakukan akumulasi modal melalui investasi dan operasional perusahaan di luar negeri telah menunjukan efektivitas strategi “business propaganda” melalui jalur diplomasi politik.  Sebagai contoh –objek terbesar China—bersama Indonesia strategi-strategi tersebut termanifestasikan ke dalam dua program pembangunan yang diklaim sebagai yang terbesar di Dunia: Silk Road Community Building Initiative dan Belt and Road Initiative. Pun kekuatan militer yang begitu besar –salah satu yang terkuat di dunia—menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan China, terlebih untuk memastikan “security teritorial” untuk negara-negara objeknya.

Umpan ekspansi kepentingan yang bertajuk kerjasama bilateral ini telah dapat kita lihat hasilnya melalui pembangunan Jembatan Suramadu, Bendungan Jatigede, dan proyek pembangunan infrastruktur lain yang telah dinilai sebagai simbol persahabatan kedua negara. Terlepas dari hal-hal tersebut, strategi politik yang diplomatik tersebut telah membuka keran ekspansi proyek lanjutan China.  Lebih jauh, melalui skema tersebut menegaskan keinginan China untuk mengambil peran yang lebih besar dalam kancah global melalui jaringan perdagangan yang berpusat di Beijing.

Kedua, konsep akumulasi kapital melalui proses molekuler dari ruang dan waktu. Dalam bingkai ini, geliat kapitalisme China dapat dilihat melalui kekuasaan ekonomistik yang mengalir di sepanjang dan melalui ruang yang kontinyu untuk menuju atau menjauhi entitas-entitas teritorial tertentu seperti negara atau blok kekuatan regional; lewat kegiatan keseharian dalam bidang produksi, perdagangan, perniagaan, arus kapital, transfer uang, migrasi tenaga kerja, transfer teknologi, spekulasi mata uang, arus informasi, impuls kultural, dan semacamnya.

Secara sederhana, analisa kekuasaan kapitalistik (akumulasi) China dapat kita telaah melalui proses molekuler melalui konsep “spatio and temporal fix” atau ruang dan waktu. Gamblangnya, spatio and temporal fix dimaknai sebagai sebuah ekspansi geografis untuk memperluas kekuasaan ekonomistik dalam kurun waktu tertentu. Produksi ruang yang dilakukan menyasar nadi kapitalisme. Menukil gagasan Marx dalam “Das Capital” urat nadi kapitalisme terletak pada empat hal utama yakni: akumulasi primitif, produksi, komoditas, dan akumulasi kapital—kendati pun keempatnya tidak selalu berjalan simultan atau pun tidak pasti berurutan. Istilah “fix” di sini memiliki makna ganda. Pada satu sisi dimaknai sebagai sebuah solusi guna menyelamatkan kesekaratan kapitalisme dan pada lain sisi dimaknai sebagai upaya untuk memperluas arus modal. “Sekali mendayung, dua tiga pulau terlmpaui”. Begitulah kira-kira ungkapan sederhana untuk memahami konsep ini.

Spatio and temporal fix berangkat dari reformulasi pemikiran Karl Marx mengenai tendensi jatuhnya laba yang menyebabkan krisis akibat kelebihan produksi atau “over accumulation crisis”. Krisis kelebihan produksi ini ditandai dengan terjadinya surplus kapital (dalam bentuk komoditi, uang dan kapasitas produksi), dan surplus kekuatan tenaga kerja yang mengiringinya, dibarengi ketiadaan cara untuk menggunakan surplus-surplus itu secara menguntungkan.

Bila ditelisik lebih jauh, kita akan menemukan kemiripan situasi tersebut pada China dalam beberapa waktu terakhir. Arus investasi yang begitu kencang serta perluasan operasional perusahaan menembus batas-batas teritorial mereka disinyalir akibat terjadinya over accumulation crisis di China. Situasi tersebut diakibatkan oleh pembangunan sia-sia China –yang menyebabkan lahirnya kota hantu (kosong)—serta adanya kelebihan kapasitas produksi. Terlebih, China memiliki penduduk yang sangatlah besar untuk dipekerjakan. Penduduk terbesar di dunia—telah menjadi rambu stagnasi kapitalisme yang mengharuskan China untuk memberikan solusi terbaik. 

Alhasil, kondisi tersebut mengharuskan China mengalirkan arus kapitalnya secara kontinyu ke ruang-ruang baru yang melampaui batas teritori mereka seperti apa yang dapat kita lihat hingga hari ini: investasi sangatlah besar, perusahaan manca begitu banyak, migrasi tenaga kerja, maraknya produksi, dan transfer teknologi besar-besaran. Barangkali tentu dengan mudah dapat diprediksi bahwa apa yang dilakukan oleh China akan bersifat sirkuler dan akan semakin meluas.

The End of Ideology?

Persis sebagaimana yang diungkap oleh Francisco Fukuyama dalam buku “The End of Ideology” bahwa kapitalisme adalah ideologi akhir yang niscaya. Kapitalisme dilihat lebih luas tidak sekadar sebagai sistem ekonomi, melainkan sebagai sistem yang inheren dengan kehidupan sosial. Tentu menganggap kapitalisme sebagai sebuah akhir ideologi adalah hal yang patut disangsikan.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme merupakan problematika global yang kompleks. Memprediksi kehancuranya terasa begitu sulit dan terlampau gelap. Menyinggung hal ini kembali membawa kita terhadap sebuah statement cetusan Frederic Jameson yang visioner dan membuat kiri terasa lebih intelektual dibanding orang-orang yang berada di sudut-sudut lain, bukan? Bunyinya kurang lebih demikian : 

Lebih mudah membayangkan dunia berakhir ketimbang membayangkan kapitalisme berakhir dari dunia.” 

Sudah tidak bisa dinafikan lagi, bahwa sangat mudah bila kita membayangkan kehancuran dunia berkat perilaku kapitalisme ketimbang membayangkan kapitalisme itu sendiri hancur.

China hanyalah satu diantara kekuatan kapitalistik global yang tengah berkembang besar di tengah ambivalensi ideologisnya. Sejatinya kapitalisme memiliki karakteristik yang sama dan dampak yang sama bila tidak dikawinkan dengan paham kesejahteraan. Kembali merujuk konsep ruang dan waktu, bila produksi ruang telah mencapai batas maksimal, maka ekspansi ruang tidak dapat kembali berjalan. Singkatnya, geliat kapitalisme akan terhenti dan tibalah ambang kehancuran kapitalisme. Kapan itu terjadi? mungkin akan lebih menarik membiarkan imajinasi bergeliat untuk menerka-nerka kapan waktu itu tiba.

Penulis: Firhandika

Editor: I. N. Ishlah

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.