Aksi International Women’s Day Semarang 2022: Bebas Merdeka Tanpa Diskriminasi dan Penindasan

Semarang, 8 Maret 2022 –  International Women’s Day (IWD) kembali menjadi peringatan untuk kita bahwa pada hari ini perempuan masih mengalami diskriminasi dan penindasan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus kekerasan, stigmatisasi, dan diskriminasi terhadap perempuan. Berbagai diskriminasi dan penindasan yang ada semakin menjauhkan kita dari terciptanya keadilan serta kesetaraan atas gender.

Kian hari, tak dapat kita mungkiri bahwa angka kekerasan seksual terus melonjak. Sepanjang 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan dimana 15,2 persennya adalah kekerasan seksual. Selain itu, hingga hari ini kita seringkali disodorkan dengan kasus kekerasan sosial yang diunggah di linimasa media juga berita.

Hal ini semakin menunjukkan bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia belum mampu secara sistematis dan menyeluruh untuk mencegah, melindungi, memulihkan, dan memberikan akses pemberdayaan bagi korban kekerasan seksual sehingga korban terpaksa untuk menceritakan kasusnya di media sosial.

YLBHI-LBH Semarang mencatat bahwa sepanjang tahun 2021 mendapatkan konsultasi serta aduan sebanyak 19 kasus kekerasan seksual yang mayoritas korbannya adalah perempuan dengan jenis kekerasan yang beragam, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KdRT), pemaksaan penggunaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, dan yang terbanyak adalah kekerasan berbasis gender online (KBGO).

LRC-KJHAM mencatat terdapat 80 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 120 perempuan menjadi korban dan 88 pelaku kekerasan. Kasus tertinggi adalah kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban 74% atau 89 orang diantaranya adalah perempuan. Kemudian, Sahabat Perempuan Magelang mencatat 64 kasus kekerasan terhadap perempuan, 19 kasus diantaranya adalah kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak. SPEK-HAM Surakarta mencatat terdapat 80 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan, 14 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan seksual, yang dimana ini naik 30 persen sari aduan yang masuk pada tahun 2019.

Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) juga mencatat kasus kekerasan seksual terutama pelecehan seksual terjadi pada buruh perempuan, yakni 20 kasus kekerasan seksual di pabrik. Hal ini menjadi indikasi bahwa ruang aman berbasis gender masihlah hanya utopia belaka. Belum lagi di masa krisis COVID-19 (Corona Virus Disease-19), anggaran terhadap penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah pun berkurang lantaran adanya realokasi anggaran yang ditujukan pada penanganan COVID-19.

Di lingkup kampus, kekerasan masih marak terjadi, khususnya kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi. Siapa pun bisa menjadi pelaku, pun juga korban. Sesama teman, bahkan dosen, tak menjadi penjamin bahwa kita aman bersamanya. Data yang dihimpun oleh beberapa perguruan tinggi Jawa Tengah juga menunjukan angka yang cukup tinggi pada tahun 2021, seperti misalnya Aliansi BEM se-Universitas Diponegoro (Undip) Semarang yang pada tahun 2021 melakukan survei dengan jumlah 771 responden, dimana dari 771 responden tersebut terdapat 173 mahasiswa atau 22.44 persen responden mengaku pernah menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Kemudian, BEM KM Universitas Negeri Semarang (Unnes) mencatat dari 133 responden di delapan fakultas di Unnes, ditunjukkan data bahwa terdapat 52,2 persen atau 69 mahasiswa Unnes pernah melihat atau mendengar kejadian kekerasan seksual, dan bahkan terdapat 37.58 persen responden atau 50 mahasiswa Unnes yang pernah menjadi korban kekerasan seksual dimana 93,38 persen korbannya adalah perempuan.

Data-data tersebut juga diperkuat oleh Catatan Tahunan LBH APIK Semarang yang pada tahun 2020 – 2021 menunjukkan angka kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi mencapai 55 kasus. Di samping itu, tak semua perguruan tinggi menghadirkan regulasi yang jelas dan tegas untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Pun, pengaturan mengenai kekerasan seksual di lingkup kampus belum dapat menjamin perlindungan atas korban-korban kekerasan seksual. Pada akhirnya, korban tak mendapat keadilan yang seharusnya mereka dapatkan demi melindungi nama baik kampus. Tak hanya di lingkup kampus, di lingkup ketenagakerjaan juga masih ada kekerasan dan diskriminasi yang menyerang buruh perempuan dan pekerja rumah tangga (PRT).

Masih banyak pemberi kerja yang tidak memberikan hak cuti haid, cuti hamil, dan cuti melahirkan bagi para buruh perempuan. Padahal, haid/menstruasi, hamil, dan melahirkan sifatnya adalah kodrati bagi perempuan, yang berarti hal-hal tersebut tidaklah dapat dihindari. Akan tetapi, para pemberi kerja masih acuh mengenai hal tersebut. Tak hanya itu, masih banyak tempat kerja yang tidak menyediakan ruang laktasi bagi para pekerjanya yang sedang menyusui.

Padahal, sangat memungkinkan bahwa buruh perempuan yang bekerja di situ memiliki bayi yang sedang program ASI Eksklusif. Kurangnya pengarusutamaan gender (PuG) dalam dunia kerja juga membuat tempat kerja menjadi  tempat yang diskriminatif. Perempuan seringkali disepelekan dan tidak dilibatkan dalam posisi pengambil keputusan. Feminisasi dalam pembagian kerja juga seringkali menempatkan perempuan hanya pada pekerjaan-pekerjaan domestik. Tak lupa juga bagaimana tempat kerja menjadi ruang yang tidak aman karena kekerasan seksual masih terjadi di sana, baik antarpekerja maupun antara atasan dengan bawahan akibat adanya ketimpangan relasi.

Sebagai salah satu spektrum buruh, pekerja rumah tangga juga rawan mengalami kekerasan, mengingat ia bekerja di ruang privat yang sangat memberikan celah bagi para majikan untuk bisa melakukan kekerasan terhadap pekerjanya. Dengan kondisi tersebut, RUU PPRT sebagai payung hukum yang mengakomodir kepentingan dan keterbutuhan pekerja rumah tangga pun belum disahkan. Mengingat banyaknya elemen masyarakat di atas yang masih mengalami penindasan dan diskriminasi, ini menandakan bahwa Indonesia masih belum setara dan adil gender. Lebih luas lagi, tak hanya diskriminasi berbasis gender dan seksualitas, diskriminasi berbasis ras dan etnis juga masih terjadi di Indonesia, seperti halnya yang terjadi di daerah-daerah rentan layaknya Wadas, Papua, dan daerah-daerah konflik lainnya.

Pada hari ini, berbagai unsur dan elemen di Jawa Tengah yang tergabung dalam gerakan IWD Semarang melakukan aksi peringatan. Aksi dimulai dengan konvoi dari depan Kantor Pos Kota Lama pada pukul 11.30 sampai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya aksi disambung dengan penyampaian orasi dan panggung bebas di depan Kantor Pemprov Jawa Tengah. Aksi ini pun didasari atas berbagai penindasan dan diskriminasi gender yang masih saja terjadi terhadap perempuan. Oleh karenanya melalui aksi ini, Gerakan IWD Semarang 2022 memiliki tuntutan sebagai berikut:

  1. Sahkan RUU TPKS, RUU PPRT, RUU Masyarakat Adat, dan hentikan diskriminasi berbasis gender dan seksualitas.
  2. Ratifikasi Konvensi ILO No. 190 tentang Kekerasan Seksual di Dunia Kerja.
  3. Ciptakan ruang aman dan kebebasan berekspresi bagi keberagaman gender dan seksualitas di Indonesia, terkhusus di Jawa Tengah.
  4. Hentikan dan usut tuntas kasus kekerasan berbasis gender dan bangun sistem perlindungan yang komprehensif bagi keberagaman gender dan seksualitas.
  5. Stop kriminalisasi dan represifitas dari aparat terhadap aktivis perempuan.

Hidup Perempuan yang Melawan! Hidup Buruh! Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! Panjang Umur Perjuangan!

Penulis: Komite International Women’s Day Semarang 2022

Editor: Luthfi Maulana

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.