Peliknya Magang Mahasiswa: Rentan Eksploitasi Tanpa Payung Hukum yang Pasti
LPM OPINI— Di tengah hiruk pikuk kegiatan perkuliahan, magang menjadi salah satu kegiatan yang lumrah diikuti oleh mahasiswa, beberapa bahkan diwajibkan mengikuti magang di perusahaan sebagai syarat kelulusan.
Akan tetapi, belakangan magang menjadi salah satu masalah yang ramai dibicarakan lantaran magang yang diikuti oleh mahasiswa rentan bersifat eksploitatif, terlebih tidak ada payung hukum yang pasti untuk melindungi para pemagang dari ketidakadilan yang mereka rasakan. Hal ini akhirnya menjadi keresahan yang dirasakan oleh para mahasiswa, khususnya mahasiswa magang.
Keresahan tersebut mengantarkan SINDIKASI pada diskusi yang diselenggarakan pada Sabtu (26/02) lalu. Mendatangkan tiga narasumber, diskusi ini dilakukan untuk membahas satu permasalahan yang sama dari pandangannya masing-masing, yaitu mengenai peraturan pemerintah mengenai magang dan implementasinya di lapangan. Forum diskusi yang diselenggarakan secara daring via Zoom ini dihadiri oleh 24 orang.
Forum diskusi ini diadakan dengan tujuan meningkatkan kesadaran mengenai magang yang dirasa masih eksploitatif serta memberikan perspektif baru untuk lebih berhati-hati dalam memilih perusahaan tempat magang. Forum ini juga diadakan untuk mencari akar permasalahan permagangan yang ada dengan mengadakan bincang seputar pengalaman.
Dimas selaku anggota Federasi Pelajar Jakarta (FIJAR), mengungkapkan bahwa ia telah menjalani program magang saat SMK, yang mana magang menjadi program wajib. Dikatakan pula bahwa program yang seharusnya berjalan selama 3 bulan ini, ternyata ditambah menjadi 6 bulan karena adanya pandemi.
“Di situasi pandemi saat ini, dengan sulitnya akses mencari lapangan pekerjaan, mungkin jadi daya tarik bagi siswa magang untuk mengikuti program yang dijalankan langsung pihak sekolah. Dulu aku magang tiga bulan, di semester 2 kelas 11, dan sekarang di sekolah aku programnya nambah jadi dua periode, di semester 2 kelas 12.”
Selain itu, pihak sekolah memiliki perjanjian dengan perusahaan bahwa jika siswa terlibat dalam masalah, siswa tersebut akan dipulangkan kembali ke sekolah asalnya. Kemudian, tidak ada pula perjanjian mengenai uang saku dan jaminan perlindungan peserta magang yang diberikan perusahaan seperti yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2020.
“Buat uang jajan tergantung perusahaannya. Kebetulan saya nggak dapat, tapi ada beberapa yang misalnya jurusan pemasaran, itu dia dapet,” paparnya dalam forum diskusi.
Tak hanya itu, ia mengungkapkan bahwa perjanjian magang dengan perusahaan dilakukan secara lisan saja, bukan perjanjian tertulis atau resmi.
“Iya dapet perjanjian (magang), tapi udah gitu perjanjiannya secara lisan aja, bukan secara tertulis,” ujar Dimas.
Hal serupa juga terjadi dalam program magang baru Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yaitu Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), yang menuai banyak perhatian terkait masalahnya yang pelik.
Permata Adinda, salah satu jurnalis Project Multatuli yang terlibat dalam proyek peliputan magang mahasiswa, membagikan hasil liputannya dalam forum diskusi.
Dalam serial liputannya yang berjudul “Generasi Burn Out”, Permata Adinda membeberkan berbagai macam isu dan efek dari magang yang dialami oleh narasumbernya. Tak sedikit mahasiswa merasa bahwa tanggung jawab yang dilimpahkan terlalu besar, bahkan setara dengan tanggung jawab karyawan tetap sehingga overwork tak dapat terhindari. Terlebih, proses pencairan uang saku yang terlambat berkali-kali jelas sangat merugikan pemagang baik secara mental dan materil.
“Setelah ngobrol banyak sama mahasiswa yang ikut magang, mereka kebanyakan overwork karena diberi tanggung jawab yang besar, sama besarnya dengan karyawan tetap. Uang saku yang dijanjikan pun cairnya telat berkali-kali. Ada yang mulai magang bulan agustus, tapi uang sakunya baru cair bulan Oktober,” jelasnya.
Masih dalam proyek liputan yang sama, banyak mahasiswa yang mengalami ketidakadilan dalam kegiatan magangnya. Dinda menjabarkan, terdapat testimoni pemagang yang kerap disepelekan, bahkan diancam lantaran mahasiswa ingin menuntut Kemendikbud akibat uang saku yang tak kunjung turun.
“Ada ancaman kepada mahasiswa yang mau menuntut Kemendikbud. Ada yang diancam dengan UU ITE dan di-downgrading, disuruh kerja ojol, bahkan disuruh jadi pelacur. Intinya banyak mahasiswa yang disepelekan panitia, bilangnya, ‘Jangan karena uang saku kalian jadi kendor magangnya.’ Padahal uang saku penting juga buat makan, transportasi, dan lain-lain.”
Semua permasalahan dan ketidakadilan terkait isu ini semakin diperparah dengan tidak adanya payung perlindungan hukum bagi pemagang mahasiswa.
“Paling enggak harus ada upaya hukum untuk melindungi mahasiswa, karena kita semua tahu kesempatan bagi mahasiswa ini dipakai perusahaan untuk mencari buruh murah, bahkan nggak dibayar sama sekali”
“Ketika sampai sekarang nggak ada tindak lanjut atau upaya melindungi mahasiswa secara serius, pemerintah akhirnya lepas tangan dan membiarkan praktek ‘perbudakan’ ini, dan efeknya pun jadi serius, ke pribadi maupun lingkup yang lebih besar nanti” jelas Dinda.
Senada dengan Dinda, Nabiyla Risfa Izzati, dosen hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa UU Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2020 yang dinilai sudah cukup komprehensif dan cukup adil dalam kebijakannya terhadap karyawan magang, ternyata tidak menjangkau mahasiswa dan pelajar yang melakukan internship. Dengan kata lain, cakupan peraturan ini masih sempit dan belum menyelesaikan masalah yang ada yang kemudian menjadi celah hukum ketenagakerjaan.
“Mereka (kemenaker) masih memandang magang dari sudut pandang konvensional tahun 2003, yaitu pelatihan kerja atau on the job training, bukan mahasiswa ataupun pelajar. Ini yang kemudian disebut sebagai celah hukum ketenagakerjaan,” jelasnya.
Payung Hukum sebagai Penengah
Jaminan perlindungan hukum bagi mahasiswa dan pelajar yang mengikuti program internship ini cukup rumit. Pasalnya, peraturan Kementerian Ketenagakerjaan tidak mencakup mereka, tetapi Kemendikbudristek selaku pencetus program MBKM mengatakan bahwa mereka mengikuti peraturan undang-undang yang sudah ada terkait jaminan perlindungan dan hak. Mahasiswa dan pelajar yang melakukan internship dianggap berada di posisi abu-abu dengan tidak adanya pihak yang menaungi.
“Idealnya, harus ada hukum yang mencakup internship yang dipermasalahkan ini. Pada akhirnya, perlindungan peserta magang ini bergantung pada kebijakan perusahaan masing-masing dan besar kemungkinannya mereka dieksploitasi,” ujar Nabiyla.
Nabiyla menyarankan untuk merevisi undang-undang ketenagakerjaan yang sudah ada. Namun, revisi ini tentu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dasar.
“Yang bisa dilakukan secara hukum adalah revisi UU Menaker agar dapat mencakup pemagangan dalam konteks yang luas karena Permenaker nggak boleh bertentangan dengan undang-undang. Enggak apa-apa jadi berlembar-lembar, yang penting semuanya masuk.”
“Kalaupun itu nggak dilakukan, maka harus ada peraturan lain atau dibuatkan peraturan tersendiri untuk internship bagi mahasiswa dan pelajar,” tutupnya.
Penulis: Rachel Aina
Editor: Luthfi Maulana