Merangkum Kekerasan Seksual dan Relasi Kuasa di Ranah Aktivisme

LPM OPINI – Aktivisme dimaksudkan dan berfungsi untuk membawa perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Gerakan-gerakannya dipelopori oleh sekelompok individu yang dikenal sebagai aktivis, yang biasanya tergabung dalam suatu komunitas. Namun, aktivisme, terutama terkait isu HAM, tetap tidak menjauhkan pegiatnya dari keinginan untuk melakukan kekerasan seksual.

Terkait kekerasan seksual di ranah komunitas, Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) pada Selasa (8/3) merilis Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2022. Komnas Perempuan mencatat pada 2021, terdapat 875 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan 108 kasus kekerasan di tempat kerja. 

Kasus kekerasan seksual adalah fenomena gunung es; laporan yang ada ibarat puncak yang terlihat, sedangkan masih banyak kasus lainnya yang belum sampai ke permukaan. Namun, di awal tahun ini, ada kasus-kasus yang bisa mulai dicatat secara mandiri.

Kilas Balik Kasus-Kasus Kekerasan Seksual oleh Aktivis

Usai forum Space yang membahas audisi Ekspedisi Indonesia Baru di Twitter pada Selasa (1/2), Hasan Yahya atau Haye, aktivis serta mantan sineas dari rumah produksi Visinema melalui akun Twitter dengan nama pengguna @_haye_ membuat cuitan bernada pelecehan yang ditujukan kepada salah satu akun milik seorang perempuan yang juga ada dalam forum tersebut. 

Tindak KBGO ini menjadi perbincangan hangat di media sosial Twitter, terlebih Haye juga dikelilingi kawanan aktivis anti kekerasan seksual. Kendati demikian, tampaknya butuh waktu bagi aktivis-aktivis tersebut untuk buka suara terkait kasus ini. Baru pada Kamis (3/2), Angga Dwimas Sasongko sebagai pemilik rumah produksi Visinema angkat bicara, ia mengumumkan pemecatan Haye dari rumah produksinya. 

Mundur sedikit ke hari Minggu (30/1), nama Farid Gaban ternyata lebih dulu disebut-sebut dalam sebuah kasus kekerasan seksual yang terjadi pada tahun 2015. Farid yang menjabat sebagai pemimpin redaksi Geotimes dikabarkan melindungi Zahari, rekan kerjanya yang melakukan pelecehan seksual kepada salah satu reporter perempuan kala itu. Bahkan, saat pihak Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers sebagai pendamping korban mendatangi kantor Geotimes, manajemen redaksi tidak berhasil ditemui meski berada di tempat.

Pada awal tahun 2022, muncul pula nama Maulana Khalid Atas dari kalangan aktivis mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang melakukan pemerkosaan terhadap tiga mahasiswi selama rentang tahun 2018-2021. Dilansir dari akun Instagram @dear_umycatcaller, sampai 19 Februari lalu kasus ini masih ditindaklanjuti. Kabar baiknya, para korban telah didampingi lembaga bantuan hukum dan psikologis.

Lalu di akhir tahun 2021 tepatnya pada bulan November, ada nama Appridzani Syahfrullah, mantan aktivis Laskar Mahasiswa Republik Indonesia (LAMRI) Surabaya dan mantan kontributor lepas Tirto.Id. Appridzani terbukti telah memperkosa 6 perempuan sejak tahun 2014 hingga 2021. Ia menggunakan pola yang sama hampir di semua aksi busuknya: mengajak diskusi, minum alkohol, membahas kehidupan pribadi, dan melakukan aktivitas seksual tanpa persetujuan korban. Kasus-kasus ini pun terungkap berkat laporan korban dan investigasi LAMRI sejak tahun 2018.

Titel Aktivis yang Hanya Pemanis

Fenomena ini kemudian menimbulkan tanya, bagaimana bisa mereka yang sering menyuarakan keadilan dan HAM, justru menjadi pelaku kekerasan seksual, yang jelas melanggar HAM?

Nurul Ichlasiah, S.E., founder RRR Collective sekaligus seorang aktivis anti kekerasan seksual yang kerap disapa Roel, mencoba menjawab pertanyaan ini. Menurutnya, meskipun seseorang sudah memiliki label sebagai aktivis isu marjinal dari komunitas-komunitas tertentu, belum tentu mustahil menjadi pelaku kekerasan seksual. Aktivisme sering kali hanya menjadi peran-peran pemanis untuk menutupi sisi lain mereka.

“Fenomena yang menyedihkan, saat dia bicara tentang isu-isu yang kita anggap progresif, seperti isu kemanusiaan, tetapi ternyata dia adalah pelaku (kekerasan seksual),” ujar Roel.

Roel mengatakan bahwa tidak ada pola atau faktor tertentu dalam fenomena maraknya aktivis HAM yang menjadi pelaku kekerasan seksual. 

“Semua itu tergantung dari kerangka berpikir dan bagaimana mereka melihat perempuan. Apakah sudah setara dan melibatkan perempuan dalam gerakan aktivismenya atau masih memandang perempuan dengan sebelah mata,” tambah Roel.

Bicara Kekerasan Seksual dan Relasi Kuasa di Ranah Aktivisme

Dalam banyak kasus, penyalahgunaan relasi kuasa sering kali menjadi penyebab terjadinya dan dikesampingkannya kasus kekerasan seksual. Menurut Roel, relasi kuasa adalah hierarki antara satu pihak dengan pihak lain yang memiliki perbedaan struktural. Ia juga menambahkan bahwa aktivisme sering kali mengandung unsur relasi kuasa yang kental; adanya pimpinan dan bawahan atau senior dan junior. 

“Relasi kuasa yang mungkin sering kita lupa adalah secara gender, di mana laki-laki dianggap lebih superior dibandingkan perempuan,” tambah Roel.

Nihayatul Mukharomah, S.H., M.H., kepala divisi bantuan hukum LRC-KJHAM, mengatakan bahwa hampir semua kasus kekerasan terhadap perempuan memiliki kaitan dengan adanya relasi kuasa. Kasus Farid Gaban misalnya, relasi kuasa antara ia serta Zahari sebagai atasan dan korban sebagai bawahan di lingkungan kerja membuat pelaku merendahkan korban dan ia mampu menghentikan penindaklanjutan kasus dengan tidak bersikap kooperatif. 

“Seorang aktivis pun ketika dia tidak paham tentang hak asasi perempuan, dia bisa dengan seenaknya melakukan pelecehan terhadap perempuan karena relasi yang dia miliki tadi, relasi kuasa,” ujar Niha.

Tentang Pencegahan, Penanganan, dan Kenyataan

Bagi Roel, mencegah kekerasan seksual harus diawali dari pola pengasuhan keluarga. Keluarga adalah agen sosial utama bagi seseorang. Keluarga yang dalam pola pengasuhannya mempraktikkan kesetaraan gender akan menumbuhkan individu yang sadar bahwa setiap gender memiliki kesamaan hak dan patut dihormati. Kemudian, penting juga untuk mendobrak pemikiran bias gender yang lestari dalam masyarakat kita. 

“Ini tugas utama semua orang ya, jadi nggak hanya perempuan yang diwajibkan mendobrak isu-isu bias gender, tapi juga laki-laki,” tegas Roel.

Untuk penanganan, Roel dan Niha sepakat bahwa prioritas utama adalah berprinsip mendengarkan dan memercayai korban. Sedangkan untuk pelaku, selain dikenakan sanksi dan diadili lewat jalur hukum, ia juga perlu direhabilitasi. Rehabilitasi tersebut dapat berupa klarifikasi nilai, yakni memastikan pelaku mengakui kesalahan dan menunjukkan perubahan sikap.

Selanjutnya, apabila seorang pelaku berafiliasi dengan organisasi, komunitas, atau lembaga, pihak lembaga perlu menindaklanjuti dengan mendengarkan kebutuhan korban dan apa yang diinginkan oleh korban. Lalu lembaga harus memberikan sanksi yang tercantum dalam Standard Operating Procedure (SOP).

“Jadi memang sekarang lagi didorong untuk pembuatan SOP mengenai kasus kekerasan seksual di ranah pekerjaan atau komunitas, sanksinya berupa apa saja, bisa pemecatan atau penghentian,” ujar Roel.

Pada kenyataannya, masih banyak perusahaan atau komunitas yang belum kunjung membuat prosedur penanganan kasus kekerasan seksual. Belum lagi, menurut Niha yang menjadi kendala atau tantangan dalam perlindungan hukum Indonesia adalah ketika ada kasus-kasus kekerasan seksual di luar aturan KUHP. 

“Itu yang sampai saat ini menjadi tantangan, sehingga memang kita mengalami kekosongan hukum dan karena itu RUU TPKS sangat penting untuk segera disahkan,” ungkap Niha.

 

Penulis: Dinda Khansa

Riset: Vanessa Nirbita/Citra Lusiandani

Editor: Luthfi Maulana

Redaktur Pelaksana: Dinda Khansa

Pemimpin Redaksi: Luthfi Maulana

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.