Buntut Panjang Bujuk Rayu Pernikahan Dini: Bagaimana Menurut Psikologi?

LPM OPINI – Berita tentang ribuan anak sekolah di Ponorogo yang mengajukan diri untuk melakukan pernikahan dini ramai jadi perbincangan pada pertengahan Januari lalu. Hal ini tampaknya hadir sebagai buntut panjang atas solusi dari kasus hamil di luar nikah.
Pada tahun 2022 data Pengadilan Tinggi Surabaya menunjukkan terdapat 15.212 permohonan dispensasi nikah (diska) yang diajukan di Provinsi Jawa Timur. Hal ini menuai perhatian publik, termasuk dari sudut pandang psikologi yang menilai pernikahan dini akan berdampak buruk pada perkembangan psikis anak.
Akar Penyebab Pernikahan Dini
Dr. Kartika Sari Dewi, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dosen Psikologi Universitas Diponegoro, menyatakan bahwa pernikahan dini tidak terjadi karena sebab tunggal saja, tetapi penyebabnya lebih kompleks dan dikuasai oleh perkembangan anak remaja secara emosional dan kognitif.
“Selain itu, permasalahan ekonomi dan sosial budaya yang ada juga memiliki peran yang besar dalam pernikahan dini anak remaja, orangtua yang memiliki pendidikan dan dari sosial-ekonomi rendah dan kesadaran mengenai perkembangan anak yang tidak memadai juga seringkali menjadikan alasan anak menikah muda sebagai upayanya keluar dari permasalahan ekonomi dan mengurangi beban pengasuhan mereka,” ujar Kartika melalui pesan teks via WhatsApp pada Senin (7/2).
Bagi Dr. Weny Savitry Sembiring Pandia, M.Si., Psikolog, dosen Pendidikan Psikologi di Unika Atma Jaya, ada faktor internal dan eksternal yang menjadi penyebab pernikahan dini. Dorongan faktor internal berasal dari keinginan remaja itu sendiri akibat perkembangan psikis, emosional, serta kemampuan kognitif remaja yang belum matang. Sementara itu, faktor eksternal berasal dari lingkungan sekitar baik dari pertemanan maupun pengaruh dari media sosial.
“Kalau kita bicara dari lingkungan, bisa jadi juga karena ada nilai-nilai yang akhirnya ditanamkan, tetapi tidak diolah lebih lanjut. Akhirnya daripada nantinya melanggar norma sosial dan norma agama, misalnya berzina. Pada akhirnya menikah dini saja,” jelas Weny melalui sambungan via Zoom Meetings pada Minggu (5/2).
Dampak Psikologis Remaja yang Menikah Dini
Menurut Weny, sejatinya anak usia dini masih butuh mencari dan menggali apa yang ingin mereka pelajari di lingkungan sekitar. Sementara, melakukan pernikahan membutuhkan kesiapan mental.
“Secara psikis kalau kita lihat pernikahan itu butuh kesiapan mental. Kesiapan mental itu berbicara tentang kematangan sebagai suami maupun istri yang akhirnya bisa membentuk keluarga. Keluarga ini merupakan suatu sistem yang paling kecil di dalam masyarakat,” ujar Weny membeberkan kesiapan mental sebagai kebutuhan dalam pernikahan.
Ketika para remaja memutuskan untuk menikah dini, maka kebutuhan itu tidak akan pernah mereka penuhi karena tuntutan dari masing-masing peranan seperti hal nya mencari nafkah dan mengurus anak.
“Pada akhirnya, pasangan tersebut akan cenderung mengalami ledakan emosi, stres, dan frustasi karena tidak dapat menyelesaikan masalah,” imbuh Weny.
Dalam tahap perkembangan terdapat kebutuhan-kebutuhan perkembangan psikis yang harus terpenuhi. Usia remaja yang seharusnya masih di masa eksplorasi menjadi terhambat karena situasi menikah akan tak berfokus pada pendidikan lagi.
“Hal itu pasti tidak bisa dilakukan jika sudah menikah karena nanti fokusnya bukan pada pendidikan lagi, bukan pada mencari teman, dan mengenali lingkungan dengan baik tapi fokusnya nanti mengurus anak mencari nafkah dan akhirnya mungkin akan membuat stres dan frustasi karena kebutuhan mereka sebagai remaja akhirnya tidak terpenuhi,” jelas Weny.
Peran Penting Pola Asuh Orang Tua
Weny menjelaskan bahwa dampak pernikahan dini yang mempengaruhi perkembangan psikis anak juga disebabkan oleh pola asuh orang tua. Kerap kali ketika anak sudah memasuki usia remaja, orang tua akan beranggapan bahwa anak telah beranjak dewasa dan mulai memberi kebebasan pada mereka baik itu dalam pertemanan maupun dalam pengambilan keputusan.
“Biasanya ini disebut dengan “sikap keterlibatan orang tua”. Pendampingan orang tua harus ada karena sampai anak kuliah pun keterlibatan orang tua dalam pengasuhan anak harus ada tapi dengan cara yang berbeda ketika anak anak masih di usia dini,” jelas Weny.
Weny menambahkan bahwa hak pendidikan, penanaman nilai, pengetahuan tentang lingkungan yang didapatkan dari orang tua sangat penting. Sikap keterlibatan orang tua dalam keseharian anak dapat mengurangi risiko munculnya dorongan untuk melakukan pergaulan bebas yang berakibat pernikahan dini.
“Sampai anak betul-betul ada di masa dewasa, orang tua tidak bisa lepas untuk mendampingi anak tetapi mungkin nanti caranya berbeda. Pada masa anak-anak aturan ketat sekali karena memang masanya penanaman nilai yang boleh dan yang tidak. Begitu anak masuk ke dalam masa remaja pendampingan tetap harus dilakukan, komunikasi tetap harus berjalan tapi dengan cara yang lain karena anak akan semakin berkembang, akan semakin bisa memutuskan, dan sudah mulai bisa diajak berdiskusi dengan lebih luas,” ungkap Weny.
Menanggapi pentingnya peran orang tua, Kartika turut menyampaikan pendapatnya, “Pola asuh orang tua dan komunikasi dalam keluarga yang tidak mengakomodasi kehangatan dan interaksi yang intens antara anak dan orangtua seringkali mengakibatkan anak, khususnya remaja tidak memiliki figur modeling dan sumber informasi yang tepat atau berpengalaman dalam menempuh berbagai permasalahan psikososial dan kehidupan.”
Upaya dan Peran Negara
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 terkait pembatasan usia pernikahan yaitu perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Pembatasan minimal usia 19 tahun ini bukan tanpa alasan karena batas usia tersebut dinilai merupakan usia anak yang matang jiwa raganya untuk melangsungkan pernikahan.
Dinas Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga telah menginisiasi adanya sosialisasi edukasi mengenai dampak pernikahan dini untuk masyarakat, menyediakan pendidikan formal agar anak-anak fokus untuk belajar dan menerima pendidikan dengan baik, serta meluncurkan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPA).
Membicarakan upaya pemerintah, Weny mengungkapkan bahwa pemerintah sudah banyak melakukan program-program pemerintahan untuk memberikan edukasi kepada para remaja. Namun, mengingat Indonesia yang memiliki banyak ragam budaya ditambah dengan kondisi negara yang kompleks dan majemuk menambah kesulitan pemerintah untuk menanggulangi secara merata akar masalah pernikahan dini.
“Sebenarnya juga pemerintah sudah punya regulasi tapi untuk melaksanakan hal tersebut pemerintah tidak bisa sendiri. Maka dari itu, kerja sama semua pihak perlu dilakukan seperti peran guru serta pemuka agama setempat sehingga jika ada program persiapan pernikahan dini masyarakat bisa diedukasi,” tambah Weny.
Referensi
cnnindonesia.com.(2023, 17 Januari). 15 Ribu Anak Ajukan Dispensasi Nikah Di Jatim 80 Persen Hamil. Diakses pada 06 Februari 2023, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230117151325-20-901499/15-ribu-anak-ajukan-dispensasi-nikah-di-jatim-80-persen-hamil
disdukcapil.kotawaringinbaratkab.go.id.(2021, 01 Agustus). UU Perkawinan Diteken Usia Minimal Menikah 19 Tahun. Diakses pada 07 Februari 2023, dari http://disdukcapil.kotawaringinbaratkab.go.id/berita/vw-uu-perkawinan-diteken-usia-minimal-menikah-19-tahun
kemenpppa.go.id.(2018, 18 Desember). Bergerak Bersama Cegah Perkawinan Anak. Diakses pada 07 Februari 2023, dari https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2018/bergerak-bersama-cegah-perkawinan-anak
Narasumber: Dr. Weny Savitry Sembiring Pandia, M.Si., Psikolog,
Dr. Kartika Sari Dewi, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Riset: Gusti Nur Alisa Rizki Andini
Editor: Dinda Khansa
Desain: Citra Adi Lusiandani